Identitas kuliner ganda Nusantara dan Tionghoa
Malam itu, Pasar Pecinan Glodok, Jakarta Barat ramai pengunjung. Mereka sibuk mencari pernak-pernik dan makanan khas Tionghoa untuk perayaan tahun baru Imlek.
Salah seorang pedagang, Tietiek, 37 tahun, sudah berjualan aneka makanan khas Tionghoa sejak lama. Turun-temurun dari kakeknya. Tak hanya saat menjelang perayaan tahun baru Imlek, Tietiek mengaku berjualan setiap hari di Pasar Pecinan Glodok. Makanan khas Tionghoa yang dijual Tietiek, misalnya dodol cina dan kue ku atau kue tok.
“Semuanya dari (bahan) gula merah kok. (Rasanya) manis,” ujar Tietiek kepada Alinea.id, Kamis (8/2).
“Biasanya (yang) beli (dalam bentuk) boks. Satu boks Rp48.000. Kalau kue ku harga satunya Rp4.000.”
Sedikit yang diketahui Tietiek soal muasal makanan khas Tionghoa itu. Ia dapat kisah dari kakeknya, kue-kue yang dijual ada hubungan antara kuliner asal Tiongkok dan Indonesia.
“Kalau kata engkong (kakek) sih, enggak ada namanya dodol cina. Cuma orang Indonesia kan banyak yang suka dodol,” ujar Tietiek.
Sementara itu, sejarawan makanan sekaligus dosen Prodi Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad) Fadly Rahman mengatakan, dalam perayaan tahun baru Imlek, masyarakat Tionghoa punya filosofi yang diadaptasi ke dalam budaya kulinernya. Contohnya, ikan bandeng, yang dipercaya semakin banyak duri semakin banyak rezeki.
“Mi juga sama. Sajian mi itu difilosofikan sebagai simbol umur panjang. Ada lagi kue lapis atau spekuk, yang dipercaya orang Tionghoa sebagai simbol keberkahan, keberuntungan, dan kelimpahan rezeki,” ujar Fadly kepada Alinea.id, Kamis (8/2).
Menurut Fadly, tanpa disadari, hampir dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia ternyata sudah menerima aneka kuliner peranakan Tionghoa. Tak hanya dalam rumah tangga, tetapi juga menu-menu di ruang publik, seperti tahu, kecap, soto, bakso, capcay, bakpia, dan bakpao.
“Semua itu adalah bukti pengaruh kuliner peranakan sebagai selera masyarakat Indonesia,” tutur Fadly.
Fadly mengatakan, pengaruh kuliner itu sudah ada sejak masa awal tahun Masehi. “Jadi, mereka datang ke sini bukan hanya dalam hubungan berniaga, bukan hanya urusan keagamaan. Bangsa Tiongkok itu juga membawa berbagai macam kebudayaan,” kata Fadly.
“Kebudayaan bisa kita lihat dari jejaknya, seperti bahasa, arsitektur, hingga makanan.”
Kaitannya dengan kuliner, orang-orang asal Tiongkok memperkenalkan berbagai macam tanaman pertanian dan perkebunan. Semisal kedelai, yang menghasilkan produk kuliner macam tahu dan kecap.
Teknik memasak menggunakan wajan dan menumis pun mendapat pengaruh dari orang-orang asal Tiongkok. Begitu pula dengan bahan olahan kuliner, seperti nasi goreng, capcay, dan fuyunghai.
Terpisah, pemerhati kuliner sekaligus chef Wira Hardiyansyah berujar, berdasarkan catatan sejarah, sejak masa Dinasti Han (206-220) bangsa Tiongkok sudah mulai berinteraksi dengan Nusantara.
“Pada Prasasti Watukura itu sudah ada kata tahu, namanya tahulan. Menurut arkeolog, merujuk tahu yang dibawa oleh orang dari Tiongkok atau kacang (thao),” kata Wira saat berbincang dengan Alinea.id di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (8/2).
Prasasti Watukura menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuna berangka tahun 824. Prasasti ini merupakan peninggalan Raja Mataram Kuno, Dyah Balitung, yang memerintah pada 898-910. Kini, prasasti itu tersimpan di The Royal Library, Copenhagen, Denmark.
Wira menyebut, gencarnya pengaruh kuliner asal Tiongkok terjadi pada abad ke-11 dan 12. Saat itu, katanya, tentara Mongol tengah menyerang Kerajaan Singosari, sehingga orang-orang Tionghoa bersatu dan berinteraksi dengan masyarakat di Nusantara.
Sedangkan Fadly menyebut, penyebaran akulturasi itu dilakukan dengan cara interaksi sosial. “Jadi, ada hubungan antarlapisan masyarakat. Orang Tionghoa sangat mudah beradaptasi dengan masyarakat di Nusantara, baik di pesisir maupun di pedalaman,” tutur Fadly.
“Dalam konteks kuliner, mereka berinteraksi di kehidupan sehari-hari, bagaimana orang Tionghoa menyesuaikan dengan selera bahan-bahan (kuliner) orang pribumi.”
Hubungan tersebut bisa dilihat dari dodol, yang di Tiongkok sebenarnya tak ada. Namun, orang-orang Tionghoa mengadopsinya dari pengaruh orang Jawa, Betawi, dan Sunda yang menggunakan bahan gula merah untuk olahan dalam pembuatan makanan, seperti dodol.
“Dodol (itu) biasa disajikan dalam upacara keagamaan (orang Tionghoa),” ucap Fadly.
Lontong cap gomeh, sebut Fadly, juga hasil adaptasi dari lontong khas Betawi. Sedangkan orang-orang Tionghoa juga memperkenalkan kue khas mereka ke Nusantara, seperti kue bulan.
Nasi goreng pun dikatakan Fadly berasal dari adaptasi kuliner di Tiongkok. Orang-orang Tiongkok biasa mengolah nasi sisa kemarin untuk dibuat nasi goreng. Di Nusantara, mereka lalu membuatnya menjadi lebih variatif, seperti dicampurkan berbagai bumbu atau rempah-rempah.
“Pengaruh dari Tiongkok kalau dilihat dari filosofinya itu lebih ke alasan ekonomis, ya,” kata Fadly.
Kuliner semacam sop, yang akhirnya dikenal masyarakat kita sebagai soto, awalnya di Tiongkok menggunakan daging babi. Lalu, di Nusantara diadaptasi menggunakan daging sapi, ayam, atau kerbau karena mayoritas masyarakat kita tak mengonsumsi daging babi.
“Ini dapat menjelaskan identitas kuliner ganda yang menjadi keharmonisan orang Tionghoa dalam beradaptasi dengan selera masyarakat lokal,” ujar Fadly.
“Dan kemampuan masyarakat lokal yang berabad-abad menerima pengaruh kuliner peranakan dari proses modifikasi, menjadi makanan yang halal dan mudah diterima.”
Di sisi lain, Wira menerangkan, bumbu atau rempah-rempah khas Indonesia memiliki peran penting dalam asimilasi makanan Tionghoa. Ia menyebutnya fusion food atau penggabungan makanan. Peran rempah-rempah Indonesia itu, ujar Wira, berkontribusi dalam penyesuaian rasa orang Indonesia. Maka, hidangan asal Tiongkok yang diberi rempah-rempah menghadirkan cita rasa yang lebih kompleks, dengan aroma yang lebih kaya.
“Keanekaragaman kuliner di Indonesia, mampu meng-upgrade budaya kuliner, tanpa menghilangkan budaya lamanya,” tutur Wira.