Nama menteri keuangan yang akan membantu jalannya pemerintahan Prabowo Subianto membuat publik penasaran. Pasalnya, sosok tersebut memegang peranan penting untuk memenuhi janji kampanye presiden terpilih dan membawa Indonesia menjadi negara maju.
Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan perlu sosok yang lebih kreatif dan berani untuk duduk di pos menteri keuangan. Indonesia saat ini berada pada titik krusial. Tantangan ekonomi semakin kompleks dan membutuhkan solusi yang tidak biasa alias out of the box.
"Untuk mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, Indonesia membutuhkan pemimpin ekonomi yang kreatif, berani mengambil risiko, dan mampu melihat peluang di tengah tantangan, " katanya baru-baru ini.
Dia bilang, kebijakan fiskal yang hanya berfokus pada stabilitas dan pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa hasil yang jelas tidak akan cukup. Sosok baru di posisi menteri keuangan harus mampu merombak kebijakan fiskal dengan lebih berani, fokus pada investasi di sektor-sektor masa depan seperti ekonomi digital, energi terbarukan, dan inovasi teknologi.
"Reformasi fiskal yang progresif, yang tidak hanya menjaga stabilitas, tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan yang lebih cepat dan inklusif, adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, " ujarnya.
Menurutnya, pemimpin baru juga harus mampu mendesain kebijakan yang lebih mendukung transformasi ekonomi hijau dan transisi menuju ekonomi rendah karbon. Saat ini merupakan kesempatan besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi global yang semakin berfokus pada keberlanjutan.
"Untuk itu, dibutuhkan kebijakan fiskal yang agresif dalam mendorong investasi di sektor ini, bukan hanya mengandalkan stabilitas yang sudah ada, " katanya.
Achmad mengakui Menteri Keuangan saat ini, Sri Mulyani telah berhasil menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di masa-masa sulit. Namun, untuk memenuhi kebutuhan demi mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi 8% masih kurang. Pendekatan konservatif yang diterapkan Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, dianggap tidak lagi memadai.
Misalnya, infrastruktur besar-besaran seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), hanya menambah beban utang tanpa imbal hasil yang tinggi.
"Indonesia membutuhkan sosok baru yang lebih kreatif, berani mengambil risiko, dan mampu merancang kebijakan fiskal yang inovatif dan proaktif, " lanjutnya.
Sebelumnya, menurut Bloomberg, Sri Mulyani tidak akan lagi menjabat sebagai menteri keuangan. Kabarnya ada empat calon yang dibidik Prabowo, yakni Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dan Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Royke Tumilaar.
Prabowo dikabarkan mempertimbangkan calon berlatar belakang bankir sebagai menteri keuangan. Sosok yang dicari adalah teknokrat yang dapat mengamankan pendanaan negara, menjaga kewaspadaan fiskal, serta bisa memenuhi janji kampanyenya.
Kiprah Ani
Ani telah menjadi salah satu sosok ekonom selebritas di dalam pengelolaan ekonomi Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir.
Dia berhasil menjaga stabilitas ekonomi selama masa-masa sulit, seperti krisis keuangan global dan pandemi Covid-19. Namun, Achmad menilai, kinerja Sri Mulyani dan tim ekonominya tidak menunjukkan keberhasilan dalam mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir berkisar pada rata-rata 5%, jauh di bawah target ambisius yang dibutuhkan untuk membawa Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi.
Kebijakan fiskal yang diterapkan di bawah Sri Mulyani juga dianggap terlalu fokus pada stabilitas dan infrastruktur besar-besaran, tetapi gagal mengantongi keuntungan tinggi.
"Proyek-proyek besar seperti pemindahan ibu kota justru menciptakan beban keuangan yang berat, dengan utang yang terus meningkat tanpa diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, " katanya.
Meski diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk pemerataan pembangunan dan peningkatan daya saing, lanjutnya, sampai saat ini proyek tersebut belum menunjukkan tanda-tanda memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Tak hanya itu, berbagai proyek infrastruktur lainnya, seperti jalan tol dan bandara, meskipun meningkatkan konektivitas, masih belum memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Masalah ini diperparah dengan beban utang yang terus meningkat untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur.
Achmad menyebut, dalam jangka panjang, utang yang tidak disertai dengan peningkatan pertumbuhan dan pendapatan negara hanya akan memperburuk kondisi fiskal.
"Beban pembayaran utang yang besar akan mengurangi kemampuan negara untuk berinvestasi di sektor-sektor lain yang mungkin lebih produktif, seperti teknologi, pendidikan, dan kesehatan, " ujarnya.