close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Freidrich Paulus mengesahkan RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi usul inisiatif DPR. dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12/2023). Foto dok. DPR RI
icon caption
Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Freidrich Paulus mengesahkan RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi usul inisiatif DPR. dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12/2023). Foto dok. DPR RI
Politik
Selasa, 05 November 2024 14:09

Segudang problem dalam paket revisi UU politik

Omnibus law politik harus bisa menjawab persoalan-persoalan yang kerap muncul dari pemilu ke pemilu.
swipe

Wacana memaketkan revisi delapan undang-undang (UU) terkait politik menyeruak di DPR. Usulan itu kali pertama diutarakan Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah organisasi pemantau pemilu di Gedung DPR RI, Senayan, Rabu (30/10) lalu. 

Doli berkaca dari segudang persoalan yang muncul pada pelaksanaan Pemilu 2024. Menurut dia, perlu ada revisi menyeluruh terhadap UU terkait politik agar persoalan serupa tidak berulang pada pemilu-pemilu berikutnya. 

"Kita harus mulai berpikir tentang membentuk undang-undang politik dengan metodologi omnibus law. Jadi, karena (UU) itu saling terkait semua, ya," kata Doli seperti dikutip dari Antara. 

Ada delapan UU yang berpeluang direvisi dengan metode omnibus law, yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU MD3, UU Pemerintah Daerah, UU DPRD, UU Pemerintah Desa, dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

Sejumlah fraksi di DPR sepakat paket UU politik direvisi menggunakan omibus law, termasuk di antaranya fraksi PDI-Perjuangan dan Golkar. Di lain sisi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan pemerintah menyambut baik usulan tersebut. 

Analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal berharap omnibus law UU politik mendorong penguatan hubungan konstituen dan parpol. Salah satunya dengan mengamanatkan kepada partai dan anggota DPR dan DPRD membuka saluran substantif sehari-hari, buka sekedar forum prosedural. 

"Misal, kantor partai harus aktif setiap hari. Kantor partai harus dapat menjadi tempat mengadu yang bersifat publik. Tidak boleh pengaduan melalui saluran privat," kata Ikbal kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Ikbal menilai omnibus law juga mesti mendorong penguatan kaderisasi di parpol. Dengan begitu, parpol tidak kerap jadi kendaraan politik politikus karbitan. Parpol, misalnya, bisa dilarang mencalonkan orang yang bukan anggota partai atau baru menjadi anggota partai.

"Perlu ada aturan batas minimal keaktifan anggota di partai tersebut untuk dapat dicalonkan, baik pemilu legislatif maupun eksekutif," kata Ikbal.

Paket UU politik juga harus mengatur perkara koalisi. Ikbal berpendapat koalisi partai semestinya dipertahankan serupa saat jelang pilpres dan usai kandidat presiden dilantik. "Logikanya, partai lawan di pilpres memiliki program yang berbeda sehingga tidak patut untuk bergabung," imbuhnya.

Dari sisi penyelenggara pemilu, Ikbal berpendapat KPU dan Bawaslu perlu diberi kewenangan memberi pendidikan kepada pemilih sepanjang waktu supaya tidak hanya bekerja menjelang musim pemilu.

"Begitu pun Bawaslu. Bawaslu bisa melakukan pendidikan pengawasan partisipatif. Pendidikan semacam ini tidak bisa efektif kalau hanya dilakukan menjelang pemilu," kata Ikbal. 

Omnibus law UU politik juga harus mengatur masa jabatan anggota legislatif di semua level. Regulasi terkait masa jabatan perlu dibuat demi kepentingan regenerasi. 

"Misal, hanya boleh menjadi anggota DPRD kabupaten maksimal dua periode. Jika sudah dua kali, maka harus naik ke DPRD provinsi,atau ke eksekutif. Begitupun anggota DPRD Provinsi dan DPR RI. Keuntungan dari pembatasan itu adalah regenerasi dan membangun budaya politik karier," kata Ikbal. 

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengusulkan sejumlah hal supaya omnibus law politik berdampak pada otonomi daerah. Salah satunya sinkronisasi UU Parpol dan UU Pilkada untuk mendorong lahirnya kader-kader unggulan yang layak jadi calon kepala daerah. 

"Sebab, ini harus diselaraskan oleh partai politik. Jadi, kader yang jadi calon kepala daerah memang kader unggulan yang melalui kaderisasi dengan baik, bukan karena terkenal atau punya uang," kata Herman kepada Alinea.id, Sabtu (2/10).

Herman menilai KPUD dan Bawaslu daerah juga mesti diperkuat untuk melawan politik uang yang tumbuh subur di daerah. Penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu di daerah mesti berani menindak pelaku politik uang. Selama ini, KPUD dan Bawaslu daerah tidak bertaji ketika berhadapan dengan "penguasa daerah" yang melancarkan politik uang. 

Berkaca dari maraknya kasus aparatur sipil negara (ASN) yang tidak netral dalam setiap hajatan pemilu, Herman menyarankan agar hak pilih ASN dicabut sebagaimana anggota TNI dan Polri. Menurut dia, sulit mengharapkan ASN netral jika masih memiliki hak pilih. 

"ASN juga punya nafsu tergoda untuk memenangkan calon karena alasan ingin naik jabatan atau berharap kompensasi lainnya dari kepala daerah yang sedang menjabat. Oleh karena itu, soal batasan netralitas ini ke depan mesti dilihat," kata dia. 

Omnibus law politik, lanjut Herman, perlu memperkuat kewenangan DPD agar serupa dengan DPR yang bisa menetapkan dan membentuk aturan perundang-undangan. Selama ini, DPD tidak bisa berperan signifikan bagi daerah karena tidak punya taji di parlemen.

"Semua hal yang berkaitan dengan pemerintah daerah itu harus melalui DPD. Di dalam UU MD3, dia punya kewenangan untuk melakukan pemantauan terhadap pemda. Tetapi, di dalam UU yang lain seperti UU Cipta Kerja dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah itu hanya melewati Kementerian Keuangan dan Kemendagri dalam proses rancangan eksekutif review peraturan daerah," kata Herman. 

Kepada Alinea.id, peneliti Centra Initiative, Erwin Natosmal mengatakan tidak ada urgensi merevisi 8 UU terkait politik dalam metode omnibus law. Jika ada poin tertentu yang ingin direvisi dalam sebuah undang-undang, menurut dia, sebaiknya undang-undang tersebut tetap dibiarkan terpisah. 

"Karena karakternya berbeda-beda. Misal, UU Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa itu lebih tepat jika masuk dalam scope UU Pemerintahan. Jika pun harus masuk dalam omnibus law politik, kita harus tegas mendefinisikan apa yang dimaksud dengan politik. Dalam sejarah Indonesia, paket UU politik 98, masuk juga dengan UU Pers," ucap Erwin. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan