Anggota DPR periode 2024-2029 yang baru dilantik, didominasi mereka yang berlatar belakang pengusaha. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sebanyak 354 orang dari 580 anggota DPR atau 61% adalah politikus-pebisnis.
Rinciannya, anggota DPR 2024-2029 yang terindikasi politikus-pebisnis berdasarkan temuan ICW, sebanyak 24 dari total 44 kader Partai Demokrat, 65 dari 86 kader Partai Gerindra, 60 dari 102 kader Partai Golkar, 29 dari 48 kader PAN, 41 dari 69 kader Partai NasDem, 63 dari 110 kader PDI-P, 42 dari 68 kader PKB, dan 30 dari 53 kader PKS.
Dengan kondisi ini, ICW menengarai, bakal terjadi lingkaran setan korupsi politik. Biaya yang perlu dikeluarkan guna ikut kontestasi elektoral, dibuat menjadi begitu mahal. Karenanya, mereka yang mampu ikut serta dalam politik praktis maupun pemilu cuma orang-orang yang punya sumber daya materi yang kuat, atau setidaknya punya kedekatan dengan para pemodal kaya.
Selain itu, fenomena tersebut akan menimbulkan “perburuan rente”. Artinya, biaya politik yang mahal akan “dikembalikan” lewat kebijakan partisan, bahkan tak jarang lewat korupsi anggaran publik. Berdasarkan riset ICW tahun 2022, setidaknya ada 319 anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Dari total 319 anggota DPR itu, mayoritas punya latar belakang pebisnis atau swasta.
Menurut dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, dominasi anggota legislatif yang berlatar belakang pengusaha sudah terjadi pada DPR periode 2019-2024. Sejak itu, DPR sangat terlihat memiliki gen politik pebisnis. Sebab, produk legislasi yang dihasilkan sangat terlihat sarat kepentingan bisnis.
“Jadi, tidak mengherankan UU Pertambangan (UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) mencerminkan wajah dari mayoritas kelompok pebisnis di DPR,” ujar Herdiansyah kepada Alinea.id, Sabtu (5/10).
“Logikanya sederhana. Kalau mayoritas DPR dihuni oleh pebisnis, maka produk undang-undang juga mencerminkan kepentingan kelompok pebisnisnya, bukan mewakili rakyat banyak.”
Jumlah anggota DPR yang berlatar belakang pebisnis yang semakin banyak, kata Herdiansyah, bakal lebih parah menghasilkan legislasi yang lebih mendukung kepentingan politikus cum pebisnis. Dia merasa, motif utama pengusaha terjun sebagai legislator lebih dilatar belakangi kepentingan memperluas bisnis ketimbang berpolitik demi kepentingan publik.
“Artinya, apa yang disebut oleh kawan-kawan sebagai bentuk autocratic legalism menjadikan produk undang-undang sebagai produk yang mengutamakan kelompoknya dan kekuasaannya,” ucap Herdiansyah.
“Mempertahankan bisnisnya itu akan terus terjadi di bawah kekuasaan DPR yang memang mayoritas adalah pebisnis.”
Pakar hukum dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Aloysius Wisnubroto menilai, anggota DPR berlatar belakang pebisnis punya pertalian erat dengan hubungan antara politik dan bisnis, yang mengarah pada praktik korupsi, sebagaimana terjadi pula di level DPRD.
“Data dari KPK menunjukkan, sejak 2004 hingga Juli 2023 terdapat 344 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, menandakan tingginya angka penyimpangan di kalangan elite politik ini,” ucap Wisnubroto, belum lama ini.
“Kasus-kasus ini sering kali terkait dengan kebijakan yang menguntungkan bisnis tertentu, menunjukkan adanya kolusi antara anggota legislatif dan sektor swasta.”
Wisnubroto berujar, sudah menjadi rahasia umum biaya politik di Indonesia sangat mahal. Caleg butuh ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk “setoran” partai politik, biaya kampanye, dan pencitraan. Biaya politik yang berbiaya mahal mayoritas dimiliki pengusaha besar atau kader partai yang disokong kalangan pebisnis.
Dia mengatakan, kepentingan bisnis yang dominan berpengaruh dalam DPR akan berbuntut pada modus korupsi antara oknum anggota dewan dengan kalangan bisnis. Imbasnya bakal berdampak banyak pada kebijakan yang dikeluarkan DPR.
“Cenderung berpihak pada kepentingan bisnis,” ujar Wisnubroto.