Label PSN pemicu konflik agraria era Jokowi
Di pengujung masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengobral label proyek strategis nasional (PSN). Maret lalu, setidaknya ada 14 proyek yang dimasukkan ke dalam daftar PSN. Pemerintah berdalih proyek itu tak akan memakan anggaran negara karena dikembangkan perusahaan swasta.
Proyek-proyek itu tersebar di berbagai daerah, semisal Pantai Indah Kapuk Tropical Concept di DKI, pengembangan Kawasan Industri Wiraraja Pulau Galang di Batam, Riau, Proyek North Hub Development Project Lepas Pantai di Kalimantan Timur dan pengembangan Kawasan Industri Neo Energy Parimo Industrial Estate di Sulawesi Tengah.
Dengan tambahan 14 PSN baru itu, total terdapat sebanyak 233 PSN yang dicanangkan pemerintahan Jokowi sejak 2016. Sebagian di antaranya belum rampung dan bermasalah hingga kini, semisal pembangunan Rempang Eco City di Batam, Riau serta pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas, Purwerojo, Jawa Tengah.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah menargetkan 135 PSN bakal rampung pada Desember 2024. Ia mengklaim sisa 108 PSN yang tak rampung pada era Jokowi akan diteruskan oleh pemerintahan baru Prabowo Subianto.
"Kalau yang sudah financial closing, tetep jalan," kata Airlangga kepada wartawan usai menghadiri acara peluncuran Geoportal One Map Policy 2.0 dan White Paper OMP Beyond 2024 di St. Regis, Jakarta Selatan, Kamis (18/7) lalu.
Airlangga mengklaim nilai investasi di 233 PSN itu mencapai Rp 6.246,7 triliun dengan tenaga kerja yang terserap sebanyak 2,71 juta orang. Pemerintah saat ini juga tengah mengembangkan sejumlah kawasan ekonomi khusus dengan nilai investasi Rp 205,2 triliun. "Dengan tenaga kerja mencapai 132.227 orang," imbuh Airlangga.
Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengkritik obral PSN pada era pemerintahan Jokowi. Menurut dia, PSN kerap memicu konflik dengan masyarakat adat. Pasalnya, PSN kerap digarap di atas tanah masyarakat adat.
Ia mencontohkan agraria akibat pembangunan Rempang Eco-City di Rempang, Batam. Akibat proyek itu, sebagian besar masyarakat asli Rempang dipaksa direlokasi. Meskipun dibalut nama yang ramah lingkungan, menurut Iwan, proyek itu sejatinya pengembangan industri kaca.
"Dengan dalih PSN, negara menggunakan pemerintah daerah dan kepolisian atau penegak hukum untuk memuluskan investasi," ucap Iwan kepada Alinea.id, Jumat (19/7).
Rempang Eco-City ditetapkan jadi PSN melalui Permenko Ekuin Nomor 7/2023. Menurut kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau yang dirilis awal Juli lalu, PSN itu disiapkan untuk memuluskan pembangunan pabrik kaca dan solar panel dengan nilai US$ 11,5 miliar setara Rp173,6 triliun dari Xinyi, perusahaan asal Tiongkok.
Dalam kajiannya, pembangunan Rempang Eco-City dipenuhi beragam persoalan, mulai dari sosialisasi yang minim, upaya kriminalisasi, represi aparat penegak hukum, dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang tak memenuhi persyaratan.
Selain itu, Walhi Riau memperkirakan hanya sekitar 20% warga asli Rempang yang bersedia direlokasi jelang pembangunan Rempang Eco-City tahap I. Sebelumnya, pemerintah mengklaim mayoritas warga Rempang mau direlokasi.
Menurut catatan KPA, setidaknya ada 2.710 kasus konflik agraria yang pecah pada era Jokowi, tepatnya pada periode 2015-2023. Sebanyak 1.759.308 kepala keluarga terdampak dengan luas lahan konflik mencapai 6.309.261 hektare.
Angka itu jauh melebihi era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada era SBY (2005-2014) tercatat terjadi 1.520 kasus konflik agararia dengan rincian 977.103 kepala keluarga terdampak dan luas lahan konflik mencapai 5.711.396 hektare.
Menurut Iwan, konflik agraria lazimnya terjadi di kawasan-kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai PSN. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, PSN utamanya disodorkan kepada badan usaha milik negara (BUMN).
"Kalau sekarang sudah mulai swasta. Tiba-tiba PIK (Pantai Indah Kapuk) disebut PSN, Bumi Serpong Damai disebut PSN. Kemudian taman hiburan di Sentul itu yang punya (Ketum Partai Perindo) Harry Tanoe itu juga disebut PSN," ucap Iwan.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat pada periode 2015-2022. Sektor dominan yang memicu konflik adalah kawasan hutan (42%), pertambangan (13%), perkebunan (11%), infrastruktur (10%), dan kebakaran lahan (2%).
Iwan berpendapat lahan masyarakat adat mesti dilindungi dari cengkeraman pihak swasta. Ia meminta agar DPR serius membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat untuk mencegah konflik agraria tak terus meletup karena PSN.
"Pemerintah itu juga harus merevisi soal-soal PSN ini. PSN itu yang disebut strategis tentu harus ada dasar-dasarnya, bukan karena keinginan sepihak presiden. Jangan kasih PSN kepada investor... Jangan sampai menggunakan PSN untuk memuluskan investasi," ucap Iwan.
Manajer Data dan Informasi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Ariya Dwi Cahya mengatakan perampasan lahan masyarakat adat atas nama PSN kerap terjadi karena ketidaksinkronan data antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat, menurut Ariya, kerap tak memegang data masyarakat adat atau wilayah adat ketika menggarap PSN di suatu daerah. Walhasil, banyak arera PSN yang menerabas wilayah-wilayah yang dihuni masyarakat adat setempat.
"Data masyarakat adat dan wilayah adatnya (tidak ada) sehingga dalam proses pembentukan kebijakan dan perencanaan wilayah, keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat tidak menjadi landasan yang kuat," ucap Ariya kepada Alinea.id.