Di balik kekerasan ala carok di Sampang
Seorang pria bernama Jimmy Sugito Putra menjadi korban ala carok di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, Minggu (17/11). Dia tewas usai dibacok beberapa orang menggunakan senjata tajam jenis celurit.
Diduga, aksi itu dipicu perbedaan pilihan dalam pilkada. Insiden tersebut terjadi usai salah seorang calon bupati Sampang, Slamet Junaidi mengunjungi seorang tokoh agama di Desa Ketapang Laok. Kunjungan itu membuat sekelompok orang yang tak menjadi pendukungnya protes, dengan mengadang membawa celurit.
Slamet berhasil keluar dari situasi genting itu, dibawa lewat jalan lain. Namun, cekcok terjadi antara pendukung Slamet dan orang-orang yang memegang celurit. Penganiayaan pun terjadi, dan Jimmy yang menjadi saksi dalam Pilkada 2024 dari pasangan calon Slamet Junaidi-Ahmad Machfudz tewas.
Sebagai informasi, selain Slamet Junaidi-Ahmad Machfudz, Pilkada Sampang diikuti Muhammad bin Mu’afi-Abdullah Hidayat.
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Heddy Shri Ahimsa-Putra mengatakan, carok merupakan kebiasaan lama masyarakat Madura dalam menyelesaikan masalah yang sudah menyentuh harga diri. Misalnya perkara perempuan atau keluarga.
Pada masa pra-kolonial, menyelesaikan masalah dengan cara duel maut memang lazim terjadi. Fenomena serupa juga dikenal di masyarakat Bugis di Makassar, dengan model tarung sarung.
“Cuma di Makassar, tarung sarung sudah jarang dilakukan. Tapi di Madura dan Sampang, carok masih terus terjadi. Ini yang menjadi pertanyaan,” kata Heddy kepada Alinea.id, Senin (18/11).
Menyelesaikan masalah dengan kekerasan
Heddy memandang, salah satu faktor yang membuat carok masih dilakukan masyarakat Madura karena perubahan sosial yang tidak sukses mengubah perilaku untuk semakin taat hukum. Dia menyinggung pendidikan di daerah Madura yang belum sebaik di daerah lain, membuat penyelesaian konflik dituntaskan dengan cara kekerasan.
Selain itu, faktor kurangnya keterbukaan menerima nilai-nilai dari luar, membuat cara-cara kekerasan masih menjadi jalan menyelesaikan masalah.
“Karena pendatang ini akan mengubah pola-pola relasi sosial yang ada di situ,” ujar Heddy.
“Sebab akan sedikit mengendorkan dan melonggarkan relasi-relasi sosial. Kalau sudah masuk pendatang, biasanya akan terjadi perubahan. Biasanya yang belum berubah itu masih relatif terisolasi.”
Heddy mengungkapkan, daerah yang lebih terbuka akan lebih fleksibel dalam menyelesaikan konflik. Sementara daerah yang konservatif dan kaku, cenderung ekstrem dalam menuntaskan masalah.
“Saya melakukan penelitian di Sulawesi Selatan itu daerah yang semula sangat kaku dalam relasi sosial, kemudian menjadi berbeda, ada interaksi luar,” kata Heddy.
“Pengaruh interaksi dari luar itu membuat mereka menjadi lebih lunak.”
Heddy mempertanyakan para ulama di Madura yang sebenarnya otoritatif dan sangat dipatuhi masyarakat, tidak berusaha menekan terjadinya carok. Padahal, jika melihat relasi patron klien antara ulama dan masyarakat, sangat mungkin carok perlahan ditinggalkan sebagai saluran menyelesaikan masalah.
“Di sini yang saya kira penting, bupati dan para calon (bupati) itu sebaiknya mengingatkan, supaya di bawah tidak ada konflik seperti itu,” ujar Heddy.
Dia percaya, jika seruan mengakhiri perilaku carok dilakukan secara berangsur-angsur oleh ulama dan tokoh pemerintahan, maka kekerasan akan berkurang.
“Karena di Madura itu hubungan patron klien kuat. Kalau patronnya ngasih seruan, ya kliennya manut,” ucap Heddy.
Sayangnya, justru yang terjadi pelaku carok banyak dilindungi oleh blater. Blater merupakan simbol jawara di Madura. Orang kuat yang biasanya memiliki ilmu kebal dan kanuragan.
Dalam banyak kasus, blater yang berperan sebagai patron, malah melindungi pelaku carok ketika ditangkap polisi. Akhirnya, perilaku carok sangat sulit ditinggalkan masyarakat Madura.
“Jadi saling melindungi. Kalau ditangkap polisi, itu yang maju patronnya. Akhirnya bisa keluar dan pelakunya tidak dihukum. Karena dilindungi, kasus berulang lagi,” ujar Heddy.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Trunojoyo Madura, Iskandar Dzulkarnain menilai, kekerasan yang terjadi di Sampang tidak bisa dikategorikan sebagai carok. Sebab, hal itu menyasar satu orang tanpa senjata melawan beberapa orang menggunakan senjata. Dia mengatakan, kekerasan tersebut lebih bernuansa ambisi kekuasaan ketimbang soal yang menyangkut harga diri.
“Kekerasan yang terjadi di Madura sebenarnya lahir dari karakteristik kewilayahan Madura, dengan area tandusnya,” kata Iskandar, Senin (18/11).
“Celurit sebenarnya alat yang digunakan oleh masyarakat Madura untuk mencari rumput sebagai pangan ternaknya. Meskipun akhirnya celurit dijadikan senjata utama untuk bertahan hidup melawan penjajah, lalu diidentikan sebagai senjata tajam masyarakat Madura.”
Iskandar menjelaskan, sikap dan semangat masyarakat Madura dengan wilayahnya yang tandus, sering kali secara psikologis membentuk karakter sosial-budaya yang mudah terpicu untuk melakukan kekerasan.
“Rendahnya pendidikan semakin memperkuat dan mempermudah masyarakat Madura untuk melakukan tindak kekerasan, yang sering kali dijadikan alat oleh beberapa ‘aktor’ untuk mencapai kekuasaan,” ujar Iskandar.
“Meskipun sebenarnya kekerasan yang terjadi di Sampang adalah konflik antarkerabat.”
Iskandar menilai, mengikis perilaku kekerasan hanya bisa dilakukan dengan penguatan pendidikan dan memberikan pembelajaran mengenai demokrasi sehat. Hal itu perlu dilakukan bukan hanya pada saat momen pilkada.
“Kekerasan akan tetap terjadi jika pembelajaran mengenai demokratisasi dan perbedaan tidak pernah dimunculkan,” tutur Iskandar.