close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Andy R Wijaya
icon caption
Andy R Wijaya
Kolom
Kamis, 11 Februari 2021 21:21

Warning untuk industri keuangan

Menjaga hak kreditur ini, sebenarnya menjadi prioritas daripada memprioritaskan aspek kehati-hatian.
swipe

Melalui Putusan Nomor 389/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN-Niaga.Jkt.Pst, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Lukman Wibowo, salah satu nasabah Asuransi Jiwa Kresna.

Lukman yang menjadi nasabah Kresna merasa dirugikan atas program asuransi yang terhubung dengan investasi milik Kresna Life, sehingga uang pertanggungan sebesar dua miliar rupiah tak kunjung bisa dicairkan sampai permohonan PKPU diajukan.

Putusan yang diucapkan pada 10 Desember 2020 tersebut, bagaimapun wajib di hormati sebagai perwujudan atas asas hukum ‘res iudicata pro veriate habetur’ (putusan Hakim harus dianggap benar). Namun di sisi lain, dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), disebutkan bahwa; yang dapat mengajukan permohonan PKPU untuk Perusahaan Asuransi adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Di sinilah menariknya, bahwa Pemohon PKPU bukanlah OJK. Pemohon mendalilkan atas dasar Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan Pasal 6 ayat 3 dan Pasal 224 ayat 6 sepanjang menyangkut kata pada ayat 3 UU Nomor 38 Tahun 2004 ‘tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat’. Namun, saya tidak akan mengomentari perihal putusan pengadilan tersebut, sebagai bentuk penghormatan terhadap pengadilan. 

Yang justru menjadi pelajaran adalah, bahwa sudah banyak perusahaan asuransi yang  mengalami gagal bayar terhadap nasabahnya terkait Produk Asuransi Yang dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI). Selain Kresna di atas, beberapa perusahaan yang masuk daftar gagal bayar di antaranya adalah, Jiwasraya di 2020, Asuransi Jiwa Bumiputera di 2018, Bakrie Life di 2016, Bumi Asih Jaya di 2013.

Dari kasus di atas, rata-rata berujung pada penutupan izin operasional sebagaimana Bakrie life dan Bumiputera. Hanya Bumi Asih Jaya yang digugat pailit oleh OJK. OJK memang tidak wajib untuk memohonkan PKPU atau pailit, karena dalam klausulnya di UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian hanyalah ‘dapat mengajukan’, bukan wajib.

Sanksi dari OJK tersebut rata-rata bersifat administratif untuk Industri. Dalam artian, tidak memberikan ganti rugi yang maksimal untuk nasabah. Beberapa langkah penyelesaian untuk mengembalikan kerugian yang diderita nasabah ternyata tidak membuahkan hasil. Sehingga terpaksa nasabah menempuh jalur pidana untuk memberikan ganjaran kepada elite perusahaan atas kerugian yang dialami oleh nasabah. Rata-rata nasabah melaporkan dugaan penipuan ke kepolisian. Penyelesaian akhir seperti ini tentunya tidak akan mengembalikan kerugian secara finansial, justru akan menambah cost dan membuang energi.

Setidaknya, dari sini perlu menjadi sebuah trigger akan perlunya membuka wacana untuk membuat regulasi yang membolehkan kreditur bisa mengajukan PKPU dan pailit bagi industri keuangan, tetapi dengan pengawasan dari OJK. Hal ini sebenarnya untuk menjaga hak para kreditur yang uangnya berada dalam penguasaan debitur atau tepatnya akan keberadaan uang yang sedang di investasikan. Walaupun di sisi lain, kreditur juga bisa mengajukan sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) sektor keuangan.

Menjaga hak kreditur ini, sebenarnya menjadi prioritas daripada memprioritaskan aspek kehati-hatian. Sehingga kreditur tidak kehilangan kesempatan untuk melakukan upaya pengembalian uang yang berada dalam penguasaan debitur. Aspek kehati-hatian untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian, sistem moneter dari dampak sistemik wajib dilakukan, namun regulasi untuk menjaga hak kreditur juga wajib diprioritaskan. Salah satunya adalah untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri keuangan khususnya bisnis jasa produk investasi.

Persoalan penegakan hak ini secara historis sejak dari zaman Yunani kuno juga sudah terimplementasi. Saat itu jika ada utang yang tidak terbayarkan, maka orang yang mengalami gagal bayar (debitur) tersebut akan dipaksa menjadi budak kepada pemberi utang (kreditur), yaitu keadaan yang disebut debt slavery.

Kemudian berkembang di zaman Romawi. Jika mengalami gagal bayar, maka debitur bukan hanya jadi budak kreditur, tetapi juga bisa dijual untuk menjadi budak orang lain dan hasil penjualannya untuk melunasi utang debitur kepada kreditur. Penyelesaian seperti itu terus berkembang sampai zaman modern seperti sekarang ini dengan dituangkan dalam aturan secara tertulis.

Dengan melihat sisi historis tersebut, maka hubungan debitur dan kreditur yang dibangun sejak awal pengikatan semestinya juga bisa menjadi awal akan sebuah penyelesaian. Yang terpenting, regulator memastikan bahwa pengajuan PKPU bukanlah the first resort. Pengajuan PKPU merupakan pintu terakhir setelah upaya negosiasi dan perdamaian yang ditempuh di awal ternyata gagal dalam implementasinya. 

Dengan melihat fenomena ini, industri keuangan khususnya industri asuransi harus semakin berbenah diri, semakin memperketat pengelolaan, menjual produk investasi yang terukur untuk meminimalisir risiko gagal bayar yang sudah banyak terjadi. OJK sebagai regulator bisa memperketat syarat terkait keberadaan PAYDI.

Apa yang diajukan Lukman tersebut memang hanya sekedar permohonan PKPU, bahkan debitur diuntungkan dengan tidak terganggu oleh tagihan-tagihan lain karena sedang dalam PKPU. Namun jika dalam waktu yang disediakan dalam proposal perdamaian tidak juga dapat di implementasikan, maka debitur (perusahaan asuransi tersebut) bisa berisiko pailit. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut pasti akan menjadi Yurisprudensi, dan setidaknya menjadi warning bagi industri keuangan, bahwa nasabahpun bisa mengajukan permohonan PKPU bahkan tak menutup kemungkinan untuk mempailitkan.

img
Andy R Wijaya
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan