Uang untuk demokratisasi
Pada tahun 1920, seorang pemikir Jawa mengecam bahaya demokrasi yang punya pendasaran tak arif dan sekaligus selalu dalam bahaya uang: persamaan (hak politik) dan persaudaraan.
Buku berbahasa Belanda tapi berjudul bahasa Jawa Sabdo Pandito Ratoe yang diterbitkan Indonesische Drukkerij di Weltevreden (Surakarta), barangkali RMS Soeriokoesoemo merupakan orang Jawa pertama yang menemukan celah kekurangan sistem politik demokrasi sekaligus mengkritik dengan keras.
Demokrasi, menurut pemimpin Taman Siswa yang pertama Soetatmo Soeriokoesoemo, cenderung hanya diperalat oleh mereka yang kuat secara ekonomi dan bernafsu pada kekuasaan tapi menggunakan dalih persamaan hak politik.
Dengan sangat tajam Soetatmo Soeriokoesoemo mengatakan: “Demokrasi telah menemukan suatu sistem di mana hak yang sama diberikan kepada setiap orang; yang bijaksana dan yang bodoh, yang melakukan pekerjaan intelektual dan yang melakukan pekerjaan kasar, kepada orang-orang yang bermoral tinggi maupun yang bejat. Demokrasi ingin memberlakukan persamaan hak, dan menghamparkannya seperti suatu lembaran kain di atas ketinggian yang tak sama. Akan tetapi lembaran kain ini akan terhampar tidak rata karena hanya akan menyentuh bagian-bagian yang menonjol saja. Orang-orang bijaksana yang berada di tempat yang cekung, tidak dapat ikut serta menjadi penyangga dari lembaran kain itu; dengan demikian mereka akan kehilangan semua haknya. Inilah ketidakadilan yang pertama dari demokrasi.”
Demokrasi punya kecenderungan untuk menyingkirkan para cendekiawan, orang-orang bijak atau bermoral, yang menurut Soetatmo seharusnya menjadi pemimpin rakyat.
Namun, karena pemunculan pemimpin demokrasi cenderung menggunakan berbagai strategi persuasif penuh muslihat, provokatif yang tak arif, berbagai strategi curang, menggunakan populisme (identitas) emosional sebagai aspirasi massa, dan terutama menggunakan sang mahakuasa uang, orang-orang bijak cendekia justru menghindari dan menjauhi hak politik demokratis mereka. “Bila demokrsi harus diberlakukan,” kata Soetatmo Soeriokoesoemo, “maka hak mereka yang kuat yang akan mendukungnya.”
Demokrasi pada awalnya hendak memberlakukan persamaan politik, dalam praktiknya justru hanya melayani yang kuat, dengan menyingkirkan mereka yang bijak.
Dalam sejarah praktik politik Indonesia sejak merdeka sampai sekarang, dari demokrasi liberal, demokrasi Pancasila, sampai demokrasi liberal lagi sekarang, apa yang dikhawatirkan kata Soetatmo Soeriokoesoemo memang terjadi. Para elite masyarakat yang kuat secara sosial, militer, dan terutama secara ekonomi kuat cenderung menguasai sistem demokrasi. Yang tragis-ironis, mereka yang kuat secara ekonomi ini, bukannya merasa cukup secara finansial dan sewajarnya mendudukkan politik sebagai pengabdian publik (public virtue), justru mencuri hak-hak rakyat dalam melaksanakan kebijakan politik.
Perhatikan dan ingat-ingat para elite partai politik ini: Akbar Tanjung (Partai Golkar), Anas Urbaningrum (Partai Demokrat), Luthfi Hasan Ishaaq (PKS), Suryadharma Ali (PPP), Setya Novanto (Partai Golkar), dan seterusnya. Atau, yang dilakukan secara kolektif massif: 41 dari 45 anggota dewan perwakilan rakyat Malang yang baru dijerat (2018), 43 Anggota DPRD Sumatra Barat yang sudah divonis bersalah korupsi (2004), 38 anggota DPRD Sumatera Utara sebagai tersangka korupsi (April 2018), 53 anggota DPRD Provinsi Jambi yang terjerat uang “ketok palu” (September 2018).
Betapa mengerikannya sistem politik yang begitu banyak elite politik dihukum gara-gara uang. Kasus ini sungguh pasti bakal bukan yang terakhir.
Kita seperti akan terus menjadi rakyat yang salah pilih pemimpin politik dalam sistem demokrasi yang membuka lebar bagi hasrat kekayaan-kekuasaan. Saat orang bijak tersingkir, orang serakah yang mengendalikan kebijakan politik. Kata Soetatmo Soeriokoesoemo: “Pada zaman dahulu Raja bekerjasama dengan orang Bijak, karena hidup dengan sederhana, akhirnya dapat mengatasi kehausan akan uang. Ketika itu uang tidak ada harganya, kecuali khusus sebagai sarana pertukaran. Saudagar kaya tidak pernah dekat pada Raja. Jalan yang dipilih oleh demokrasi tidaklah rata. Di setiap sisinya nafsu kebinatangan duduk menunggu, yakni menunggu kesempatan untuk menerkam manusia mangsanya. Celakalah bagi seorang demokrat yang tidak waspada ketika berjalan di jalan yang tidak rata; ia akan tersandung dan jatuh ke dalam jurang; menjadi mangsa binatang buas.”
Sekarang, jalan yang sangat tidak rata itu terutama terwujud dalam bentuk kuasa uang. Beberapa partai politik sudah menyetorkan “laporan awal” keuangan partai dalam kampanye ke KPU (23/9/2018) yang 90% dana itu berasal dari para calon anggota legislatif. PDIP melaporkan Rp 105 miliar, Partai Gerindra sebesar Rp 75,3 miliar, PBB hampir Rp 17 miliar, PKB sebesar Rp 15 miliar, PKS Rp 15 miliar, PAN sebesar Rp 50 juta, Partai Hanura sejumlah Rp 13 juta, Partai Garuda dan Partai Perindo masing-masing Rp 1 juta, termasuk Partai Golkar dan PSI yang emoh menyebutkan angka ke media massa.
Siapa yang percaya dana uang itu real? Yang sangat jelas adalah bahwa hampir 90% uang itu adalah dana atau modal politik dari para calon legislatif, bukan dari uang partai sendiri.
Serealistik amatan politik, partai politik di zaman kita bukanlah berdasarkan ideologi partai yang berbeda-beda tapi yang mulai tidak penting. Betapa susahnya membedakan antara partai yang berideologi nasionalis, religius, marixis, dan seterusnya.
Satu anggota partai bisa dengan enteng pindah ke partai lain. Betapa mudahnya pengusaha menjadi petinggi partai. Apalagi, partai politik tampak gagal mengkader anggotanya secara ideologis. Namun, begitu mudahnya kita menyebut bahwa ideologi kekuasaan partai saat ini adalah sang uang.
Maka, ingatlah kritik Soetatmo Soeriokoesoemo saat anggota partai berkuasa, lalu kita mendapati berita korupsi. Jalan demokrasi memang tidak rata bahkan bisa jadi kedaulatan rakyat sebagai basis politik negara modern menjadi mangsa binatang buas: kuasa uang. Inilah ironi uang untuk demokratisasi.