"Jangan pernah tanyakan apa yang negara berikan kepadamu karena hasil pemilu akan menentukan pasar yang investor serbu. Sehingga, kerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan perwakilan para CEO akan membuka lahan serupa Roma yang dibakar oleh ribuan Nero."
Itulah sepenggal lirik "Tak Ada Garuda di Dadaku" yang dibawakan Bars of Death, yang tampaknya menemukan padanannya pada kondisi demokrasi Indonesia hari ini: dicengkeram oligarki dan dinasti politik. Pemerintah dan partai politik (parpol) menjadi dua aktor yang paling bertanggung jawab.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyatakan, pemerintah gagal menyejahterakan rakyat karena konflik penguasa-pengusaha. Sebab, mengedepankan profit atau pemburu rente daripada membangun ekonomi berdaya tahan industri.
Ia melanjutkan, hal tersebut tecermin dari banyaknya bisnis yang masuk ke pemerintahan. "Kemudian, mengubah diri menjadi pemburu rente. Pemburu rente itu bisa dilihat, [tetapi] tidak bisa dibedakan antara pengusaha dan penguasa," katanya dalam seminar "Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkraman Oligarki dan Dinasti Politik" di Jakarta, Selasa (14/11).
Ketika pengusaha menjadi penguasa, ungkap Zainal, kebijakan yang dibuat hanya untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Ini terjadi di setiap aspek, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Terbitnya putusan tersebut membuat putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, bisa maju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pangkalnya, dapat menjadi calon presiden (capres) ataupun wakil presiden (cawapres) sekalipun belum berusia 40 tahun karena pernah menjadi kepala daerah, yakni wali kota Surakarta (Solo).
Di sisi lain, putusan itu mengakibatkan Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK. Pangkalnya, terbukti melanggar terbukti melanggar 5 dari 7 Sapta Karsa Hutama dalam memeriksa dan memutuskan Perkara Nomor 90: prinsip integritas, ketidakberpihakan, kecakapan dan kesetaraan, kepantasan dan kesopanan, serta independensi.
Anwar Usman merupakan paman Gibran. Pangkalnya, ia menikahi adik Jokowi, Idayati, pada Mei 2022.
Uceng berpendapat, pemerintah terlalu cuek dan tidak menganggap kontroversi Putusan MK Nomor 90 sebagai kesalahan yang berbahaya.
Pada kesempatan sama, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan, MK merupakan lembaga yudikatif nir-pengawasan. Pangkalnya, Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyidangkan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman dkk masih bersifat sementara (ad hoc).
Ia pun menyarankan Suhartoyo, Ketua MK yang baru, menjadikan MKMK permanen. Apalagi, dimandatkan dalam UU.
"Yang kemarin itu (MKMK, red) hanya ad hoc untuk kasus yang kemarin saja. Jadi, itu Prof. Jimly dan kawan-kawan (hakim MKMK, red) bekerja 30 hari saja karena masih ad hoc," terangnya.
Gimik partai politik
Sementara itu, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara, Franz Magnis Suseno, menyayangkan aktivitas parpol yang tidak mementingkan rakyat karena ongkos politik kian mahal. Akhirnya, banyak politikus harus bekerja keras mencari sponsor dan mengumpulkan uang untuk berkuasa, seperti di legislatif.
Romo Magnis menyebut fenomena tersebut sebagai "utang budi". Pangkalnya, para politikus akan berupaya mengembalikan modal kepada sponsornya yang sudah membantu dengan kewenangan yang dimiliki.
"Di sini saya tidak mengatakan orang kaya masuk DPR itu orang korup, tidak. Tapi, bagaimana bisa mewakili orang kecil," jelasnya.
Kritik serupa diutarakan pakar hukum tata negara Refly Harun. Ia secara khusus menyoroti tentang ambang batas pencapresan (presidential threshold) yang terus dipertahankan mayoritas parpol. Imbasnya, pasangan capres-cawapres hanya bisa diusung parpol atau gabungannya yang meraih suara tertentu.
Presidential threshold kali pertama berlaku pada 2004. Kala itu, sesuai Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pilpres, besarannya 15% kursi DPR atau 20% suara sah nasional pada pemilihan legislatif (pileg).
Ambang batas pencapresan naik menjadi 25% kursi DPR atau 20% suara sah nasional sejak Pilpres 2009 hingga kini. Aturan tersebut diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2008, yang kemudian tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.
Refly menerangkan, pada 2004, pasangan capres-cawapres masih bisa didaftarkan menggunakan pasal peralihan, yakni parpol minimal meraih 3% kursi DPR atau 5% suara sah nasional. Menurutnya, hal tersebut membuat pilpres kala itu lebih baik daripada setelahnya.
"Saya bisa katakan bahwa pilpres yang paling demokratis adalah Pilpres 2004. Setelah itu, turun terus kualitas demokrasinya," tegasnya.
Adapun Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, menyampaikan, parpol akan memikirkan langkah untuk mencari untung selepas pemilu. Baginya, parpol hari ini berjalan tanpa ideologi bahkan tanpa semangat teknokratis yang ditopang iuran rakyat.
Ia berpandanga, hal tersebut terjadi lantaran lemahnya pendanaan negara kepada parpol. Sehingga, memicu partai mencari sumber pendanaan dengan berbagai cara dan upaya sekalipun tidak benar.
"Partai politik banyak berkembang, dalam ilmu politik, dalam mahzab kartelisasi. Ada banyak yang bisa menjelaskan ini," ucapnya.