close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi-istockphoto.com/
icon caption
Ilustrasi-istockphoto.com/
Nasional
Senin, 13 November 2023 12:30

Waspadai arus balik proses demokratisasi

Sejumlah tokoh khawatir, apa yang sekarang terjadi, kontraproduktif dengan cita-cita lahirnya Orde Reformasi.
swipe

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 berbuntut panjang. Terlebih setelah MKMK mengeluarkan putusan soal pelanggaran kode etik berat yang dilakukan hakim konstitusi.

Di mana setelah itu, sejumlah tokoh masyarakat mengeluarkan pernyataan soal keprihatinannya terhadap kondisi demokrasi bangsa dan indikasi muncul kembalinya KKN. Sejumlah tokoh khawatir, apa yang sekarang terjadi, kontraproduktif dengan cita-cita lahirnya Orde Reformasi.

Seperti diketahui, Orde Reformasi lahir setelah adanya perlawanan terhadap watak dan kultur pemerintahan yang pada waktu itu memang sangat otoriter. Dalam kultur dan sangat sentralistik itu, kemudian lahirlah praktik nepotisme, kolusi dan korupsi. Kekuasaan yang seperti itulah yang mendorong lahirnya reformasi.

Pengamat politik dari UI Cecep Hidayat mengaku khawatir, bakal terjadinya arus balik pada proses demokratisasi yang sedang dibangun. Hal itu berdasarkan pada situasi sekarang. Di mana, ada kecenderungan penguasa tidak netral pada salah satu kontestasi pemilu akibat ada anggota keluarga yang ikut menjadi calon wakil presiden pada kontestasi Pemilu 2024.

"Kondisi demokrasi kita sekarang sudah kritis," ucap dia saat di hubungi Alinea.id, Minggu (12/11).

Idealnya, jalan proses konsolidasi demokrasi membutuhkan waktu tujuh hingga sembilan kali melaksanakan pemilu agar bisa mencapai ujungnya seperti yang diharapkan. Sementara, Indonesia sudah enam kali menggelar pemilu sejak Orde Reformasi. Sehingga seharusnya tak lama lagi bakal menikmati akhir dari proses konsolidasi demokrasi. 

Tetapi nyatanya, pada pelaksanaan pemilu ke-6 pada Orde Reformasi, masyarakat sudah dipertontonkan oleh tindakan vulgar melanggar prinsip demokrasi yang diduga didukung penguasa, yakni keluarnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.

"Proses demokratisasi ini bisa set back. Bisa terjadi arus balik para proses demokratisasi yang sedang kita bangun. Salah satu paramaternya, terlihat dari kecenderungan tidak netralnya penguasa terhadap slaah satu paslon," papar dia.

Dia pun menyebutkan beberapa cara agar proses demokratisasi yang sedang berlangsung tetap on the track. Pertama, harus ada good will dari pemimpin nasional serta adanya pengawasan dari masyarakat madani agar bisa mengubah politik prosedural ke substansial.

Pasalnya, masih dominannya budaya politik seperti sekarang, bakal berimplikasi terhadap sulitnya mendorong transformasi menuju civil society. Demokrasi kemudian hanya pada tataran bentuk, sementara perilaku elite politik masih jauh dari nilai demokrasi.

Sementara Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah (MHH), Busyro Muqoddas menyebut kalau nepotisme di era Suharto sudah tampak, tetapi tidak sekasar seperti sekarang.

"Ini kasar banget, lewat MK," kata dia dalam keterangan resminya, Senin (13/3).

Dia pun mengusulkan agar melakukan evaluasi mendasar terhadap MK. Hal itu perlu dilakukan sebab masalah peradilan di Indonesia mengalami perburukan. Busyro lalu mencontohkan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat UU KPK No 19 Tahun 2019, pelanggaran etik yang berulangkali oleh Ketua KPK, hingga pelaksanaan Proyek Strategi Nasional (PSN) yang menimbulkan banyak pelanggaran HAM, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan.

Dia pun meminta kepada seluruh penyelenggara pemilu, ASN dan aparat penegak hukum pada semua tingkatan agar menjaga netralitas, integritas, dan imparsialitas. Hal itu demi terselenggaranya pemilu yang jujur, adil, bermartabat, demokratis dan konstitusional. Sehingga Pemilu 2024 diharapkan dapat berjalan dengan aman, damai, jauh dari konflik dan perpecahan.

Sedangkan pada ajakan moral, MHH mengajak seluruh komponen bangsa tertutama kaum intelektual, cerdik cendikia, praktisi hukum dan civil society untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia dengan menghentikan pembentukan peraturan yang tidak adil dan bercirikan kesewenang-wenangan. Serta bersama-sama menghentikan tindakan tidak prosedural dan tidak profesional dari aparat penegak hukum.

"Pernyataan ini merupakan refleksi dari bacaan kami semua selama ini. Muhammadiyah sampai sekarang terus mampu mengonsolidasikan diri secara internal, sehingga tidak mudah tergoda dan digoda dengan penyakit dan virus mematikan demokrasi, yakni pragmatisme serta hedonisme,” tegas Busyro.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan