Target ekonomi realistis
Target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 direvisi menjadi 5,2% dari sebelumnya 5,3%. Sekalipun telah dipangkas, masih banyak terdengar suara ketidakyakinan bahwa pertumbuhan 5,2% akan tercapai. Apa alasannya?
Ada empat faktor yang menopang pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan ekspor. Setiap faktor memberi kontribusi berbeda terhadap pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia faktor konsumsi selalu menjadi dominan, dengan porsi sekitar 56%. Perihal ini satu penyebabnya dapat dilihat dari besarnya jumlah penduduk yang membesarkan nilai konsumsi.
Namun belakangan ini atau dapat dirunut sejak tahun lalu muncul kosakata pelemahan daya beli. Pengertiannya tak lain adalah penurunan kemampuan masyarakat untuk mengonsumsi atau membeli. Kita sadar dan tahu ada cukup banyak membeli barang berdasarkan keinginan, bukan kebutuhan.
Tetapi sejak timbulnya kosakata pelemahan daya beli, itu salah satunya dapat diartikan bahwa masyarakat semakin cermat dalam membeli. Masyarakat hanya membeli barang maupun jasa yang dibutuhkan.
Artinya pengeluaran masyarakat semakin menurun. Kemungkinan mereka menyimpan uang di saku atau akun bank mereka. Akan tetapi dampak yang begini nyatanya tidak bagus bagi pertumbuhan ekonomi, karena pelemahan daya beli berarti penurunan konsumsi. Penurunan konsumsi adalah penurunan pertumbuhan ekonomi.
Pada kuartal I 2019 ini konsumsi tumbuh 5,01%. Angka ini memang bagus bila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu sebesar 4,94%. Namun tak cukup baik bila dibanding kuartal IV 2018 yang mencapai 5,08%. Dari sini dapat kita baca ada tren penurunan konsumsi.
Dari data konsumsi, sudah bisa langsung meneropong pertumbuhan ekonomi. Bila konsumsi hanya mampu tumbuh dikisaran 5,01%, maka angka pertumbuhan ekonomi tak bakal jauh beda alias dekat-dekat dengan kisaran itu.
Mirip nasib dengan konsumsi, faktor penopang pertumbuhan ekonomi lainnya yakni investasi juga menurun. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi kuartal I 2019 sebesar Rp195,1 triliun. Secara year on year, nilai ini hanya naik sebesar 5,3%. Bila dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya, yakni 11,8% maka pertumbuhan investasi dapat dikatakan melambat.
Perlambatan investasi juga dapat dilihat dari nilai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang pada kuartal I tahun ini cuma bisa tumbuh 5,03%. Sementara pada periode yang sama tahun lalu PMTB mencapai 7,94%. Padahal ketika pertumbuhan konsumsi melambat, investasi diharapakan mampu melaju dan mengimbangi konsumsi.
Menurut penulis, alangkah baiknya pemerintah berusaha meraih hasil simpanan masyarakat ke dalam bentuk investasi. Caranya cukup mudah, yakni dengan giat mengedukasi masyarakat untuk berinvestasi dan menyakinkan masyarakat untuk percaya atas manfaat dari investasi.
Lalu bagaimana dengan belanja pemerintah? Sayangnya faktor ini cukup mengkhawatirkan juga. Dari sisi pengeluaran belanja negara pada kuartal I 2019 mencapai Rp452,1 triliun atau setara 18,37% dari pagu APBN 2019 sebesar Rp 2.461,11 triliun. Bila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu belanja negara sepanjang kuartal I tahun ini tumbuh 7,7%.
Namun berdasarkan sisi penerimaan terutama di sektor pajak, nilainya tak cukup baik. Kementerian Keuangan mencatat pertumbuhan pajak kuartal I 2019 hanya 1,8% secara tahunan menjadi Rp249 triliun. Padahal di periode sama tahun lalu pertumbuhan pajak 9,94%. Sedangkan bila dihitung per semester, pada semester I 2019 realisasi penerimaan negara di sektor pajak tercatat Rp603,34 triliun atau 38,24% dari target APBN 2019. Jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, realisasi ini hanya tumbuh sebesar 3,7%.
Faktor terakhir, yakni ekspor yang seharusnya diandalkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, justru begitu lemah kinerjanya. Kecilnya porsi ekspor dibandingkan impor menimbulkan selisih bernama defisit. Beban defisit ini jelas memberi dampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi.
Akumulasi nilai ekspor selama semester I 2019 mencapai US$80,32 miliar, sementara nilai impor US$82,26 miliar. Alhasil neraca perdagangan menderita defisit sebesar US$1,93 miliar. Ini angka kerugian yang cukup besar. Perlu diingat pada 2018 neraca perdagangan, kita mendera defisit terdalam sepanjang sejarah Indonesia, yakni US$8,57 miliar.
Padahal di semester I 2019 neraca perdagangan mengalami empat kali surplus (Februari, Maret, Mei, dan Juni). Lalu kenapa kita masih defisit secara semester? Tak lain karena nilai surplus yang diraih begitu kecil dibanding dua defisit yang terjadi (Januari dan April), masing-masing US$1,6 miliar dan US$2,5 miliar.
Dengan demikian, kontribusi yang seharusnya diberikan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi justru direbut oleh porsi impor. Kerugian dalam perdagangan internasional begini tak dapat dipertahankan. Pemerintah harus segera benar-benar membereskan perkara ini. Semakin lama kita akan semakin terjepit, dan opsi yang tersedia semakin sedikit. Bahkan kalau berlarut-larut, penulis khawatir akan terjadi defisit neraca perdagangan yang lebih dalam lagi.
Dalam pemaparan diatas penulis bukan hendak menakut-nakuti belaka. Itu baru persoalan internal kita, belum lagi masalah eksternal yang juga tak menunjukkan perbaikan signifikan. Ketidakjelasan status perang dagang AS-China tak pelak akan semakin mempersuram ekonomi global.
Oleh karenanya sekarang ini kita tak bisa berharap banyak dan mesti mematok target ekonomi realistis.