close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dody Wijaya
icon caption
Dody Wijaya
Kolom
Senin, 20 April 2020 23:36

Tantangan Pilkada Serentak 2020 dan tata kelola pemilu di masa krisis

Penyelenggara membutuhkan kepastian untuk perencanaan tahapan, dukungan anggaran, dan teknis penyelenggaraan.
swipe

Rapat kerja atau rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Mendagri, KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP pada Selasa, 14 April 2020 menghasilkan dua keputusan yaitu (1) menyetujui usulan pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 menjadi 9 Desember 2020 memberi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu. (2) merujuk putusan MK serta evaluasi keserentakan Pemilu 2019 Komisi II DPR RI mengusulkan kepada pemerintah agar pelaksanaan pilkada dikembalikan sesuai masa jabatan 1 periode 5 tahun yakni tahun 2020, 2022, 2023 dan 2025. 

Tantangan Pilkada Serentak 2020 

Keputusan Komisi II DPR RI untuk menunda pilkada serentak sesuai opsi A pada 9 Desember 2020 berdasar pada status tanggap darurat Covid-19 yang diputuskan BNPB sampai 29 Mei 2020. Meskipun tidak ada pihak yang bisa memastikan kapan selesainya pandemi Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam.

Pilihan penundaan pilkada lainnya dengan opsi B pada 17 Maret 2021 atau ditunda enam bulan dan opsi C pada 29 September 2021 atau ditunda satu tahun juga problematik.  Pasalnya pemerintah harus mengangkat banyak penjabat kepala daerah untuk 270 daerah yang tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi pemerintah yang konsentrasi semua sumber daya dialokasikan untuk menangani pandemi Covid-19. Kepala daerah juga tidak bisa memastikan ketersediaan dana pilkada dengan kondisi ekonomi sangat sulit tahun depan karena masih recovery ekonomi.  

Pilihan opsi A dengan menunda pilkada serentak selama tiga bulan yang berarti pilkada akan dilanjutkan kembali pada Juni 2020 juga bukan tanpa konsekuensi. 

Pertama, payung hukum untuk penetapan penundaan pilkada. Sampai saat ini secara de jure Pilkada Serentak 2020 masih berlangsung pada September 2020. Berdasarkan Pasal 122 UU No 10 Tahun 2016, penetapan penundaan pilkada dilakukan oleh KPUD tingkat kabupaten/kota untuk penundaan di beberapa desa/kelurahan/kecamatan. Oleh KPUD Provinsi untuk penundaan beberapa kabupaten/kota. Sedangkan untuk pemilihan susulan ditetapkan oleh gubernur jika di tingkat kabupaten/kota dan oleh mendagri jika di tingkat provinsi. Sampai saat ini, belum ada penundaan pilkada yang dilakukan oleh KPUD tingkat kota/kabupaten ataupun KPUD provinsi, maupun penetapan pemilihan susulan oleh gubernur atau mendagri. 

Kedua, pilihan jenis penundaan pemilihan lanjutan atau pemilihan susulan. Menurut Pasal 120 dan 121 UU No 10 Tahun 2016, pemilihan lanjutan dilakukan jika pada sebagian atau seluruh wilayah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan, dilanjutkan dari tahap penyelenggaraan pemilihan yang terhenti. Sedangkan pemilihan susulan dilakukan jika di suatu wilayah pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan.

Pilihan jenis penundaan ini penting dibahas dalam Perppu penundaan pilkada. Misalkan, untuk melanjutkan pilkada di Desember 2020 cukup dengan melanjutkan sisa tahapan yang tertunda dengan opsi pemilihan lanjutan. Jika ditunda sampai 2021, kemungkinan besar seluruh tahapan penyelenggaraan perlu diulang, seperti verifikasi calon perseorangan tentu akan banyak perubahan. 

Ketiga, pengalaman penulis menyelenggarakan pemilu di masa normal beban penyelenggara dan kompleksitas permasalahan cukup berat. Apalagi dengan situasi krisis pandemi yang serba terbatas dan beresiko tinggi. Kompleksitas tahapan pemutakhiran data pemilih dengan metode coklit seperti sensus tatap muka, pencalonan seperti verifikasi faktual calon perseorangan, kampanye terbuka dengan pengumpulan massa, pengadaan logistik dari produksi dan pelipatan surat suara serta kotak suara maupun pengadaan barang dan jasa pemilu bukan perkara yang mudah.

Belum lagi adanya sengketa baik sengketa administrasi maupun sengketa yang berproses di Bawaslu maupun sengketa perselisihan hasil pemilihan di MK nantinya. Menurut data di Bawaslu RI, sampai 16 Maret 2020 saja sudah ada 29 permohonan penyelesaian sengketa tahapan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan Pilkada 2020. 

Keempat, situasi politik lokal dan kepastian waktu pilkada. Berdasarkan data dari CSIS, rata-rata tingkat partisipasi pemilih pada pilkada sebelumnya mencapai 70% dan menunjukkan kecenderungan tingginya tingkat kompetisi antarcalon khususnya pada daerah yang fragmentasi politiknya tinggi, selisih suara antara pasangan calon relatif dekat.

Asumsi situasi politik lokal tersebut cukup rawan apabila tidak ada kepastian penundaan waktu pilkada. Para pemangku kepentingan kepemiluan membutuhkan kepastian waktu penundaan pilkada. Kandidat peserta pilkada membutuhkan kepastian pendanaan, logistik kampanye maupun kepastian format koalisi serta konfigurasi politik lokal.

Penyelenggara membutuhkan kepastian untuk perencanaan tahapan, dukungan anggaran, dan teknis penyelenggaraan. Sedangkan pemerintah daerah membutuhkan kepastian untuk realokasi ataupun budgeting anggaran pilkada. 

Kelima, penyelenggaraan pilkada serentak di Desember 2020 perlu memperhatikan tata kelola anggaran dan pertanggung jawaban anggaran oleh sekretariat KPU atau Bawaslu. Apakah memungkinkan juga anggaran pilkada di Desember 2020 ini menggunakan anggaran multi year. Setelah tahapan pemungutan suara 9 Desember 2020 tentu masih ada tahapan rekapitulasi sampai penetapan calon terpilih dan pelantikan, belum lagi bila ada sengketa di Mahkamah Konstitusi tahapan bisa berlangsung sampai 2021, apakah anggarannya bisa tersedia?

Kendati begitu, penundaan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember 2020 dapat menjadi titik pijakan bagi pemangku kepentingan pemilu, untuk mempersiapkan segala tahapan penyelenggaraan pemilu, tanpa titik pijakan yang jelas akan kesulitan mendesain penyelenggaraan.

Karena itulah perlu mendorong kreatifitas inovasi penyelenggara pemilu untuk mendesain penyelenggaraan pemilu sesuai tahapan penyelenggaraan pilkada di situasi krisis. 

Pemangku kepentingan kepemiluan perlu merumuskan bersama indikator kapan seleseinya pandemi Covid-19. Beberapa indikator di antaranya apakah telah terjadi penurunan yang signifikan angka positif Covid-19, penurunan prosentase wilayah yang terpapar Covid-19, maupun peningkatan prosentase pasien Covid-19 yang sembuh.

Namun jika masa tanggap darurat nasional bencana nonalam tersebut diperpanjang oleh pemerintah, terbuka peluang opsi B dan opsi C. Sebelum dimulainya pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020, Komisi II DPR RI bersama Mendagri & KPU RI akan melaksanakan Raker setelah masa tanggap darurat berakhir, untuk membahas kondisi terakhir perkembangan penangan pandemi Covid-19, sekaligus memperhatikan kesiapan pelaksanaan tahapan lanjutan Pilkada Serentak 2020. Sebagai catatan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum tahapan penyelenggaraan pilkada serentak bagi semua pemangku kepentingan pilkada. 

Tata kelola pemilu di masa krisis

Jika kemungkinan terburuk di bulan Juni masih terjadi pandemi Covid-19 maka perlu ada mitigasi pemilu di masa krisis dalam konteks ini bencana nonalam. Selama ini dalam regulasi pemilu di Indonesia baru mengatur tata kelola pemilu dalam konteks bencana alam misalkan saat terjadi banjir, gempa, tanah longsor. Desain tata kelola pemilu di Indonesia belum mengatur pada kondisi bencana nonlam seperti saat terjadi pandemi ataupun terorisme.  

Para pemangku kepentingan kepemiluan di Indonesia perlu mendesain tata kelola pemilu di masa bencana nonalam. Menarik melihat catatan IDEA Internasional, masih ada 15 negara yang tetap menyelenggarakan pemilu di masa pandemi Covid-19, perlu dijadikan pembelajaran bagi Indonesia sebagai referensi tata kelola pemilu di masa pandemi. 

Salah satunya di Israel, TPS dibuat terpisah dari terpal plastik yang didirikan dan dikelola oleh petugas pemilihan umum dengan pakaian pelindung untuk lebih dari 5.500 pemilih yang berada dalam isolasi rumah setelah pulang dari luar negeri. 

Di Korea Selatan dimana terdapat lebih dari 10.423 kasus Covid-19 dan lebih dari 200 kematian dilaporkan (per 9 April), pasien dapat memilih selama pemilihan parlemen 15 April dari rumah dan rumah sakit berdasarkan keputusan lembaga penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Nasional Korsel juga telah menyiapkan “kode etik” dan informasi pemilih untuk warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilihan dengan mencuci tangan mereka sebelum pergi ke TPS dan menyiapkan masker dan kartu identitas. Para pemilih juga diharapkan menjaga jarak aman dari yang lain serta tidak melakukan diskusi di dalam atau di luar TPS. 

Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menerbitkan rekomendasi untuk TPS sebagai antisipasi Covid-19. Rekomendasi tersebut mencakup tindakan pencegahan bagi penyelenggara pemilu dan masyarakat umum sebelum dan selama hari pemilihan, termasuk juga pedoman untuk menangani surat suara.

Penyelenggara pemilu di AS juga mempertimbangkan langkah-langkah kesehatan dan keselamatan serta pemungutan suara melalui pos.

Karena itu, jika tahapan penyelenggaraan pilkada serentak dilanjutkan kembali pada Juni 2020  dan masih terjadi pandemi Covid-19, tentunya harus ada inovasi pada tahapan seperti verifikasi faktual calon perseorangan, pemutakhiran data pemilih. Tentunya terkait dengan tata kelola pada konteks bencana nonalam, tidak bisa dilakukan dengan business as usual

Pilihan-pilihan inovasi yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam konteks bencana nonalam di Indonesia di antaranya : (1) pemutakhiran data pemilih melalui online seperti metode sensus penduduk online dari BPS, (2) penggunaan SOP di TPS dangan phisical distancing dan sterilisasi, (3) penggunaan surat suara via pos yang dapat menimalisir kontak kerumunan warga di TPS, (4) kampanye melalui visual dan media sosial, (5) penggunaan e-rekap yang dapat memangkas prose rekapitulasi manual berjenjang yang panjang dan melelahkan. Semua pilihan-pilihan itu memerlukan simulasi, simulasi, dan simulasi oleh penyelenggara pemilu dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota, sampai tingkat bawah di tingkat PPK / PPS/ KPPS.

 

img
Dody Wijaya
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan