close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dokumen pribadi Andry Waseso.
icon caption
Dokumen pribadi Andry Waseso.
Kolom
Sabtu, 16 Juni 2018 15:39

Sindrom holiday blues kala Idulfitri

Saat tradisi Lebaran berubah menjadi tuntutan sosial, maka alih-alih membahagiakan, itu justru menghasilkan tekanan tersendiri.
swipe

*Pegiat psikoedukasi

Saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia sedang menikmati cuti bersama Idulfitri yang berlangsung kurang lebih sembilan hari. Idulfitri sendiri adalah hari besar umat Islam yang dirayakan setiap tahun dan menjadi kesempatan untuk saling menyambung silaturahmi, bermaafan, dan menikmati liburan bersama keluarga atau teman.

Setiap tradisi agama atau budaya di dunia memiliki saat-saat libur panjang seperti ini di waktu yang beragam. Apapun makna dari perayaannya, satu hal yang pasti, semua orang diharapkan berlibur melepas penat dari kesibukan sehari-hari. Tentu saja kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Liburan adalah saat kita menyegarkan lagi pikiran dan menikmati kebahagiaan bersama orang-orang yang kita anggap penting dengan berjalan-jalan, menikmati kuliner yang tidak biasa, dan berfoto-foto untuk diunggah ke media sosial.

Namun, apakah ini untuk semua orang? Belum tentu. Ketika kebahagiaan di masa liburan menjadi norma sosial, beberapa orang menghayatinya sebagai tekanan dan pada akhirnya menimbulkan stress yang tidak bisa dianggap enteng. Biasanya ini disebut sebagai holiday blues (HB), sebuah keadaan stress yang dirasakan seseorang, dan disebabkan oleh berbagai harapan sosial di masa liburan.

Selain itu, ada juga tekanan-tekanan lain seputar tradisi sosial selama Idulfitri (atau tipe liburan bersama lainnya). Daftarnya bisa dimulai dari memasak secara spesial, berbagi uang dengan kerabat yang dipandang kurang mampu, pulang mudik ke kampung halaman sampai sekadar membeli baju baru.

Tradisi semacam itu sebenarnya bertujuan baik, namun ketika berubah menjadi tuntutan sosial, maka banyak orang bisa merasakannya sebagai tekanan tersendiri. Beberapa orang mencoba berpikir positif dengan melihat persoalan-persoalan tersebut sekadar harga yang harus dibayar untuk mendapatkan kebahagiaan Idulfitri yang begitu spesial. Jadi, seolah ini sama sekali bukan permasalahan yang perlu dibesar-besarkan. Mungkin ini benar untuk sebagian orang, tapi bisa jadi ini sangat mengganggu bagi sebagian lainnya.

HB bisa muncul karena adanya harapan yang berlebihan tentang bagaimana sebaiknya tradisi Idulfitri dijalani. Idealisasi “adegan-adegan” Idulfitri yang ditampilkan di televisi atau bahkan sekadar diskusi di Whatsapp Group keluarga besar, tentu menyenangkan untuk dijadikan patokan tentang bagaimana sebaiknya acara keluarga selama Idulftiri diselenggarakan.

Namun, belum tentu idealisasi tersebut mudah terlaksana bagi semua orang. Kita berbeda-beda dalam kemampuan untuk membiayai libur Idulfitiri. Ada yang dengan mudah bisa membeli baju baru, tiket mudik dengan pesawat, atau berbagi uang ke saudara-saudara di kampung. Yang lain mungkin tidak semudah itu melakukannya, karena ada keterbatasan-keterbatasan. Sayangnya, saat skenario ideal yang dijadikan patokan menjadi keharusan, ini bisa membuat mereka yang tidak bisa memenuhinya menjadi lebih tertekan.

Bahkan, sebagai pembanding, dalam sebuah studi di Amerika Serikat, 53% orang mengalami HB yang dipicu oleh adanya tuntutan pengeluaran yang relatif lebih besar di masa liburan Natal dan Thanksgiving. Di Indonesia kita memiliki tradisi THR (Tunjangan Hari Raya) yang bisa mengatasi tekanan pengeluaran lebih di masa libur Idulfitri bagi muslim. Namun, lagi-lagi, tidak semua orang mendapatkannya, sementara tuntutan untuk menambah pengeluaran nyaris dirasakan secara merata.

Tekanan lain yang juga sering muncul dan dibicarakan dalam acara-acara keluarga selama Idulfitri biasanya menyangkut pembicaraan tentang keadaan kehidupan pribadi satu sama lain. Pertanyaan-pertanyaan seperti “kapan nikah”, “kapan punya anak”, “kapan nambah anak”, “kerja di mana sekarang”. Pertanyaan ini bisa mengusik pada beberapa orang yang karirnya biasa-biasa saja, namun terpaksa menghadapi hamburan pertanyaan tersebut kala kumpul-kumpul bersama di Idulfitri. Bayangan tentang situasi tersebut bisa menimbulkan stress sendiri bagi mereka, yang tidak ingin kehidupan pribadinya dipertanyakan oleh keluarga besar.

Kemudian sebagaimana telah disebutkan di atas, ada juga tuntutan untuk memiliki emosi-emosi tertentu selama Idulfitri. Anda biasanya diharapkan terharu saat saling bermaaf-maafan dan bergembira selama acara makan-makan atau ramah tamah di antara keluarga besar. Sayangnya, ada orang-orang yang tidak bisa begitu saja bergembira karena berbagai sebab atau tersentuh hatinya oleh adegan-adegan khas Idulfitri.

Ini bisa menjadi persoalan, karena orang-orang tersebut mungkin khawatir kalau mereka tidak menunjukkan kebahagiaan seperti saudara-saudaranya. Tentu saja wajah yang terlihat murung atau kesal bisa dianggap tidak cocok untuk acara keluarga semacam ini. Di sisi lain, bila seseorang dianggap tidak “tersentuh” hatinya oleh adegan bermaaf-maafan, ia bisa dianggap tidak sensitif atau tidak punya ketulusan dalam bermaaf-maafan. Anggapan ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi sejumlah orang. Mereka boleh jadi khawatir tidak memenuhi harapan sosial terhadap bagaimana seharusnya berperilaku di acara Idulfitri.

Variasi lain yang muncul sebagai pemicu HB terjadi pada mereka yang justru sendirian selama Idulfitri. Orang-orang yang mengalaminya mungkin harus berjauhan dari keluarga mereka, padahal berharap bisa bersama-sama. Pun, boleh jadi mereka memang sudah tidak memiliki siapa-siapa untuk dikunjungi kecuali kerabat-kerabat jauh yang tidak terlalu dikenal. Pastinya sulit sekali bagi mereka melihat orang lain berkumpul bersama keluarga. Rasa kesepian ini dapat begitu menekan dan menimbulkan persoalan tersendiri.

Untuk mengatasinya, Anda perlu bisa membedakan mana hal yang bisa Anda kontrol dan mana yang tidak. Kemeriahan Idulfitri dapat menimbulkan kegairahan yang besar bagi banyak orang untuk berinteraksi dengan orang-orang yang selama ini jarang mereka temui. Potensi mereka untuk excited dan agak kehilangan kendali atas apa yang pantas dan tidak pantas ditanyakan satu sama lain. Dengan demikian, Anda mungkin hanya punya sedikit kontrol terhadap perilaku mereka.

Namun, Anda punya kontrol penuh terhadap reaksi Anda. Jauh-jauh hari, kembangkan kemampuan untuk bersikap asertif dan jangan pernah takut pada adegan-adegan menyebalkan, ketika orang mempertanyakan pilihan hidup Anda. Bersikap asertif artinya menyatakan dengan jelas apa yang Anda tidak suka atau yang mengganggu Anda sambil tetap menghormati orang yang diajak bicara. Anda bisa misalnya mengungkapkan, Anda merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut, namun tetap ingin bisa ngobrol dengan orang itu, atau setidaknya tidak ingin menyakiti dia dengan menolak menjawab.

Dalam menyikapi harapan yang tidak realistis atau idealisasi, Anda juga perlu melihat, realitas adalah sebatas apa yang Anda bisa wujudkan dan belum tentu yang Anda impikan. Membedakan antara harapan dan kemampuan menjadi penting. Apalagi kalau harapan tersebut tercipta hanya karena iklan di televisi, di media daring, atau lebih luas di media sosial. Fokus pada optimalisasi apa yang Anda mampu dan buat yang terbaik dari situ demi kebahagiaan bersama keluarga.

Terkait dengan kekhawatiran Anda tidak menampilkan emosi yang tepat selama Idulfitri, terima diri apa adanya dan abaikan reaksi orang yang menghakimi Anda. Apa yang mereka lakukan kepada kita, tidak dapat kita kendalikan. Bagaimana pun, kita bisa mengendalikan respons terhadap apa yang mereka lakukan.

Kemudian, hadapi kesepian Anda dengan mencoba sebanyak mungkin, sebatas yang bisa dilakukan secara teknis, untuk berinteraksi dengan teman atau saudara jauh yang saling kenal, selama Idulfitri. Anda bisa menelpon mereka, mengontak lewat media sosial, mengunjungi mereka saat Anda sudah punya waktu, atau sekadar berinteraksi langsung dengan tetangga terdekat.

Meskipun sepertinya melelahkan harus berbasa-basi dan memaksa diri berpartisipasi dalam sebuah interaksi sosial, tapi percayalah, itu investasi yang baik bagi kehidupan Anda. Sebuah studi psikologi selama puluhan tahun terhadap subjek penelitian yang sama, menunjukkan relasi sosial yang bermakna adalah salah satu kunci dari pemulihan emosi-emosi negatif dan sumber kebahagiaan.

Jadi, bila Anda bersedih karena kesepian selama Idulfitri, temui orang lain (teman atau siapa pun yang bisa Anda jangkau), bangun interaksi positif, dan nikmati kebersamaan. Beranikan diri untuk ambil inisiatif memulai. Ajak orang lain atau tawarkan diri bahkan untuk sekedar berbincang-bincang. Ditolak? Pandang itu sebagai risiko yang bisa Anda atasi dengan mudah dengan mencari orang lain lagi untuk Anda temui. Intinya: temukan kebahagiaan dan momen bermakna bersama sesama.

img
Andry Waseso
Kolomnis
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan