Siklus perencanaan bukan siklus rutinitas
Siklus proses perencanaan pembangunan yang berlangsung hingga hari ini masih menyisakan masalah mendasar. Setiap titik proses perencanaan belum mampu mendekatkan kita untuk bergerak lebih cepat dalam menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran. Siklus yang dimaksud dimulai dari ide, tujuan, rencana, adopsi, implementasi, hingga evaluasi yang terus bersirkulasi dalam rangka mencapai tujuan besar bernegara.
Kenyataan pahit ini terindikasi dimulai dari proses pemilihan kepala daerah dan wakil rakyat yang cenderung berbiaya mahal. Prosesi pemilihan ini menjadi salah satu faktor dominan yang mengarahkan proses perencanaan melenceng dari jalur idealnya. Biaya mahal dalam proses rekrutmen pejabat ini tidak bisa dipisahkan dari karakter pemilih yang kerap mendukung terciptanya iklim politik berbiaya tinggi. Meskipun tidak dapat digeneralisir, namun hal ini masih menjadi rahasia umum. Masih sulitnya orang-orang baik yang punya kapasitas memimpin, namun tidak memiliki pendanaan untuk ikut, serta dalam kontestasi pemilihan merupakan faktor penghambat keadaan dunia politik saat ini dalam melangkah ke level yang lebih baik.
Visi dan misi kepala daerah terpilih merupakan serangkaian proses pendekatan politik yang selanjutnya dibahas bersama DPRD untuk diterjemahkan ke dalam proses perencanaan pembangunan lima tahunan. Penetapan visi dan misi yang utopis tanpa kejelasan prioritas menjadi kendala dalam proses rencana.
Ketidakmungkinan untuk memprioritaskan semua aspek pembangunan selama kurun waktu lima tahun ini belum tergambar dengan baik melalui visi dan misi beberapa kepala daerah terpilih yang cenderung mengarah kepada visi jangka panjang. Hal ini tentu berimbas kepada penetapan strategi, kebijakan, dan program yang kurang berkualitas dalam mendongkrak percepatan pembangunan.
Masalah berikutnya adalah dari proses rencana itu sendiri. Rencana dan perencana mempunyai pengaruh penting pada keberhasilan implementasi. Keterlibatan semua pihak, baik pelaksana maupun penerima dampak kebijakan dalam proses rencana merupakan satu urgensi tersendiri agar rencana yang ditetapkan sinkron dengan kutub masalah dan implementasi diarahkan untuk menjawab poin tantangan di lapangan.
Terkadang, sebuah kebijakan yang diputuskan mengatasnamakan kepentingan orang banyak dan berasumsi bahwa setiap individu yang ada dalam sebuah kelompok telah mewakili kelompoknya. Konsistensi perencanaan melalui pendekatan bawah-atas sangat diperlukan untuk mereduksi kebijakan, program, dan kegiatan yang salah arah. Kualitas perencana yang kapabel dalam memetakan akar masalah dan mengelaborasi serangkaian langkah strategis ke dalam dokumen perencanaan juga menjadi sisi tantangan yang masih harus kita hadapi.
Perlunya dukungan kaum intelelektual akademik yang sanggup memetakan kerumitan masalah menjadi lebih sederhana, sehingga begitu dokumen program dan kegiatan resmi ditetapkan, tidak lagi muncul bahasa-bahasa langit yang sulit dimengerti. Dokumen program dan kegiatan idealnya sudah mampu memetakan operasi kerja di lapangan secara efektif efisien.
Dalam suasana implementasi, sudah dapat tergambar bagi pelaksana kerja mengenai apa, bagaimana, siapa, kapan, dimana, beserta acuan kerja yang jelas. Aliran hasil dan dampak yang terbentuk dari kinerja berbagai satuan kerja pada akhirnya diharapkan akan bermuara kepada satu tujuan yang sama, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Terkait implementasi, salah satu kunci keberhasilan tahapan ini adalah dengan melakukan kontrol kegiatan secara rutin dan kontinu. Lemahnya kontrol dan pengawasan atas suatu kegiatan akan memperlebar gap antara target dan rencana dengan capaian yang diperoleh. Misal, standar spesifikasi barang dan jasa yang dibelanjakan dapat lebih mudah terpenuhi jika peran kontrol dan pengawasan pekerjaan berlangsung dengan baik.
Begitu pula dalam ranah bidang konstruksi yang memerlukan pengawasan dan pengendalian secara lebih massif. Adanya kendala teknis dilapangan dapat segera diatasi jika pihak pemberi kerja lebih responsif dengan membuka ruang masukan/komunikasi yang luas selama pelaksanaan pekerjaan, agar output yang dihasilkan juga menjadi semakin berkualitas, berkelanjutan, dan lebih tepat waktu. Sebagai catatan, bukan berarti dengan menghalalkan segala cara.
Selama ini yang kerap terjadi, pelaksana kerja menanggung beban sendiri atas perbedaan kondisi dari tahap rencana dan adopsi dengan keadaan di implementasi. Akhirnya menimbulkan ruang buntu yang seharusnya bisa dipecahkan dengan cara duduk bersama. Akhirnya luaran yang dihasilkan menjauh dari rencana awal.
Pada kasus lain, kurangnya tranparansi dan akuntabilitas terkait kegiatan dan anggaran sampai level terkecil membuat masyarakat tidak memiliki akses informasi yang baik, sehingga peran partisipatif yang diharapkan sebagai pengontrol suatu kegiatan menjadi lemah.
Fenomena selanjutnya adalah rendahnya rasio efektivitas PAD yang turut menyumbang surplus anggaran belanja, sehingga belum mampu berperan sebagai oli pembangunan yang lebih efektif. Semakin besar selisih capaian dengan target PAD-nya, mengindikasikan beberapa hal dalam tahap implementasi yang kurang selaras dengan apa yang direncanakan.
Masih banyak lagi kasus negatif yang bisa diangkat pada tahap implementasi ini. Bukan bermaksud ingin membuat gambaran analisa menjadi semakin kusut, namun hanya untuk sekedar memberi bobot penekanan yang lebih agar menjadi perhatian yang ekstra buat pemangku kepentingan. Poinnya adalah, besarnya outcome dan impact yang dihasilkan sangat bergantung dari tahapan ini.
Berhasil tidaknya setiap kegiatan diukur dengan tingkat harapan/kesesuaian dengan hasil kinerjanya. Cara mengukurnya bisa menggunakan data makro sekunder, berupa indikator standar pembangunan yang lazim digunakan untuk menjadi acuan target kinerja. Dapat pula diperoleh dalam bentuk data mikro primer berupa interview dengan pengguna layanannya, untuk memastikan tingkat kepuasan yang pengguna peroleh dari hasil kinerja setiap satuan kerja tersebut. Ukuran kinerja ini ditetapkan sendiri oleh seluruh pelaksana kerja, dan punya tiga kemungkinan, apakah target terlalu optimis, moderat, atau pesimis. Pada titik ini, kemampuan sumber daya manusia perencana dalam menetapkan ukuran yang optimal dan rasional dipertaruhkan.
Penetapan ukuran kinerja yang baik adalah dengan mempertimbangkan potensi, masalah, peluang, dan ancaman dari segala sisi. Memastikan langkah strategis dalam memanfaatkan potensi dan peluang, serta menutup/mengurangi masalah dam ancaman yang berada di kendalinya, serta mampu memicu kemampuan setiap pelaksana kerja untuk berada di batas optimum. Mestinya, ukuran kinerja yang ingin dicapai bukan hanya sekedar menarik garis proyeksi setiap indikator. Hadirnya pemerintah justru untuk membelokkan proyeksi agar berada di dalam kendali pembangunan.
Tahapan evaluasi, bukan hanya sekedar seremoni untuk melengkapi dokumen agar dapat melakukan rutinitas perencanaan berikutnya. Lebih dari itu, evaluasi adalah kunci dalam membongkar permasalahan selama proses rencana hingga tahapan implementasi.
Munculnya gap antara target dan kinerja, bukan hanya sekedar selisih statistik, dan ujungnya membuahkan rekomendasi yang masih bersifat umum. Memperlakukan tahapan evaluasi dalam rangka membongkar dengan jujur masalah-masalah detail di lapangan diharapkan menghasilkan poin-poin rekomendasi yang lebih mengkerucut untuk dilakukan perbaikan kedepan. Harapannya, ide-ide segar muncul dalam menjawab beberapa fokus masalah di lapangan agar dapat diselesaikan tahap demi tahap yang tertuang pada dokumen perencanaan berikutnya.
Kerangka pikir di atas selaras dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 86 Tahun 2017, yang merupakan buku saku setiap level organisasi dalam menjalankan siklus proses perencanaan. Namun, tidak kalah pentignya, hasil dan dampak kinerja sangat bergantung dari satu langkah pertama, yaitu bagaimana seluruh pelaksana kerja mampu meningkatkan produktivitas, dengan membangun iklim yang kondusif di setiap ruang kerja dalam menggerakkan roda pembangunan.
Ghiroh dalam memproduksi pelayanan prima ini menjadi sumber kekuatan dalam mengarungi siklus proses perencanaan, yang akan terus mengasah kemampuan membangun dari seluruh satuan kerja. Kemampuan itu termasuk dalam penetapan target dan rencana yang lebih rasional serta berkualias. Senyawa dengan meningkatnya kualitas luaran dan dampak dari implementasi yang semakin mendekatkan kita pada visi besar jangka panjang.