close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Jumat, 31 Maret 2023 20:52

Sepak bola itu politik!

Mereka yang menyerukan pemisahan antara sepak bola dan politik tidak menyadari bahwa seruannya itu bentuk sekularisasi.
swipe

Pada akhirnya, FIFA membatalkan perhelatan Piala Dunia Sepak Bola U-20 di Indonesia. Publik sepak bola geger, merasa sedih, kecewa bahkan geram dengan pembatalan oleh FIFA ini.

Kegeraman publik bukan diarahkan kepada PSSI sebagai penyelanggara, melainkan kepada PDI Perjuangan, khususnya I. Wayan Koster dan Ganjar Pranowo yang dianggap menjadi biang kerok pembatalan ini kerena menolak Timnas Israel bermain di Indonesia. 

Publik menilai politisi PDI Perjuangan telah mempolitisasi sepak bola demi kepentingan politik sesaat. Padahal sepak bola harus dipisahkan dari politik. Timnas Israel datang ke Indonesia bukan untuk berpolitik, melainkan untuk pertandingan olah raga! Harus dibedakan antara Israel sebagai negara yang melakukan agresi dan kolonisasi Palestina dengan tim sepak bola. Pertanyaannya, apakah Timnas Israel datang ke Indonesia mawakili NGO atau ormas di Israel?

Everything is politics, kata Thomas Mann. Everything is political, diungkapkan Paul Krugman. Di mata mereka yang politis bukan semata perkara bentuk pemerintahan, pemilu, partai politik dan sejenisnya, namun juga segala hal tentang hidup manusia di dunia.

Pandangan mereka ada benarnya. Kita manusia ini produk politik. Kita terlahir ke dunia melalui proses politik, yaitu persenggamaan. Persenggamaan adalah praktik sekaligus relasi politik yang paling primordial yang dilakukan ibu dengan bapak kita. Sebagian kita terlahir melalui persenggamaan atas dasar subordinasi bahkan koersi (keterpaksaan). Sebagian lagi terlahir dari persenggamaan atas dasar kesepakatan yang intim. Buah dari percintaan transformatif dan keintiman demokratik! Begitu kira-kira yang dikatakan Giddens.   

Kalau persenggamaan kita dengan pasangan saja adalah relasi politik, apalagi sepak bola yang memiliki peraturan teknis permainan, dipimpin oleh wasit serta diwadahi organisasi dengan  aturan hukum yang jelas serta ketat semacam PSSI. Apalagi FIFA, orang nomor satunya disebut presiden.

Semua tata kelola itu politis

Mereka yang menyerukan pemisahan antara sepak bola dan politik tidak menyadari bahwa seruannya itu bentuk sekularisasi, sebagaimana seruan kalangan ihwal adanya pemisahan antara kehidupan agama dengan negara. Bukankah sekularisasi adalah pandangan dan praktik politik?   

Lagi pula, kalangan yang berpandangan bahwa sepak bola harus disterilkan dari politik adalah pandangan yang sungguh naif dan ahistoris. Bung Karno menolak keikustertaan Israel justru kerena ia sadar timnas sepak bola adalah representasi negara, oleh karenanya sangat politis. Kalau Bung Karno tidak melihat sepak bola atau olah raga lainnya sebagai praktik politik tidak mungkin ia membentuk GANEFO (Games of the New Emerging Forces).

GANEFO sebuah bentuk perlawanan politik terhadap Komite Internasional Olimpiade (IOC) yang pada masa itu melarang keikutsertaan Tiongkok dan Vietnam Utara yang berideologi komunis. Bung Karno murka kepada IOC karena telah menjadikan dirinya sebagai instrumen politik Perang Dingin. 

Kepada mereka yang naif, coba deh tengok timnas sepak bola Italia yang berhasil menyabet gelar piala dunia empat kali. Ketika Italia meraih gelar pertama kali pada 1934, memangnya tidak ada campur tangan fasisme Mussolini? Menurut sejarawan sepak bola Bill Murray (1996), Mussolini adalah seorang fasis pertama yang sangat menyadari dan menggunakan olah raga-termasuk sepak bola-sebagai bagian integral dari politik pemerintahannya.

Pandangan Mussolini ini yang kemudian ditiru oleh Hitler (Jerman) dan Stalin (Soviet). Bahkan, menurut Murray, Stalin lebih cenderung menggunakan olah raga sebagai perayaan kekuasaannya di ranah domestik nasional. Ia cenderung enggan mengirimkan atlet Soviet di kompetisi internasional sebelum ia betul-betul yakin akan menang. Bagi Stalin kemenangan para atletnya adalah kemenangan politik di kancah internasional. 

Di benua Amerika Selatan, kemenangan Argentina atas Peru dalam Piala Dunia 1978 bisa disebut sebagai sejarah kemenangan yang paling kontroversial di dunia sepak bola. Kemenangan Argentina kuat ditengarai karena ada campur tangan politik diktator sang penguasa, Jorge Videla. Konon, situasi politik itulah yang membuat Johann Cruyff  dan  Franz Beckenbauer mengambil langkah “politik”, menolak hadir bermain dalam ajang tersebut.        

Ironis tetapi nyata, Italia dengan sejarah fasisme Mussolininya, Jerman dengan Hitlernya dan Argentina dengan kediktatoran Videla adalah negara-negara yang sampai kini merajai persepakbolaan dunia. Yang disebut terakhir, merajai Piala Dunia 2022 dengan Lionel Messi sebagai sang raja.

Bagi mereka penggila Barcelona dan Real Madrid, mestinya paham betul bahwa laga el Clasico selalu berlangsung “panas” dan keras tetapi sekaligus menarik, justru bukan karena semata dilihat sebagai peristiwa gocekan dan bentrokan antarkaki atau benturan kepala untuk merebut bola lalu menjebloskannya ke gawang lawan.

Lebih dari itu, di balik pertarungan keduanya selalu diliputi getaran sejarah politik perlawanan Catalunya terhadap Spanyol (Madrid) yang telah berlangsung berabad lamanya. Tidak jarang kita menyaksikan dalam setiap el Clasico, terutama ketika berlangsung di Camp Nou, terbentang  bendera kuning bergaris merah dengan tulisan sloganistik: Catalonia is not Spain!

Bercermin dari gambaran singkat perjalanan sejarah sepak bola dunia di atas, tidak usahlah kita memperpanjang dramatisasi cemen yang menguras emosi dan pikiran ini. Kita terlalu munafik jika berkukuh memisahkan sepak bola dengan politik.

Erick Thohir merebut kursi Ketua Umum PSSI jelas kental dengan kepentingan politik, sebangun dengan kepentingan politik PDI Perjuangan yang diwakili Ganjar dan Koster yang menolak Timnas Israel. Semua sah adanya sejauh tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Jangan-jangan kemunafikan untuk mengakui bahwa sepak bola sebagai peristiwa politik itulah yang menghalangi kita untuk mengembangkan perspekabolaan di negeri ini. 

Oleh karenanya, kita perlu serius belajar dari negara-negara yang maju dalam sepak bola, bukan hanya belajar tentang pengalaman, teknik permainan dan tata kelola organisasinya, melainkan juga kejujuran pandangannya bahwa football is political. 

Oh ya, jangan salah, saya juga pecinta sepak bola. Saya pernah terpukau dengan timnas era Hermansyah dan Rully Nere. Di level klub, saya penggemar Persebaya. Saya juga ngefans berat Barcelona, Liverpool dan Napoli. Di level dunia, saya pendukung setia Timnas Argentina. 

Namun, terkait dengan Piala Dunia U-20 ini, jauh-jauh bulan sebelum geger pembatalan oleh FIFA, sejujurnya saya katakan, secara pribadi saya tidak antusias dengan perhelatan ini. Bukan karena saya tidak senang jika Piala Dunia U-20 diselenggarakan di Indonesia. Pun bukan berarti saya tidak bangga dengan timnas kita.

Akan tetapi, saya sudah telanjur tidak lagi terhibur, sedih dan kecewa melihat permainan timnas kita. Kira-kira yang saya rasakan sama dengan kesedihan dan kekecewaan PSSI, para politisi serta mereka yang selama ini sangat berharap Piala Dunia U-20 di selenggarakan negeri kita tercinta ini.  
 

img
Wildan Pramudya Arifin
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan