Seni antihoaks: Sebuah mimpi atau realita?
Awal tahun selalu membuka lembar-lembar hidup atas harap dan cemas, terlebih hanya satu tahun menyongsong era mendebarkan dan suhu hangat Pesta Demokrasi 2024. Pesta identik dengan suka ria, sebuah ritual menjalani hidup berharap lebih baik. Namun sebaliknya, kita cemas masa lalu memberi pelajaran atas sebagian luka yang sampai kini masih terasa. Terlebih, era keterbukaan di dunia digital, utamanya media sosial memberi paras aselinya: membelah pun memicu syak wasangka.
Kewaspadaan semestinya menjadi panglima, kekhilafan masa lalu patut dijaga dengan nalar. Jika kita menyusuri data-data, sesuai situs We Are Social per Januari 2023, yakni situs institusi independen yang mengeksplorasi karakter kultur digital dan perilaku sosial manusia sejagat memberi informasi cukup sahih.
Data itu menganalisa pengguna internet aktif sejumlah 5,16 milliar, jika dibanding populasi manusia seturut World Population Review, bahwa penduduk bumi berjumlah 8,00 miliar pada awal Februari 2023. Laporan We Are Social menunjukkan, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi di dalam negeri.
Seterusnya, hadirlah pertanyaan tentang bagaimana jumlah pengguna aktif internet bisa sebegitu besar? Dari jumlah populasi yang ada bukankah yang melek/mengakses dunia digital tak termasuk usia balita atau mereka yang telah menjadi migran digital, tetapi sudah lanjut usia dan sejumlah populasi yang tak terakses internet (secara geografis ada di wilayah blank spot). Belum lagi, jumlah manusia yang dengan sengaja mengabaikan dunia internet selalu masih eksis?
Jawabannya secara logis sederhana, bisa jadi selalu ada dan eksis mereka yang tak menggunakan internet, namun akun-akun abal-abal yang tak terdeteksi sebagai akun yang dibuat oleh manusia lumayan besar jumahnya. Yang dipersiapkan dan digunakan oleh mesin atau AI/Artificial Intelligence, yang tentu saja disusun oleh sekelompok manusia berpengaruh secara modal. Mereka memiliki modal politik, ekonomi pun kemampuan mengelola big data internet.
Akun abal-abal sengaja dibuat, secara terorganisir oleh dan dari badan-badan manapun, atau justru dibuat oleh pemerintah yang sah dan secara masif dipersiapkan. Dunia siber hari ini menyalin kisah fiktif George Orwell dengan novel-novelnya, terutama tentang masyarakat distopia, surveillance society. Yakni, sebuah sistem kuno bagaimana kekuasaan mengendalikan masyarakat dengan mengoleksi data dengan memata-matai secara ekstensif, merekam, menyimpan dan menganalisis informasi tiap invidu.
Jefrey A.Winters, cendekiawan yang tak lelah berargumen menyoal konsep oligarki, memberi pencerah. Winters menyebut, bagaimana sebuah sistem mengontrol aset-aset strategis sumber daya sebuah negeri dan masyarakatnya dengan sebentuk pemerintahan yang struktur kekuasaannya dikuasai oleh sekelompok kecil orang.
Sejumlah individu terpilih mengendalikan keputusan para penguasa politik, yakni kelompok berpengaruh, orang-orang super kaya yang mampu menguasai pula jagat digital internet.
Dari sana, konsep-konsep seperti liberte yang bermakna pembebasan, egalite berarti persamaan, dan fraternite yang berarti persaudaraan bisa sekedar angan-angan. Semboyan itu akhirnya tak lagi menjadi tiga tuntutan nilai dasar dalam prinsip-prinsip demokrasi. Maka terpuruklah dalam kabut cita-cita sakral mencegah pihak yang kuat mendominasi kehidupan mereka yang lemah.
Seni antihoaks
Kecemasan tentang 2023 menjelang 2024, sesungguhnya kegalauan bersama sebagai warga, termasuk komunitas seniman. Yang mempertanyakan, dalam berkesadaran utuh, sesungguhnya apakah kita dan peran seni masih mampu memberi kontribusi, setidaknya membawa nilai-nilai yang kita percayai tentang masyarakat yang setara dan berkeadilan patut diperjuangkan?
Di masa lalu, ancaman tak datang hanya dari keraguan atas pernyataan-pernyataan akun resmi pun akun abal-abal, namun muncul tersebab ancaman regulasi khusus dunia digital atas suara kritis warga, berupa sangsi-sangsi dengan delik pencemaran nama baik dan sebagian lagi dianggap ujaran kebencian. Di sana kelas menengah kita, kaum intelektual, profesional dan seniman sebagian ragu untuk memilih: tetap membisu atau bersuara.
Sebuah kesadaran-seperti kisah orang-orang yang tersisa kekuatan dan berharap ada perubahan, layaknya berimajinasi sebuah goa gelap dan terlihat samar-samar di ujung lorong terlihat cahaya, yang sesungguhnya sebuah kondisi pembebasan.
Seni dengan demikian hadir seperti suluh atau lebih tepatnya cahaya kuat diujung lorong goa gelap; sebuah energi organik yang menuntun bersama-sama dengan karya-karyanya, dibuat oleh seniman-seniman yang benar-benar menghayati tentang berbahayanya kondisi data-data yang dimanipulasi dan penyebaran kebohongan. Yang seterusnya diulang, direproduksi menjadi mitos-mitos dan diyakini kebenarannya, merembes dalam alam bawah sadar bereaksi pada aktifitas pemberian stigma tertentu.
Yang celakanya, stigma berbasis data palsu menimpa pada orang-orang yang sungguh-sungguh ingin menegakkan keadilan dan kesetaraan dengan rekam jejak yang jelas, otentik, empirik dan terbukti mumpuni menjadi calon pemimpin bangsa pada 2024. Kita patut belajar pada karya-karya dan seniman dunia yang cukup kritis dan bersuara tanpa rasa takut, memahami kondisi zamannya dalam memotret gejolak politik.
Mereka kita kenali, bahkan sudah tercatat dalam sejarah seni Barat; sejak abad 18 yang merepresentasikan revolusi Prancis dengan seniman Jacques Louis David, dengan lukisan The Death of Marat, 1793 atau Eugene Delacroix di abad 19, pada 1830 dengan karyanya Liberty Leading the People sebagai ingatan atas Revolusi Juli.
Sedangkan karya Warhol dengan jenis Pop Art yang kemudian menjadi sedemikian komersil dengan sosok Vladimir Lenin, mengingatkan narasi pertentangan ideologi yang tenar masa Perang Dingin AS-Uni Soviet pun dengan kisah seniman perempuan seperti Käthe Kollwitz tentang tragedi perang Jerman di awal abad 20.
Tak lupa, Ahmed Basiony dengan karya video, seniman multi-media digital yang menjadi martir pada Revolusi Mesir di Lapangan Tahrer yang dikenal dengan fenomena Arab Spring, menjadi wakil Afrika-Timur Tengah. Sementara Asia, seniman Ai WeiWei yang lantang berkarya tentang dunia politik dan masa depan demokrasi, yang seumur hidupnya didera persekusi yang justru datang dari negara tempat ia lahir, Tiongkok.
Nama-nama seperti Heri Dono, Arahmaiani, Tisna Sanjaya dan FX Harsono dengan kegigihannya menyuarakan kebebasan berekspresi pada era Orde Baru membawa Indonesia ke peta seni dunia tentang seni dan politik. Sementara itu, seni sebagai propaganda adalah yang paling relevan saat ini. Selayaknya seniman-seniman memulai dengan membangun karya-karya yang sungguh-sungguh menjadi narasi kuat melawan hoaks dari para buzzer.
Secara organik, jika data-data hoaks di internet adalah cara sekelompok manusia secara sistemik, baik dengan akun abal-abal dan akun resmi, atau upaya “memanipulasi algoritma” dengan menggunakan kalkulasi berbasis AI, maka yang patut diperbuat oleh seniman adalah bergerak dan berkarya secara organik di dunia siber. Jejak podcast YouTuber, FB status, IG story, Tik-Tok posting layak dipenuhi dengan karya-karya berjenis pamflet, teks-teks dan rangkaian imej visual sloganistik yang secara langsung memverifikasi kebenaran sebuah fenomena dan peristiwa.
Sejatinya, perlawanan yang paling empirik hari ini adalah memberi konten narasi melalui fakta-fakta, berupa data-data yang otentik dari sumber-sumber yang jelas. Hal itu, setidaknya mampu meminimalisir kebohongan. Sehingga seni antioak adalah realita, bukan mimpi bagi kita, yang tak lagi merasa takut dan bimbang pun sungguh-sungguh mencintai kebenaran dan kehidupan lebih baik pada negeri ini di hari esok. Salam.