Resonansi resesi
Kondisi ekonomi global dua tahun terakhir mengalami perlambatan.Tercermin dari laju investasi dan perdagangan tak kunjung membaik di tengah panasnya suhu perang dagang Amerika Serikat (AS)– China. Lain pihak, The Fed mengambil kebijakan moneter lebih longgar, guna mendongkrak laju pertumbuhan.
Masa muram tersebut ditandai penurunan pertumbuhan ekonomi selama dua triwulan secara berturut-turut. Bila tidak diantisipasi, hal tersebut bisa mendorong kondisi ekonomi pada jurang resesi. Ia merupakan momok menakutkan para pengambil kebijakan. Dampak resesi menyebabkan turunnya pendapatan negara, akibatnya sejumlah rencana pembangunan bisa terhambat. Secara umum, gejala awal resesi tercermin dari lima indikator ekonomi, yakni produk domestik bruto (PDB) riil, pekerjaan, data pendapatan, penjualan ritel dan manufaktur.
Tanda-tanda ancaman resesi tersebut nyata didepan mata. Geliat industri dan perdagangan global menunjukan gejala perlambatan. Hal tersebut bisa memicu perekonomian global mengalami perlambatan pada semester II–2019. Data Institute for Supply Management AS menyebut Indeks Manajer Pembelian (PMI), pada September silam melemah dari bulan sebelumnya 49,1 ke 47,8. PMI merupakan kinerja industri manufaktur. Indeks ini yang terendah sejak Juni 2009.
Sebelumnya, lembaga internasional memproyeksi perlambatan akan menggerus ekonomi global. IMF dalam World Economic Forum 2019, kembali merevisi pertumbuhan ekonomi global 2019-2020 menjadi 3,2% dan 3,5%. Angka ini lebih rendah 0,1% dibanding proyeksi sebelumnya. Bahkan laporan teranyar badan PBB untuk pengembangan perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) memproyeksikan pertumbuhan global akan turun pada 2019 menjadi 2,3% dari sebelumnya 3% (2018).
Lebih lanjut UNCTAD mengingatkan, resesi global bisa saja terjadi pada 2020. Badan internasional tersebut melihat gejala resesi muncul akibat naiknya suhu perdagangan AS-China, pergerakan mata uang dunia, utang korporasi, gonjang-ganjing Brexit, dan kurva yield terbalik obligasi AS . Hal tersebut merupakan alarm bagi para pemangku kebijakan guna antisipasi atas gejolak tersebut.
Sejumlah riset menunjukkan beberapa negara berada di jurang resesi. China misalnya, yang tumbuh 6,2% pada kuartal II. Lebih lambat jika dibandingkan pertumbuhan 6,7% secara year-on-year (yoy) dan 6,4% secara quartal-to-quartal (qtq). Hal sama juga mendera AS. Pertumbuhan negara adikuasa tersebut kian melambat menjadi 2,3% pada kuartal II-2019. Semula 3,2% pada periode yang sama tahun lalu atau dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Selanjutnya Singapura, negara yang dikenal maju dan kuat menghadapi perubahan global, kini membukukan pertumbuhan ekonomi negatif 3,3% secara kuartalan (kuartal II-2019). Lain pihak, laju produksi industrinya terkontraksi 8% secara tahunan pada Agustus lalu. Catatan ini lebih buruk dibanding bulan sebelumnya yang turun 0,1%. Sementara, beberapa negara maju termasuk Inggris dan Jerman sangat rentan terjebak resesi.
Laporan UNCTAD juga menyebut beberapa negara berkembang sudah masuk jerat resesi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dampak ‘batuk’ ekonomi global akan pengaruhi ekonomi Indonesia. Kurun empat tahun terakhir, perekonomian kita susah move on dari 5% pertumbuhan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan hanya 5,05% pada kuartal II-2019 secara tahunan. Angka ini menunjukan perlambatan dibandingkan periode tahun sebelumnya (5,27%). Bahkan Bank Dunia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 5,2% (2018) menjadi 5,0% (2019). Tetapi, meningkat ke 5,1% (2020) dan 5,2% (2021).
Data IHS Markit menyebut PMI Indonesia hanya 49,2 pada kuartal III-2019, terendah sejak 2016. PMI kurang dari 50 mengindikasikan ada kontraksi di sektor manufaktur. Sementara, data Bank Indonesia (BI) mencatat, kinerja sektor Industri pengolahan pada kuartal III-2019 melambat dibanding sebelumnya. Hal ini terlihat dari Prompt Manufacturing Index (PMI) BI sebesar 52,04% pada kuartal III- 2019. Angka ini lebih rendah dari kuartal II-2019 (52,66%).
Antisipasi
Di awal duet pemerintahan Joko Widodo–KH Ma’ruf Amin perlu sigap dan segera mengantisipasi potensi resesi yang sudah di depan mata. Dalam hal ini pemerintah tidak boleh lengah. Bayang-bayang resesi antara lain terlihat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional dan penurunan daya beli masyarakat. Hal tersebut tercermin melemahnya penjualan otomotif pada semester I-2019. Catatan GAIKINDO menyebut, penjualan mobil pada semester I-2019 sejumlah 481.577 unit. Anjlok 13% dibanding periode sama tahun sebelumnya sebesar 533.773 unit. Penurunan kendaraan terjadi hampir disemua merk.
Selain itu, faktor eksternal memperkuat resonansi resesi dalam negeri. Memanasnya kembali tensi sengketa dagang antara AS-China, hingga melaju pada perang mata uang belum reda. Ini dinilai akan memicu ketidakpastian ekonomi global, yang mengarah terjadinya resesi ekonomi dunia.
Strategi antisipatif perlu dilakukan dengan sinergisitas policy-mix antara kebijakan fiskal dan moneter. Aksi ini urgen dilakukan secara sinergi dalam kurun waktu relatif bersamaan. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) jangan terlambat melakukan gebrakan antisipasi resesi, jangka pendek dan jangka panjang.
Samping itu, pemerintah perlu mendongkrak daya beli masyarakat, menjinakan laju inflasi, menggenjot ekspor, serta mendorong pertumbuhan investasi. Disamping fokus pada peningkatan lapangan kerja dan perbaikan upah.
Pengampu kebijakan perlu serius dalam optimalisasi peningkatan industri manufaktur nasional yang masih di bawah harapan. Kemudian, hilirisasi/sektor industri manufaktur ditingkatkan. Ini penting agar target pertumbuhan ekonomi tercapai lewat pemenuhan pasar domestik dan perbaikan pasar ekspor. Disamping itu, mendorong konsumsi guna menjaga pertumbuhan ekonomi tinggi serta memperbaiki jurang defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (CAD).
Tak kalah penting, dorong kinerja birokrasi bersih, persempit ruang korupsi, serta regulasi investasi yang tepat. Hal ini penting dan mendesak guna menghindari ekonomi biaya tinggi dan menstimulasi laju investasi. Keengganan 33 investor yang keluar China memarkirkan dana di Indonesia seharusnya menjadi introspeksi. Sampai titik ini, iklim investasi perlu dibenahi. Mewujudkan itu semua perlu pemerintahan kuat dan berwibawa, menuju Indonesia makmur berdaulat.