close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Suroto
icon caption
Suroto
Kolom
Kamis, 13 Agustus 2020 20:56

Program Pemulihan Ekonomi tidak serius sasar masyarakat kecil

Usaha mikro dan kecil saat ini sudah remuk redam karena modal kerja mereka sudah habis untuk membiayai hidup sehari hari.
swipe

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama ini sangat lamban. Usaha mikro dan kecil yang dialokasikan dana sebesar Rp124 triliun dari total dana Rp695 triliun sampai saat ini, ternyata salah sasaran. 

Usaha Mikro dan Kecil itu jumlahnya 99,3% dari sebanyak 64 juta pelaku usaha kita. Mereka selama ini adalah pemberi pekerjaan masyarakat hingga 95% dari total angkatan kerja. Mereka adalah sektor yang selama ini menghidupi ekonomi masyarakat banyak. 

Ada yang salah dengan program PEN. Selama ini semua difokuskan untuk dialokasikan ke korporasi besar yang sebetulnya memiliki dana cadangan lebih besar. Mereka diberikan berbagai  bentuk skema pendanaan seperti restrukturisasi, subsidi bunga, dana penempatan, modal penyertaan, pengadaan bantuan sosial dan lain lain.  

Sementara alokasi sebesar Rp124 triliun untuk UMKM dan Koperasi saja semua dialokasikan melalui mekanisme bank. Sementara bank dalam situasi seperti ini pasti semakin hati-hati menyalurkan pembiayaan. 

Tim yang dipilih untuk pemulihan ekonomi juga tidak menggambarkan aspirasi dari mereka. Jadi sangat kecil sekali kemungkinan untuk membuat komitmen kepada usaha mikro dan kecil. Faktanya sampai hari ini masih menjadi wacana terus.

Usaha mikro dan kecil saat ini sudah remuk redam karena modal kerja mereka sudah habis untuk membiayai hidup sehari hari. Jadi akan sulit diharapkan ekonomi akan segera bangkit kembali dengan cepat. 

Hal yang paling menyedihkan lagi adalah ternyata dana bansos (bantuan sosial) yang dikucurkan itu ternyata juga tidak memberikan dampak multiplier ekonomi secara signifikan. Justru sekali lagi hanya memperkaya pelaku usaha korporat besar. Ini dapat dilihat dari pemenangan lelang dari bansos yang ada. 

Krisis ini ternyata justru hanya meningkatkan akumulasi dan konsentrasi pendapatan dari segelintir pemilik korporat besar. Ini bukan hanya menghambat proses akselerasi pemulihan ekonomi, tetapi juga akan meningkatkan jurang kesenjangan sosial ekonomi. 

Sebelum pandemi saja kesenjangan kepemilikkan kekayaan kita itu jauh parah dari rata-rata internasional. Menurut laporan akhir 2019 dari lembaga riset internasional Credit Suisse, 82% dari 173 juta orang dewasa Indonesia hanya memiliki kekayaan di bawah US$10.000. Jauh di atas rata-rata dunia yang hanya 58%. 

Sementara itu, hanya 1,1% dari orang dewasa yang memiliki kekayaan di atas US$100.000. Jauh sekali di atas rata-rata dunia yang angkanya hingga 10,6%.

Kondisi ketimpangan kekayaan atau Rasio Gini Kekayaan kita sudah sangat tinggi sekali, yaitu 0,83. Diperjelas dalam laporan Suisse tersebut, hanya 1% kuasai 45% kekayaan nasional.  

Kalau skema program yang dikembangkan seperti ini maka  ada akan berdampak pada ancaman lebih serius dari sekedar persoalan ekonomi. Kemungkinan munculnya chaos dan krisis sosial politik justru akan mengemuka dan akan sulit sekali untuk dikendalikan dan dipulihkan. 
 

img
Suroto
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan