close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Awalil Rizky
icon caption
Awalil Rizky
Kolom
Kamis, 19 Agustus 2021 10:10

Postur RAPBN 2022 berakibat rasio utang mencapai 45%

RAPBN 2022 menyebut rencana defisit sebesar Rp868 triliun merupakan 4,85% dari PDB.
swipe

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 merencanakan defisit sebesar Rp868 triliun. Kebutuhan berutang dalam pos pembiayaan utang lebih dari nilai defisit, yakni sebesar Rp973,58 triliun. Antara lain karena adanya pengeluaran pembiayaan, seperti investasi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan Umum (BLU).

Nota Keuangan dan RAPBN 2022 menyajikan pula prakiraan (outlook) pemerintah untuk realisasi APBN 2021. Outlook memprakirakan defisit sebesar Rp961,49 triliun dan pembiayaan utang sebesar Rp1.026,98 triliun.

Defisit menurut outlook turun sebesar Rp44,89 triliun dari rencana APBN 2021 yang Rp1.006,38 triliun. Sempat dijelaskan Kemenkeu beberapa waktu lalu sebagai hasil perbaikan atau refocusing belanja dan pendapatan yang sesuai harapan.

Penurunan dalam pembiayaan utang tampak lebih besar, mencapai Rp150,37 triliun. APBN 2021 merencanakannya Rp1.177,35 triliun. Terutama disebabkan tambahan penerimaan pembiayaan lain-lain yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL). Semula, SAL hanya akan dipakai Rp15,76 triliun, akan ditambah menjadi Rp140 triliun.

Informasi dari outlook APBN 2021 dan postur RAPBN 2022 tersebut, akan berpengaruh besar pada posisi utang pemerintah dan rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Posisi utang sudah pasti bertambah. Lalu bagaimana dengan rasionya terhadap PDB?

Pembiayaan utang merupakan rencana tambahan utang pemerintah karena pengelolaan APBN. Dari besarannya menurut outlook APBN 2021, maka pada akhir tahun nanti posisi utang dimungkinkan bertambah sebesar itu dari posisi akhir 2020 yang Rp6.080 triliun. 

Hanya saja perlu diperhitungkan faktor lain yang bisa mengurangi atau menambah posisi utang selain karena pengelolaan APBN. Faktor yang terbesar berupa perubahan kurs rupiah pada akhir tahun ketika posisi utang dinyatakan. Jika menguat akan menjadi faktor pengurang, dan sebaliknya jika melemah. 

Sekitar 33,5% dari utang pemerintah akhir 2020 berdenominasi valuta asing. Sebagian besarnya dalam dolar Amerika. Kurs akhir 2021, terutama terhadap dolar, diprakirakan melemah dari akhir 2020. Telah diindikasikan oleh perkembangan kurs terkini, dan asumsi yang dinyatakan dalam outlook pemerintah. 

Kurs tengah Bank Indonesia untuk dolar Amerika akhir 2020 sebesar Rp14.105. Pada akhir 2021 diprakirakan kisaran Rp14.400. Akan menjadi faktor penembah posisi utang sekitar Rp43 triliun.
Dengan perhitungan tersebut, posisi utang pemerintah menjadi Rp7.150 triliun pada akhir 2021. 

PDB nominal sendiri tidak dinyatakan secara eksplisit dalam outlook APBN 2021. Namun dari sajian bahwa defisit sebesar Rp961,49 triliun merupakan 5,82% dari PDB, maka PDB nominal diasumsikan sebesar Rp16.520 triliun. Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap PDB akan mencapai 43,28% pada akhir 2021.

Masih ada peluang untuk lebih rendah dari itu. Antara lain jika pembiayaan utang yang berhasil dikurangi. Dapat pula karena kurs rupiah yang ternyata menguat. Dan faktor paling penting berupa peningkatan nilai PDB nominal sebagai besaran penyebut dalam rasio.

Pemerintah sendiri belum memiliki keyakinan yang cukup tinggi atas nilai PDB nominal. Asumsi outlook, menyebut rentang yang lebar atas pertumbuhan ekonomi tahun 2021, antara 3,7% sampai dengan 4,5%. Sementara itu, asumsi inflasi pada rentang 1,8% sampai dengan 2,5%. Inflasi yang dipakai dalam perhitungan PDB deflator biasanya sedikit di bawah inflasi tersebut. 

Asumsi PDB nominal dalam outlook 2021 sebesar Rp16.520 tadi berarti meningkat 7,04% dari PDB 2020 yang sebesar Rp15.434 triliun. Bisa dikatakan, pemerintah memakai besaran yang mendekati batas atas dari rentang asumsi pertumbuhan ekonomi, dan inflasi. Prakiraan yang tampak terlampau optimis.

Dengan kata lain, PDB nominal 2021 bisa menjadi lebih rendah. Penulis memprakirakan hanya sekitar Rp16.350 triliun. Rasio utang terhadap PDB naik menjadi sekitar 43,86%.  

Selanjutnya, posisi utang pada 2022 berdasar perhitungan dari postur RAPBN, bertambah sebesar Rp973,58 triliun, sesuai besaran pembiayaan utang. Artinya posisi utang pemerintah pada akhir 2022 akan sebesar Rp8.123,58 triliun.

Faktor kurs rupiah tidak diperhitungkan. Asumsi nilai tukar rupiah atas dolar Amerika sebesar Rp14.350. Anggap saja, kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah berhasil membuat kurs stabil, setidaknya kurs akhir 2022 dibanding akhir 2021.

RAPBN 2022 menyebut rencana defisit sebesar Rp868 triliun merupakan 4,85% dari PDB. Dengan demikian, asumsi PDB nominal sebesar Rp17.897 triliun. Seandainya asumsi itu terealisasi, dan perhitungan posisi utang di atas relatif presisi, maka rasio utang akan mencapai 45,39% pada akhir 2022. Dengan kata lain, masih mungkin akan lebih tinggi.

Rasio utang akhir 2021 tidak diberi prakiraan secara eksplisit dalam Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2022, hanya disajikan rasio bulan Juli 2021 di kisaran 41%. Tidak ada pula prakiraan rasio utang pada akhir 2022. Hal ini berbeda dengan Nota Keuangan tahun-tahun terdahulu, yang sekurangnya memberi prakiraan berupa rentang rasio.  

Disebutkan bahwa risiko utang yang berkaitan dengan kesinambungan fiskal yaitu rasio utang terhadap PDB yang diproyeksikan berada pada kisaran 40% hingga akhir 2025. Namun ditambahkan dengan memperhatikan kondisi pemulihan ekonomi dalam jangka menengah.

Penulis berpandangan, postur RAPBN 2022 tidak dirancang secara serius untuk mengendalikan posisi utang pemerintah dan besaran rasionya atas PDB. Klaim akan diproyeksikan kisaran 40% pada 2025, tidak dimulai pada 2022. Bahkan seharusnya masih bisa dilakukan pada 2021, dengan sisa waktu realisasi yang masih ada. 

Pada aspek lainnya, jika pun rasio defisit sesuai rencana pemerintah sebesar 5,82% (2021) dan 4,85% (2022), maka tidak tampak “exit strategy” untuk kembali ke batas kurang dari 3% pada 2023. Jika tidak diupayakan sejak 2021 dan berlanjut 2022, maka kebijakan fiskal terpaksa diubah secara radikal pada 2023. Bisa dibayangkan dampak buruknya terhadap kondisi perekonomian, dan yang lebih penting atas layanan publik yang memadai bagi seluruh rakyat Indonesia. 

img
Awalil Rizky
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan