close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sivana Khamdi Syukria
icon caption
Sivana Khamdi Syukria
Kolom
Senin, 23 Maret 2020 21:27

Pandemi corona, solidaritas sosial dan kesadaran publik

Anjuran pemerintah agar umat beragama beribadah dari rumah tentu tidak bisa diartikan sebagai ajakan untuk meninggalkan masjid.
swipe

Pandemi Corona yang melanda dunia belakangan ini benar-benar membuat banyak negara kelimpungan. Penyebaran virus yang kian masif ditambah belum ditemukannya obat dan antivirus tersebut membuat sejumlah negara mengambil langkah-langkah strategis. Di kawasan Asia, Malaysia sebagai salah satu negara terpapar Corona telah menerapkan kebijakan lockdown, alias menutup pintu masuk dan keluar negara tersebut. Kebijakan itu diyakini akan mampu menekan angka penularan Corona. 

Berbeda dengan Malaysia, Korea Selatan yang juga tidak luput dari serangan Corona tidak memberlakukan kebijakan lockdown. Sebagai gantinya mereka memberlakukan tes massal untuk mengidentifikasi individu yang terpapar Corona serta memetakan titik-titik rawan penyebaran virus, tentu agar publik mengindarinya. Selain itu, Korea Selatan juga menerapkan metode physical and social distance, atau penjarakan fisik dan sosial dimana masyarakat dianjurkan untuk menghindari kerumunan, dan mengurangi interaksi fisik. Sejauh ini, metode tersebut berhasil menekan angka penularan Corona di negeri gingseng tersebut. 

Sebagai negara yang juga terpapar Corona, Indonesia sejauh ini tidak memilih opsi lockdown. Bagaimana pun, lockdown tentu akan berdampak buruk bagi perekonomian masyarakat, bahkan tidak menutup kemungkinan melahirkan kekacauan sosial. Alih-alih lockdown, Indonesia menerapkan kebijakan untuk melewati 14 hari masa krisis penyebaran Corona ini dengan social and physical distance.

Melalui pidatonya Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat bekerja dari rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah. Maka, selama dua pekan ini, siswa sekolah dan mahasiswa belajar secara online dan sebagian pekerja bekerja dari rumah. Sejumlah tempat pariwisata juga ditutup sementara. Kegiatan yang melibatkan masa pun ditunda.  

Physical atau social distance adalah upaya paling memungkinkan yang dapat kita lakukan untuk melawan Corona saat ini. Lockdown di tengah situasi sosial, ekonomi dan geografi Indonesia agaknya tidak memungkinkan untuk dilakukan. Jika pun diterapkan, tidak ada jaminan kebijakan itu akan berhasil menekan penyebaran Corona. Bahkan, bukan tidak mungkin lockdown akan menimbulkan huru-hara sosial yang membahayakan.

Hal itu bisa terjadi lantaran sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan pekerja di sektor informal yang mengandalkan penghasilan harian. Kelompok inilah yang akan menjadi “korban” jika lockdown diberlakukan. Tanpa pekerjaan dan penghasilan, bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan dasar keluarganya? Jika sudah demikian, ancaman huru-hara sosial pun tidak dapat dihindarkan. 

Meski tanpa lockdown, kebijakan physical and social distance saja telah membuat masyarakat yang bekerja di sektor informal kehilangan sebagian penghasilannya. Para pedagang, ojek daring dan sebagainya mulai mengeluhkan penurunan pendapatan yang tentu berdampak pada stabilitas finansialnya. Persoalan ini perlu mendapat perhatian serius. Perang melawan Corona ialah hal yang harus kita hadapi saat ini. Namun, stabilitas ekonomi dan kondisi sosial masyarakat juga penting dan tidak bisa diabaikan. 

Di tengah situasi yang serba tidak menguntungkan inilah, penting kiranya masyarakat membangun solidaritas sosial. Kelompok kelas menengah yang mapan secara ekonomi bisa bersama-sama menjadi penolong bagi masyarakat kelas bawah yang di hari-hari belakangan ini menghadapi kesulitan.

Salah satu contoh aksi solidaritas sosial di tengah perang melawan Corona itu ditunjukkan oleh Lidwina Hananto. Perempuan yang bekerja sebagai konsultan perencana keuangan dan aktif di media sosial Twitter itu mengajak para follower-nya untuk membantu para driver ojek online, yakni dengan membelikan makanan pada mereka via aplikasi pesan-antar. Apa yang dilakukan oleh Lidwina ini bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk berbuat serupa. Tindakannya tidak harus sama, namun semangat untuk bersama-sama meneguhkan solidaritas sosial di tengah perang melawan Corona ini sangat diperlukan. 

Ironisnya, di tengah upaya pemerintah melawan Corona dengan menerapkan kebijakan physical and social distance, masih ada segolongan masyarakat yang tidak patuh. Anjuran pemerintah untuk menjauhi kerumunan dengan meliburkan siswa justru direspons oleh kelas menengah perkotaan dengan berpiknik ke tempat wisata. Tindakan ini menandai lemahnya kesadaran publik ihwal bahaya penyebaran Corona sekaligus menunjukkan lemahnya komitmen masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah. 

Parahnya lagi, ada sebagian umat Islam yang memelintir anjuran pemerintah untuk beribadah di rumah sebagai ajakan untuk meninggalkan masjid. Anggapan ini terutama datang dari kalangan muslim konservatif yang selama ini memang dikenal anti-pemerintah. Bagi mereka, apa pun kebijakan pemerintah akan selalu dikaitkan dengan isu agama dan di-framing sedemikian rupa agar seolah-olah bertentangan dengan agama (Islam). 

Tindakan kaum konservatif itu tentu bukan hanya irasional, namun juga menunjukkan betapa lemahnya empati dan kesadaran mereka terkait pandemi Corona yang kian tidak terkendali ini. Anjuran pemerintah agar umat beragama beribadah dari rumah tentu tidak bisa diartikan sebagai ajakan untuk meninggalkan masjid, apalagi bertujuan menghancurkan Islam. Tuduhan itu sungguh keji. Kebijakan itu tentu telah dipertimbangkan matang-matang, tentu dengan meminta masukan dari para ahli agama. 

Lagipula, dalam tinjauan fikih, anjuran ibadah rumah di tengah pandemi ini tidak bertentangan dengan Islam. Fikih mengenal istilah ruhsoh (keringanan), yakni sejenis kelonggaran yang diberikan dalam ibadah wajib ketika manusia berada dalam kondisi darurat. Apalagi, jika dikaitkan dengan prinsip tujuan hukum Islam (Maqasyid al Syariah), kepentingan untuk menjaga nyawa atau kehidupan manusia (Hifdzun Nafs) jauh lebih utama ketimbang menunaikan kewajiban untuk meramaikan masjid.

Contohnya, ketika sakit muslim tidak diwajibkan berpuasa Ramadan, namun tetap diwajibkan menggantinya di waktu lain. Begitu pula kewajiban salat Jumat atau berjamaan di masjid selama masa pandemi Corona ini. Maka, patut disayangkan di tengah masa-masa genting ini justru muncul anjuran untuk meramaikan masjid yang diserukan oleh sejumlah tokoh, di antaranya Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Keduanya berujar bahwa umat Islam seharusnya tidak meninggalkan masjid karena takut pada Corona. Tidak sedikit pula pemuka agama yang menggaungkan gerakan melawan Corona dengan meramaikan masjid. 

Pernyataan itu menunjukkan betapa tidak rasionalnya pemahaman keagaman kita. Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk bersikap rasional dan selalu mengedepankan akal. Tidak terhitung berapa kali Alquran memuat frasa “afala ta’qilun”, “afala tatafakkarun”, juga “afala tadabbarun” sebagai bukti bahwa kedudukan akal dan pikiran sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu, di tengah suasana genting ini sudah seharusnya umat Islam mempercayai dan mentaati anjuran para ahli dan pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang ilmiah. 

Arkian, penting bagi seluruh elemen bangsa, termasuk pada tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk menyadarkan publik bahwa perang kolosal melawan Corona ini tidak akan berhasil kita menangkan tanpa dukungan solidaritas sosial dan kesadaran publik. Oleh karena itu, kita perlu membangun sinergi bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama menghadapi masa-masa sulit ini dengan sikap optimis dan berpikir positif. 
 

img
Sivana Khamdi Syukria
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan