close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dedi Kurnia Syah P. dok. pribadi
icon caption
Dedi Kurnia Syah P. dok. pribadi
Kolom
Kamis, 10 Oktober 2019 11:24

Pancaroba politik

Pada pancaroba politik, kondisi serba tidak mungkin dan hadirnya ketidakpastian.
swipe

Konstelasi politik nasional stabil berada pada suhu hangat, sejak dimulainya kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Berbulan-bulan lamanya, situasi tak pernah hening, selalu riuh dan makin mengeliat hingga kini. Dari iklim kontestasi, hingga iklim demokrasi, terus menerus mengaduk emosi publik. Kini, bertahan pada isu kebijakan, publik merespons kinerja parlemen yang disinyalir mengancam keadilan.

Sejak bergulir pemilihan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), publik telah riuh menolak terhadap tokoh yang lolos karena banyak hal terkait pelanggaran etik, integritas hingga komitmen dalam pemberantasan korupsi. Ketidakkondusifan itu berlanjut, dengan munculnya revisi Undang-undang KPK Nomor 30 tahun 2002.

Kondisi itu memaksa presiden berada pada posisi serba tidak menguntungkan, menerima tekanan publik dengan membatalkan RUU KPK, mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu), juga tidak menyutujui produk legislasi lain yang terindikasi penuh muatan politis. Atau, memenuhi tuntutan kongsi politik dari parlemen, untuk menyetujui dan satu suara dengan seluruh kepentingan parlemen.

Risiko yang dihadapi, memihak pada publik tetapi terancam ditolak oleh parlemen, atau memihak parlemen dengan ancaman publik turun ke jalan dengan lebih masif lagi. Tentu bukan kondisi yang menyenangkan, tetapi inilah momentum politik yang harus dilalui, serba tidak mungkin, dan serba berubah, pancaroba.

Koalisi yang pada helatan pilpres mendukung kubu pemerintah, kini mulai berseberangan karena perbedaan kepentingan, sementara oposisi yang berseberang dalam pilpres, kini terindikasi merapat dan menyerahkan badan. Inilah yang disebut pancaroba politik, kondisi serba tidak mungkin dan hadirnya ketidakpastian.

Menguji presiden

Terry M Moe dan Scott A Wilson dalam jurnalnya yang berjudul President and The Politic of Structure (1994), membahas detail terkait pertentangan kepentingan eksekutif dan legislatif. Pada saat presiden terbentur dengan kepentingan parlemen, maka presiden memungkinkan untuk mengambil langkah tidak rasional, dalam hal ini memaksa berseberangan dengan parlemen, meskipun ada ancaman serius atas kekuasaan yang diemban.

Hanya saja, Moe dan Wilson menulis pandangannya dalam kondisi sebuah negara tidak didominasi oleh posisi pemerintah, sehingga memungkinkan presiden benar-benar berseberangan dengan lawan politik, bukan dengan mitra koalisi yang memiliki kekuatan atas keberadaan presiden itu sendiri.

Meskipun, Moe dan Wilson menitikberatkan kekuasaan sesungguhnya ada pada publik. Akankah Presiden Joko Widodo berhasil melalui ujian politik ini? Memihak pada publik dengan konsekuensi berseberangan dengan parlemen yang dimotori oleh mitra koalisinya sendiri, jelas bukan pilihan mudah, bahkan mengandung beban berat.

Pancaroba politik yang mulai mengemuka akan berdampak pada dua sektor, elite politik dan publik. Bagi elite, kondisi yang tidak stabil jelas menyulitkan posisi masing-masing kepentingan, sehingga lobi-lobi politik akan menyita waktu, dan tentu berdampak pada pembangunan yang melambat. Sementara itu bagi publik, kondisi pancaroba lebih mengenaskan, setidaknya publik bisa saja kehilangan kepercayaan pada elite politik dan puncaknya pada Presiden.

Untuk itu, menghadapi kondisi serba tidak mungkin ini dan banyaknya manuver parpol untuk mengeruk kekuasaannya masing-masing, Presiden perlu berdiri tegap dengan keputusan yang tepat. Beberapa hal bisa dijadikan rujukan, agar langkah presiden tidak menimbulkan keretakan politik juga sosial.

Pertama, presiden tidak perlu khawatir dengan tekanan elite, karena publik telah menunjukkan keberpihakan pada presiden dengan menggelar aksi massa yang ditujukkan kepada parlemen. Motif aksi juga ideal, yakni perbaikan pada sektor perundangan di mana hal itu menjadi wilayah parlemen. Dengan ini, presiden seharusnya cukup lantang menentang parlemen yang bermanuver.

Kedua, presiden perlu mengakomodasi apa yang diinginkan publik selama kepentingan publik masih dalam ruang idealis, menolak produk legislasi dan meminta presiden menerbitkan Perppu, untuk naskah UU KPK yang sudah disahkan, adalah kebijakan tepat. Jika presiden bertentangan dengan publik, meskipun cukup memiliki alasan, pilihan itu tidak baik dalam perspektif politik publik.

Ketiga, presiden harus berani membatasi anggota mitra koalisi yang turut serta berada di dalam gerbong pemerintah, memupuk dukungan dominan jelas bukan ide yang baik, kekuatan yang berlebih hanya akan menggoda presiden untuk memimpin Indonesia menuju negara oligarkis, lebih buruk lagi kekuasaan besar adalah godaan besar pula untuk menjadi tirani.

Tiga hal ini bukan perkara sulit, karena presiden memiliki kewenangan, dalam politik berkelanjutan, kepentingan terpenting adalah mengikuti kepentingan publik, bukan sebaliknya. Sekarang, pendulum ada pada presiden, apakah akan mengarah pada keputusan memihak publik, atau bukan. 
 

img
Dedi Kurnia Syah P
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan