close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Senin, 20 Mei 2019 18:07

Momentum lebaranomics

Momentum Ramadan dan hari raya Idul Fitri (lebaran) menggerek tingkat konsumsi masyarakat meningkat tajam.
swipe

Ramadan membawa berkah spiritual dan berkah ekonomi. Sehari menjelang puasa Ramadan tiba diawali tradisi munggahan, sebuah momentum di mana kita berbagi makanan dengan tetangga/kerabat.  Artinya, sebelum puasa Ramadan, sudah tumbuh kegiatan ekonomi.

Memasuki Ramadan, kegiatan ekonomi tumbuh lebih subur lagi: berinfak, bersedekah dan membayar zakat. Implikasinya adalah bertambahnya likuiditas di masyarakat. Uang yang awalnya diam menjadi bergerak menciptakan efek pengganda aktivitas ekonomi. 

Salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi. Momentum Ramadan dan hari raya Idul Fitri (lebaran) menggerek tingkat konsumsi masyarakat meningkat tajam. Makanan, sandang, dan jasa adalah komoditas sensitif dan sektor paling banyak disasar.

Lebaranomics dimaknai ketika kalkulasi ekonomi seputar lebaran melibatkan semua mesin ekonomi makro (perusahaan) dan mikro (rumah tangga). Mereka ikut merasakan peningkatan gairah ekonomi dibalik kekhidmatan melaksanakan ibadah ritual. Fenomena peningkatan aktivitas ekonomi musiman ini, lumrah terjadi. Di mana laju permintaan barang/jasa (demand) lebih kencang dibanding laju penawarannya (supply). 

Ramadhan, bulan sarat dengan aktivitas ekonomi. Salah satunya tercermin dari, pebisnis katering sibuk menyiapkan paket-paket menu sahur dan berbuka. Buka bersama menjadi tren. Para pedagang kagetan bermunculan di mana-mana. Industri makanan dan minuman ramai, ditaksir mengalami kenaikan produksi hingga 30% dibandingkan bulan-bulan lainnya. Analis ekonomi pun menjadi optimis penjualan makanan dan minuman lebaran tahun ini tumbuh 8%. 

Berkaca pada statistik tahun lalu, konsumsi bahan bakar minya (BBM) meningkat selama Ramadan dan Lebaran 2018 sebesar 15%. Konsumsi BBM naik 9% dari 2017 untuk konsumsi premium dan 12% untuk solar.

Dampak kenaikan tiket pesawat menyebabkan pemudik akan lebih banyak memanfaatkan kendaraan pribadi pada 2019. Perkiraan Kemenhub, lebaran tahun ini setidaknya akan ada 10 juta kendaraan pribadi, dipadati 14,9 juta pemudik. Pertamina memprediksi konsumsi BBM naik 15,8% pada Ramadan hingga Lebaran 2019. 

Kegiatan ekonomi pasar tradisional dan modern pun meningkat tajam. Termasuk lonjakan penjualan daging dan sembako. Sisi lain, permintaan uang tunai juga meningkat.  Bank Indonesia (BI) mengeluarkan uang tunai (outflow) selama puasa dan Lebaran 2018 mencapai Rp188,2 triliun. Jumlah itu meningkat 15,3% dibanding 2017 (Rp163,2 triliun). BI memperkirakan terjadi peningkatan kebutuhan uang tunai selama Ramadan dan libur Lebaran 2019 sebesar Rp217,1 triliun.

Fenomena tersebut sejalan dengan teori Kotler (1995) yang mengatakan, perilaku konsumen dipengaruhi faktor-faktor sosial, budaya, pribadi, dan psikologis. Antusiasme selama Ramadan dan lebaran merangkum empat faktor yang dimaksudkan Kotler.

Lebaranomics digadang-gadang sebagai bagian dari stimulus ekonomi. Setidaknya ada dua alasan yang mendasarinya, yaitu peningkatan konsumsi dan tradisi mudik.

Konsumsi

Secara historis, Ramadan dan perayaan Idul Fitri memiliki daya dongkrak yang kuat terhadap perekonomian Indonesia. Demikian dapat mendorong tingkat konsumsi dan produksi pada saat perayaan tersebut berlangsung. Data statistik 2018 mencatat tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan II mencapai 5,16%, merupakan level tertinggi bila dibandingkan dengan triwulan lain.

Peningkatan konsumsi rumah tangga tentu dapat menggenjot laju perekonomian Indonesia. Disebabkan konsumsi rumah tangga menyumbang 55,74% pada pembentukan Poduk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Pada periode tersebut bersamaan dengan momentum Ramadan dan Idul Fitri. Tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi secara agregat jika dibandingkan dengan triwulan lainnya (5,27%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa momentum Ramadan dan Idul Fitri masih bisa membantu menyelamatkan sementara perekonomian kita. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan PDB kuartal I/2019 (5,07%). Sumber pertumbuhan tersebut masih seperti periode sebelumnya-sebagian besar berasal dari konsumsi, yang tumbuh 5,3% (yoy). Menteri Sri Mulyani menyebut, Ramadan hingga Lebaran 2019 tingkat konsumsi masyarakat akan meningkat. 

Menurut hasil kajian Nielsen pada 2018, terdapat tiga pola perubahan konsumsi masyarakat selama Ramadan. Pertama, peningkatan konsumsi media, televisi dan radio (naik 13%) terutama jelang sahur, internet (meningkat 9%) serta bioskop (meningkat 17%). 

Kedua, tayangan iklan  ikut terdongkrak sebagai imbas kenaikan jumlah konsumen media, terutama media televisi dan radio. Kenaikan tayangan iklan terbesar berasal dari iklan belanja online yang menghabiskan Rp223 miliar pada minggu pertama Ramadan saja. Angka tersebut meningkat 76% jika dibandingkan periode sebelum Ramadan.

Produk lain yang mengalami kenaikan adalah iklan jus dan sirup dengan total pengeluaran Rp101 miliar, minuman  dengan pengeluaran Rp70 miliar (110%), material bangunan dengan total belanja iklan Rp66 miliar (114%).  

Ketiga, pola konsumsi masyarakat cenderung meningkat karena dampak adanya dana tunjangan hari raya (THR). Jumlah kepemilikan smart phone meningkat 7%. Jumlah kepemilikan mobil juga meningkat 21%. Momen lebaran tahun ini pencairan dana THR dan gaji ke-13 PNS/pensiunan kebetulan waktunya berdekatan. Gelontoran anggaran Rp40 triliun untuk kedua pos belanja pemerintah tersebut akan menjadi tambahan amunisi konsumsi rumah tangga.

Perilaku belanja online tidak kalah meningkat. Merujuk data ShopBack (2019), platform belanja gaya hidup mencatat peningkatan transaksi hampir tiga kali lipat melalui e-commerce sepanjang Ramadan 2018 , dengan rata-rata belanja mencapai Rp1,2 juta per orang.

Pada periode tersebut, rata-rata orang Indonesia menghabiskan Rp678.726 untuk berbelanja online. Sementara data Aprindo 2018 menyebut,  permintaan terhadap kebutuhan makanan dan minuman serta kebutuhan lainnya- fashion- saat Ramadan meningkat 25%–30% dibandingkan bulan biasa.

Mudik

Tradisi mudik (pulang kampung) sudah menjadi tren masyarakat urban perkotaan. Fenomena mudik sekarang tidak sekedar kental muatan religius. Namun, sudah perpaduan nilai sosio-ekonomi-budaya. Lewat aktifitas mudik, denyut ekonomi daerah menggeliat dengan aliran dana lebih dari Rp90 triliun. Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi para pemudik ketika bisa menikmati hasil kerja keras selama setahun di rantau, bisa kumpul bersama keluarga dan sanak kerabat di kampung halaman.

Momentum lebaranomics bukan sekedar menumpahkan kerinduannya kepada kampung halaman. Saat bersama sanak keluarga mereka pun menyambung tali silaturahim dengan saling mengunjungi. Aktivitas tersebut berkontribusi positif bagi kemajuan ekonomi masyarakat lewat saling berbagi, dan menjaga hubungan satu sama lain dengan saling memaafkan dalam suasana kebahagiaan. 

Sayangnya fenomena ekonomi tahunan ini terjadi hanya musiman dan jangka pendek. Kebanyakan pemudik menghabiskan dananya untuk kebutuhan konsumtif; transportasi, rekreasi, kuliner dan belanja bersama keluarga. Tidak kalah penting, disamping berbagi dengan kerabat, sebagian dana  diinvestasikan di kampung halaman untuk masa depan. 

Semua pihak, perlu mencari pola pemberdayaan ekonomi  agar lebih produktif dan berdaya guna untuk kepentingan jangka panjang. Pemangku kebijakan harus berupaya menjaga momentum lebaranomics, dan libur panjang guna menstimulus pertumbuhan ekonomi.

Syaratnya, pasokan barang terjamin lancar, harga terjangkau dan infrastruktur transportasi harus lancar selama Ramadan dan mudik Lebaran 2019. 


 

img
Joojo
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan