close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ismail Rumadan
icon caption
Ismail Rumadan
Kolom
Selasa, 31 Desember 2019 15:50

Merampok dengan memborong saham gorengan di pasar modal

Jiwasraya mengalami kerugian karena melakukan aksi beli saham pada nilai tertinggi yang digoreng oleh penggoreng. 
swipe

Istilah menggoreng saham lazim dikenal dalam dunia transaksi bisnis di pasar modal. Menggoreng saham adalah sebuah aksi yang dikategorikan sebagai bentuk tindakan kejahatan di pasar modal di samping tindakan kejahatan lainnya seperti insider trading.

Tindakan ilegal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara pintas bagi pelaku pasar modal. Insider trading biasanya dilakukan seseorang yang memiliki akses informasi yang tidak bisa didapat orang lain. Informasinya berisi tentang aksi korporasi maupun laporan keuangan yang bisa menjadi sentimen penggerak saham namun belum terungkap ke publik, namun orang yang melakukan tindakan tersebut sudah mengetahui lebih awal, kemudian secara diam-diam membeli saham sebelum sahamnya bergerak.

Sedangkan tindakan menggoreng saham merupakan praktik perdagangan saham secara semu. Praktik ini biasanya dilakukan secara terstruktur, berkelompok, dan pastinya membutuhkan dana yang sangat besar sebab membutuhkan lebih dari satu rekening di banyak broker.

Awalnya komplotan yang tergabung dalam rencana jahat ini, memberikan rekomendasi sell terhadap saham yang dituju kepada para pemegang saham. Dengan begitu saham komplotan ini bisa menampung saham tersebut di level yang rendah.

Setelah terkumpul, sang penggoreng saham mulai melakukan transaksi melalui akun-akunnya, seolah-olah memang terjadi transaksi. Pelaku pasar lain mulai memandang saham tersebut rebound.

Untuk lebih meyakinkan investor, komplotan penggoreng saham menyebar isu-isu positif terkait emiten yang sahamnya tengah digoreng.

Ketika saham digoreng sudah matang atau mencapai level yang diinginkan, barulah sang penggoreng saham melakukan aksi jual secara besar-besaran. Saham gorengan yang tadinya melambung tinggi, tiba-tiba terkapar lagi.

Jika dilihat dari praktik yang dilakukan komplotan bandit penggoreng saham sangatlah jahat. Sebab penggoreng saham membutuhkan para pelaku pasar lain sebagai tumbal.

Hal inilah yang dialami PT Asuransi Jiwasraya, dalam kasus jebolnya dana Rp13,7 triliun. PT Asuransi Jiwasraya sebagai tumbal pemborong saham gorengan.

Jiwasraya masuk memborong saham gorengan. Para penggoreng saham di bursa saham segera melakukan aksi ambil untung (capital gain) dengan menjual seluruh sahamnya yang nilai telah naik beratus hingga ribuan kali lipat. Akibatnya uang dari Jiwasraya masuk ke pasar saham, pindah kepada penggoreng saham.

Aksi jual besar-besaran yang dilakukan penggoreng saham membuat nilai saham itu jatuh dan kembali kepada nilai normalnya di bawah level terendah. Jiwasraya mengalami kerugian karena melakukan aksi beli saham pada nilai tertinggi yang digoreng oleh penggoreng. Dalam sekejab nilai saham anjlok pada level terendah sehingga Jiwasraya mengalami kerugian berlipat dikalikan jumlah saham yang diborong. 

Mengutip Narudin Joha (fnn), aksi ini tak mungkin terjadi kecuali ada otoritas pejabat di Jiwasraya yang bermain dengan penggoreng saham. Aksi penempatan investasi dana Jiwasraya itu hanyalah cara untuk memindahkan uang nasabah Jiwasraya kepada para penggoreng saham di bursa saham.

Jadi, uang nasabah dirampok penggoreng saham, sementara yang membukakan pintu rumah agar dirampok adalah otoritas pejabat Jiwasraya yang menempatkan dana nasabah pada pasar saham. 

Hasil penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan manajemen Jiwasraya menaruh 22,4% dana investasi atau senilai Rp5,7 triliun di keranjang saham. Tidak hanya itu, 98% dari dana investasi di reksa dana atau senilai Rp14,9 triliun dititipkan pengelolaannya kepada perusahaan manajer investasi dengan kinerja buruk. Sisanya, hanya 2% yang dikelola oleh perusahaan manajer investasi dengan kinerja baik.

Imbasnya, ekuitas perseroan tercatat negatif Rp23,92 triliun per September 2019. Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) sebesar 120%.

Keadaan inilah yang menyebabkan Jiwasraya tak mampu membayar klaim polis jatuh tempo kepada nasabah hingga Rp12,4 triliun untuk periode Oktober-Desember 2019. Inilah fase perampokan uang melalui perusahan pelat merah bernama PT Asuransi Jiwasraya.

Yang mengherankan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak mencurigai adanya aksi yang tidak wajar ini.

img
Ismail Rumadan
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan