close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pangi Syarwi Chaniago./dok. pribadi
icon caption
Pangi Syarwi Chaniago./dok. pribadi
Kolom
Senin, 25 Juni 2018 15:20

Menunggu hasil uji materi presidential threshold

Jika gugatan yang diajukan 12 tokoh ini dikabulkan MK, tentunya akan berimplikasi terhadap peta perpolitikan nasional.
swipe

Para pegiat pemilu kembali mengajukan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konsitusi (MK).

Uji materi kali ini diajukan 12 tokoh yang terdiri dari pelbagai latarbelakang. Mulai dari akademisi, pengamat, aktivis dan mantan ketua KPK, yaitu Chatib Basri, Busyro Muqoddas, Faisal Basri, Titi Anggraini, Danhil Anzhar Simanjuntak, Hasan Yahya, Feri Amsari, Rocky Gerung, Angga Dwi Sasongko, Bambang Widjojanto, Robertus Robet dan Haedar Nafis Gumay. 

Sebenarnya pada awal 2018, uji materi sudah pernah diajukan dan ditolak MK. Uji materi tentu dapat dilakukan kembali karena memiliki alasan yang berbeda dari pengajuan sebelumnya. Salah satu di antaranya adalah presidential threshold berpotensi untuk menghadirkan calon tunggal dalam pemilu 2019. 

Jika gugatan yang diajukan 12 tokoh ini dikabulkan MK, tentunya akan berimplikasi terhadap peta perpolitikan nasional. Partai-partai yang saat ini telah menyatakan sikap mendukung pemerintah ataupun partai oposisi yang sudah berjalan bersama, seperti Gerindra dan PKS, bisa saja melakukan turnover. Adanya presidential threshold, partai-partai harus melakukan koalisi besar agar ambang batas minimum 25% terpenuhi.

Kondisi ini akan jauh berbeda ketika tidak ada presidential threshold, koalisi akan lebih cair. Masing-masing partai memiliki kesempatan mengajukan tokoh atau kader dari partai mereka sendiri untuk menjadi pemimpin nomor satu di negara ini. 

Tidak adanya presidential threshold semakin membuka peluang terbentuknya poros ketiga di luar dari dua calon yang sudah menyatakan kesiapannya yaitu incumbent Joko Widodo dan sosok penantang lama Prabowo Subianto. Beberapa nama memang sudah beredar sebagai sosok alternatif. Misalkan saja, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan atau bahkan Amien Rais yang mencolok karena manuver politiknya. 

Terkabulnya pengajuan gugatan presidential threshold ini tentunya akan merugikan kubu pemerintah. Partai-partai yang masih gamang di kubu pemerintah bukan tidak mungkin berpaling ke sosok alternatif seperti Gatot Nurmantyo ataupun AHY. Sosok alternatif ini tentu tidak diharapkan PDI-P, basis massa pemilih akan terpecah dan dapat diprediksi Pemilu 2019 akan berjalan dua putaran.

Jika pemilihan presiden berjalan dua putaran, skema pemilihan gubernur DKI Jakarta akan kembali terulang. 

Namun positifnya, sosok alternatif akan meredam kutub polarisasi yang saat ini semakin meruncing ekstrim antara kubu pendukung pemerintah dan kubu oposisi. Selain meredam polarisasi, gugatan ini juga semakin menjamin hak rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dalam demokrasi seperti yang telah diatur dalam UUD 1945 dan International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) pada tahun 1966. 

Oleh karena itu, jika uji material presidential threshold dikabulkan MK, maka ada konsekuensi logis terhadap perubahan dukungan peta politik dan ada kemungkinan parpol yang banting setir atau mengajukan capres alternatif di luar poros atau koalisi yang sudah terbentuk. Konstestasi politik kian lebih cair, menu pilihan capres/cawapres yang dihidangkan ke masyarakat lebih beragam dan variatif, secara tak langsung juga bisa menaikkan partisipasi politik masyarakat.

img
Pangi Syarwi Chaniago
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan