close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Didin Nasirudin
icon caption
Didin Nasirudin
Kolom
Selasa, 23 Maret 2021 16:19

Pembantaian Atlanta: Menguak tabir kekerasan rasial selama ratusan tahun

Penguasaan ekonomi oleh sekelompok kecil pengusaha dan elite politik di AS, bisa membuat kesenjangan sosial semakin lebar
swipe

Pada 16 Maret 2021 waktu AS lalu, Robert Aaron Long, seorang pria kulit putih berusia 21 tahun, melakukan penembakan membabi buta di tiga panti pijat di kawasan metropolitan Atlanta sehingga menyebabkan delapan orang terbunuh, termasuk enam wanita warga keturunan Asia. 

Meski banyak yang menyangsikan motif rasial dibalik tindakan keji Long, pembantaian tersebut menjadi kulminasi dari serangkaian tindak perundungan dan kekerasan terhadap warga AS keturunan China, Vietnam, Korea, Jepang, Filipina dan India yang meningkat dalam dua tahun terakhir.

Menurut data Stop AAPI Hate, lembaga nirlaba yang mendokumentasikan tindak kebencian dan diskriminasi terhadap warga Amerika asal Asia dan Kepulauan Pasifik (AAPI) di AS, dalam rentang waktu 19 Maret 2020 hingga 28 Februari 2021, terjadi 3.795 insiden yang menimpa warga AS keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik.

Perundungan atau harassment menjadi insiden yang paling sering terjadi (68,1%), disusul oleh tindak pengucilan atau shunning (20,5%) dan serangan fisik (11,1%). Insiden tersebut paling sering terjadi di tempat karja (35,4%), jalanan umum (25,3%) dan taman umum (9,8%).

Warga etnis China paling banyak yang menjadi korban yakni 42,2%, disusul warga Korea (14,8%), Vietnam (8,5%) dan Filipina (7,9%). Kaum perempuan 2,3 kali lebih sering menjadi korban dibandingkan pria dalam insiden-insiden tersebut.

Juru bicara Gedung Putin Jen Psaki menyebut, retorika rasis mantan Presiden Donald Trump dan para pendukungnya menjadi biang keladi meningkatnya aksi kekerasan terhadap warga AS keturunan Asia. Setelah merebaknya pendemi Covid-19, Trump dalam berbagai kesempatan kerap menyebut sindrom saluran pernafasan mematikan tersebut sebagi ‘flu Wuhan’ atau ‘Kung flu’ yang diakibatkan oleh ‘virus China’.

Jejak sejarah kekerasan terhadap warga AS keturunan Asia 

Fakta sejarah menunjukan, tindak diskriminasi dan kekerasan rasial terhadap warga keturunan Asia di AS telah dimulai jauh belum pandemi. Warga keturunan Asia selalu dianggap sebagai warga kelas dua oleh warga kulit putih yang merupakan mayoritas.

Menurut Erika Lee--sejarawan dan penulis buku The Making of Asian American: A History-kepada NPR.Org, warga Asia mulai bermigrasi ke AS pada 1560-an. Mereka sebagian dibawa sebagai budak belian oleh pedagang budak dari Portugis yang telah menculik mereka dari kawasan Pasifik.

Sebagian lagi datang sebagai awak atau penumpang kapal yang mengangkut komoditas perdagangan seperti rempah-rempah atau barang mewah dan permata dari China.

Ketika era perbudakan berakhir, warga Asia berbondong-bondong datang ke AS sebagai tenaga kerja murah untuk membangun sarana trasportasi seperti jalur rel kereta api yang mulai pada 1860-an.   

Sementara menurut Lok Siu--Asian American studies associate professor dari University of California Berkeley-- kepada Berkeley News, tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap warga keturunan Asia sudah menjadi ‘tradisi’ dalam situasi-situasi krisis sejak 1800-an.

Ketika imigran keturunan China direkrut untuk membangun jalur kereta, penduduk kulit putih kerap menyerbu tempat tinggal para pekerja dan membakar Chinatown dengan dalih warga keturunan China tersebut dituding telah mencuri lapangan kerja mereka.

Menurut Siu, dalam rentang waktu 1870-an hingga 1880-an terjadi lebih dari 150 kerusuhan anti-China di seluruh AS. Akibatnya, ratusan orang terbunuh dan ribuan orang terusir dari tempat tinggal mereka.

Di masa Perang Dunia II, giliran warga AS keturunan Jepang yang menjadi korban tindak kekerasan rasial. Dan di era Cold War McCarthyism pada 1950-an, ketika gerakan antikomunis merebak di AS, warga dan organisasi-organisasi milik keturunan China kembali menjadi sasaran tindak kekerasan dan diskriminasi dengan tuduhan mereka menjadi kaki-tangan pemerintah komunis China.

Pada 16 Maret 2021 waktu AS lalu, Robert Aaron Long, seorang pria kulit putih berusia 21 tahun, melakukan penembakan membabi buta di tiga panti pijat di kawasan metropolitan Atlanta sehingga menyebabkan delapan orang terbunuh, termasuk enam wanita warga keturunan Asia. 

Meski banyak yang menyangsikan motif rasial dibalik tindakan keji Long, pembantaian tersebut menjadi kulminasi dari serangkaian tindak perundungan dan kekerasan terhadap warga AS keturunan China, Vietnam, Korea, Jepang, Filipina dan India yang meningkat dalam dua tahun terakhir.

Menurut data Stop AAPI Hate, lembaga nirlaba yang mendokumentasikan tindak kebencian dan diskriminasi terhadap warga Amerika asal Asia dan Kepulauan Pasifik (AAPI) di AS, dalam rentang waktu 19 Maret 2020 hingga 28 Februari 2021, terjadi 3.795 insiden yang menimpa warga AS keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik.

Perundungan atau harassment menjadi insiden yang paling sering terjadi (68,1%), disusul oleh tindak pengucilan atau shunning (20,5%) dan serangan fisik (11,1%). Insiden tersebut paling sering terjadi di tempat karja (35,4%), jalanan umum (25,3%) dan taman umum (9,8%).

Warga etnis China paling banyak yang menjadi korban yakni 42,2%, disusul warga Korea (14,8%), Vietnam (8,5%) dan Filipina (7,9%). Kaum perempuan 2,3 kali lebih sering menjadi korban dibandingkan pria dalam insiden-insiden tersebut.

Juru bicara Gedung Putin Jen Psaki menyebut, retorika rasis mantan Presiden Donald Trump dan para pendukungnya menjadi biang keladi meningkatnya aksi kekerasan terhadap warga AS keturunan Asia. Setelah merebaknya pendemi Covid-19, Trump dalam berbagai kesempatan kerap menyebut sindrom saluran pernafasan mematikan tersebut sebagi ‘flu Wuhan’ atau ‘Kung flu’ yang diakibatkan oleh ‘virus China’.

Jejak sejarah kekerasan terhadap warga AS keturunan Asia 

Fakta sejarah menunjukan, tindak diskriminasi dan kekerasan rasial terhadap warga keturunan Asia di AS telah dimulai jauh belum pandemi. Warga keturunan Asia selalu dianggap sebagai warga kelas dua oleh warga kulit putih yang merupakan mayoritas.

Menurut Erika Lee--sejarawan dan penulis buku The Making of Asian American: A History-kepada NPR.Org, warga Asia mulai bermigrasi ke AS pada 1560-an. Mereka sebagian dibawa sebagai budak belian oleh pedagang budak dari Portugis yang telah menculik mereka dari kawasan Pasifik.

Sebagian lagi datang sebagai awak atau penumpang kapal yang mengangkut komoditas perdagangan seperti rempah-rempah atau barang mewah dan permata dari China.

Ketika era perbudakan berakhir, warga Asia berbondong-bondong datang ke AS sebagai tenaga kerja murah untuk membangun sarana trasportasi seperti jalur rel kereta api yang mulai pada 1860-an.   

Sementara menurut Lok Siu--Asian American studies associate professor dari University of California Berkeley-- kepada Berkeley News, tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap warga keturunan Asia sudah menjadi ‘tradisi’ dalam situasi-situasi krisis sejak 1800-an.

Ketika imigran keturunan China direkrut untuk membangun jalur kereta, penduduk kulit putih kerap menyerbu tempat tinggal para pekerja dan membakar Chinatown dengan dalih warga keturunan China tersebut dituding telah mencuri lapangan kerja mereka.

Menurut Siu, dalam rentang waktu 1870-an hingga 1880-an terjadi lebih dari 150 kerusuhan anti-China di seluruh AS. Akibatnya, ratusan orang terbunuh dan ribuan orang terusir dari tempat tinggal mereka.

Di masa Perang Dunia II, giliran warga AS keturunan Jepang yang menjadi korban tindak kekerasan rasial. Dan di era Cold War McCarthyism pada 1950-an, ketika gerakan antikomunis merebak di AS, warga dan organisasi-organisasi milik keturunan China kembali menjadi sasaran tindak kekerasan dan diskriminasi dengan tuduhan mereka menjadi kaki-tangan pemerintah komunis China.

Donald Trump, bapak kekerasan rasial AS modern

Di era politik AS modern, spirit antikelompok minoritas termasuk Asia di AS tidak terlalu kentara. Hal ini karena Partai Republik yang konstituen, utamanya kelompok White Evangelical mengemas sikap antipati tersebut dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang membatasi hak politik dan pemberian bantuan pemerintah seperti asuransi kesehatan bersubsidi Obamacare dan food stamps yang mayoritas penerimanya adalah kelompok-kelompok nonkulit putih --yang rata-rata konstituen Partai Demokrat. 

Donald Trump bisa dikatakan menjadi Presiden Partai Republik AS pertama yang menghidupkan kembali gerakan antiimigran dan anti-Asia yang vulgar seperti yang terjadi di masa lalu. Ketika mengumumkan maju menjadi capres Partai Republik pada Juni 2015, Trump menyebut imigran dari China, Vietnam dan India sebagai ‘pencuri’ lapangan kerja warga AS di negeri mereka sendiri. Padahal sebelumnya banyak perusahaan AS yang merelokasi pabrik-pabrik mereka ke Asia.

Retorika antiimigran dan antiChina yang disalurkan melalui platform media sosial Trump terutama Twitter dan diamplifikasi melalui platform sosmed para pendukungnya serta media massa konservatif seperti Fox News, menciptakan efek bola salju.

Time melaporkan bahwa hasil poling Rasmussen-perusahaan survei pro-Partai Republik-pada Agustus 2015 menunjukkan, 51% responden percaya bahwa kaum imigran yang masuk secara ilegal telah mencuri pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya diisi oleh warga AS.

Trump dan para pendukungnya juga secara terang-terangan memfokuskan kampanye mereka kapada kaum kulit putih, dan pada saat yang sama kerap mengeluarkan retorika bernuansa rasis yang ditujukan kepada kaum Hispanic asal meksiko, kulit hitam dan Asia.

Meski dianggap tabu oleh capres-cepres Partai Republik sebelumnya, retorika antikaum minoritas cukup mengena, karena pemilih kulit putih di AS pada 2016 masih sangat besar, yakni mencapai 69% menurut Pew Research Center. Di sejumlah swing states penting seperti Iowa, Wisconsin, Michigan, Pennsylvania, dan Ohio, pemilih kulit putih lebih tinggi lagi, yakni mencapai 75% hingga 90%!

Scare tactics termasuk menakut-nakuti warga AS bahwa imigran Asia mencuri lapangan kerja mereka, dan teknologi serta aplikasi China menjadi alat mata-mata pemerintah China yang digaungkan Trump dan Partai Republik sukses. Banyak konstituen Partai Republik yang sudah lama golput muncul dan mencoblos di TPS pada Pilpres 2016 dan 2020.

Tidak mengherankan jika Trump bisa menang tipis dalam perolehan suara elektoral (electoral votes) di Pilpres 2016 (306 vs 232), padahal hampir semua poling menunjukkan Hillary Clinton diprediksi akan menang. 

Juga di Pilpres 2020, Trump hanya kalah tipis dalam perolehan suara elektoral oleh Joe Biden (232 vs 306), padahal sebagian pesar poling memprediksi Biden akan menang telak, dengan perolehan suara elektoral di atas Obama di Pilpres 2008 (365 vs 173). 

Trump siap comeback di 2022 dan 2024 sebagai warrior bagi kaum kulit putih

Terpilihnya Biden dan tergusurnya Trump dari Twitter pascapenyerbuan Capitol Hill pada 6 Januari membuat ketegangan rasial dalam politik AS sedikit mereda. Tetapi pengusaan Trump terhadap Partai Republik tidak luntur. 

Republican National Congress sebagai mesin politik terbesar Partai Republik masih dikuasai orang-orang dekat Trump. Elektabilitas Trump di kalangan pemilih Partai Republik juga masih di kisaran 80%. Tidak heran jika para pengamat meyakini Trump akan menjadi kingmaker di midterm elections 2022 dani capres Partai Republik di Pilpres 2024.

Apalagi fakta demografis menunjukkan, kaum kulit putih akan menjadi kelompok minoritas pada 6 pilpres ke depan, sehingga kaum kulit putih memerlukan seorang warrior seperti Trump yang bisa membuat kaum kulit putih tetap mendominasi politik AS meskipun secara demograsi menjadi minoritas.

Menurut data Biro Sensus AS, pada 1910, populasi kaum kulit putih masih di angka 88,1%. Pada 2019, populasi mereka turun drastis menjadi 60,1%. Pada 2045, kaum kulit putih hanya 49,7%, alias minoritas jika dibandingkan nonkulit putih.

Kelompok Asian American menjadi kelompok demografi yang akan tumbuh paling pesat, yakni dari 0,2% pada 1910 menjadi 7,9% pada 2045. Ini berarti prosentasi demografis kaum Asian American naik hampir 40 kali lipat dibanding pada 1910. Sementara prosentasi demografis kaum Hispanik hanya meningkat 27 kali lipat dan kaum kulit hitam hanya 1,2 kali lipat dari 1910.

Jadi semakin dipahami mengapa kelompok Asian American sangat dibenci oleh kelompok Supremasi kulit putih AS!

Pelajaran bagi Indonesia

Indonesia dan AS adalah sama-sama negara multietnis yang menganut sistem demokrasi presidensial. Namun Indonesia menerapkan sistem pemilihan langsung di mana pemenang pilpres atau pileg ditentukan berdasarkan perolehan suara popular dan partai-partai politik juga pragmatis, bukan sistem elektoral dengan partai-pertai politik yang sangat partisan seperti di AS, sehingga gejolak politik relatif lebih mudah diredam.

Hanya saja, penguasaan ekonomi oleh sekelompok kecil pengusaha dan elite politik bisa membuat kesenjangan sosial semakin lebar dan berpotensi menjadi pemicu aksi kerusuhan rasial di masa mendatang. 

Jangan salah, kekerasan rasial di Indonesia juga sudah berlangsung ratusan tahun. Menurut paper Abdul Muntholib dari Jurusan Sejarah FIS Unnes di Forum Ilmu Sosial pada 2 Desember 2008, kerusuhan rasial di Indonesia tidak hanya pada peristiwa Malari 1974, peristiwa kerusuhan Jawa Tengah pada 1980 dan saat krisis moneter pada 1998.

Kerusuhan rasial pertama di Indonesia terjadi lebih dulu dibandingkan di AS yakni pada 1740 di Batavia. Kemudian berulang lagi di Jawa Tengah pada 1918.

Kita bersyukur bahwa sampai hari ini kita terhindar dari kerusuhan rasial meski situasi ekonomi dan sosial cukup bergejolak akibat pandemi. Tetapi hal ini tidak menjamin bahwa Indonesia aman dari peristiwas serupa 1978, 1980 dan 1998 di masa mendatang.

Kita harus waspada!

img
Didin Nasirudin
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan