Mengenal sosok Aidit yang religius dan humanis
Rezim Soeharto terkadang serampangan menarasikan sejarah tentang peristiwa 1965. Pemerintah Orde Baru tak mampu menghasilkan buku sejarah tokoh-tokoh gerakan kiri. Mereka memberikan stigma negatif kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), dan seluruh tokoh yang terkait dengannya.
Contohnya, tokoh gerakan kiri Dipa Nusantara Aidit digambarkan sebagai sosok antagonis, tapi gagal total ditulis. Hal ini mengakibatkan, konsumen narasi sejarah akan mengernyitkan dahi kala menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya sutradara Arifin C. Noer. Pasti, di antara mereka ada yang bertanya-tanya, bagaimana sesungguhnya sejarah hidup Aidit? Apakah dia terlahir dan berkembang dalam nuansa horor?
Rajin ngaji dan banyak kawan
Aidit sebenarnya terlahir dari keluarga religius. Ayahnya, Abdullah, merupakan tokoh pendidikan Islam di Belitung, pendiri Nurul Islam. Aidit dibesarkan dalam tradisi disiplim muslim Melayu.
Surau merupakan pusat pergaulannya. Orang-orang di Jalan Belantu, Belitung, mengenal Aidit sebagai seorang muazin, dengan suara keras dan lafal yang jelas (Murad, 2006: 42).
Tak banyak yang tahu, Aidit kecil sesungguhnya pembelajar agama yang militan. Guru mengajinya, Busu Rahman, tak akan membiarkannya istirahat sebelum berhasil membaca Alquran dengan tajwid dan tartil yang baik.
Bila bacaannya salah, Busu Rahman kerap menyuruhnya mengulangi dari awal agar sesuai makhrot. Sebelum usianya menginjak belasan, Aidit telah khatam Alquran sebanyak tiga kali. Setiap khataman digelar pesta kecil-kecilan, Aidit diarak keliling kampung (Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah, 2005: 69).
Selain itu, Aidit mampu bergaul dengan semua etnis dan lapisan sosial di Belitung. Dari anak tangsi hingga golongan Tionghoa ditemani. Aidit kerap diajak pergi memancing ikan pada malam hari oleh ayah temannya, yang merupakan anak seorang nelayan.
Pengalamannya ini ditulis di buku harian, dia mencatat tentang berapa jumlah hasil tangkapan nelayan dan ongkos yang dikeluarkan setiap perjalanan melaut. Aidit mencatat, jerih payah nelayan yang tidak sebanding dengan upah yang didapat dalam menjual hasil tangkapannya di pasar. Selain bermain dengan anak seusianya, Aidit suka berkumpul dan bergaul dengan buruh timah di Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton (GMP) (Sobron, 2003: 25).
Aidit memahami kondisi buruh dengan ikut masuk ke dalam kehidupannya. Para buruh mengenalnya sebagai teman bercerita dan pendengar yang baik. Saat-saat di mana buruh tengah bekerja membersihkan kebun pekarangan, Aidit ikut menyapu, memacul, hingga membuat lubang untuk pohon pisang.
Dalam pekerjaan itu, buruh biasanya menceritakan pengalaman bekerja dengan perusahaan timah kepada Aidit. Hingga buruh mengajak Aidit makan, entah goreng singkong ataupun buah-buahan, dalam keadaan santai ini buruh itu bercerita tentang keadaan sesungguhnya yang dia alami.
Seorang intelektual dan pekerja keras
Aidit juga seorang pembaca yang tekun. Saat bersekolah di Holland Indlandcshe Scholl (HIS), Tanjung Pandan, buku yang tersimpan di perpustakaan sekolahnya telah habis dibaca. Penguasaan bahasa asing, seperti Belanda dan Inggris, membantunya mengenal literatur dasar dari ideologi-ideologi besar dunia.
Intelektualitas Aidit tidak berjebak dalam wacana, tapi kesadaran praktis. Aidit menjadi kritis, peka terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak adil. Aidit pernah melakukan mogok sekolah.
Hal itu dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap teman sepermainannya yang dikeluarkan, karena tidak mampu membayar uang sekolah. Pemogokan itu berakhir setelah Abdullah berjanji membantu temannya untuk meneruskan sekolah (Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah, 2005: 69).
Aidit pun seorang seorang pekerja keras dan kakak yang bertanggungjawab bagi adik-adiknya. Waktu berusia enam atau tujuh tahun, Aidit harus melakukan pekerjaan berat. Saat tinggal di rumah pamannya Busu Rahman, Aidit membantu mengurus rumah. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dirinya harus mengangkut air dari sungai yang jaraknya jauh.
Sepulang sekolah, Aidit mencuci piring yang kotor, menyapu halaman rumah, mengurus ternak, mengisi lampu dengan minyak tanah, serta menjaga adik-adiknya. Setiap minggu, Aidit harus ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Hanya pada malam hari Aidit memiliki waktu yang baik untuk belajar. Namun, itu tidak bisa berlangsung kondusif, karena kondisi fisik Aidit yang lelah ditambah penerangan lampu yang tidak maksimal (Bintang Merah, 1953: 479).
Aidit memiliki kecintaan dalam hal perdagangan. Di rumah Busu Rahman, Aidit beternak ayam dan menjual telurnya. Ikan yang diperoleh Aidit dari memancing pun dijualnya. Dia menjajakan kue-kue dan segala dagangan saudaranya ke seluruh kampung.
Setiap ada pertandingan sepak bola di Tanjung Pandan, Aidit berjualan nanas. Lantaran sering memikul barang dagangan yang berat, tubuhnya menjadi sulit tinggi. Semua upah yang didapat, dia tabung untuk membeli buku. Aidit menjadi seorang yang mandiri, tidak bergantung kepada uang ayahnya (Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah, 2006: 81).
Sosok Aidit yang sangat humanis dan religius tadi tak pernah diungkit dalam narasi sejarah rezim Orde Baru. Orde Baru hanya menarasikan sejarah, berdasarkan prinsip semau-maunya.