close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Senin, 25 Maret 2019 19:30

Membangun dan merusak

Dengan alasan pembangunan (building) ternyata menyengsarakan manusia akibat rusaknya alam
swipe

Membangun identik dengan merusak. Sudah hadir sebagai sebuah ketetapan jauh-jauh waktu dulu. Tak perlu dicari alasannya, sebab kita bisa saksikan kenyataannya saat ini. Apa yang tak rusak di alam ini sekarang?

Padahal ajaran agama dan pemikiran para filosof mengatakan, membangun sekedar tempat bermukim. Kalau pun ada kelebihan kemajuan Iptek seharusnya diperuntukkan mensejahterakan manusia dan memuliakan alam. 

Martin Heidegger, enam puluh enam tahun lalu (1951) sudah menggemakan prinsip manusia tak boleh menganggap alam sebagai benda mati yang bisa sesukanya dieksploitasi. Tujuan pembangunan selama ini sangat kontradiktif, disebut sebagai usaha, semacam benda yang diperdagangkan. Dengan alasan pembangunan (building) ternyata menyengsarakan manusia akibat rusaknya alam. Mari telusuri sungai yang tercemar, hutan yang gundul, danau yang kering dan keruh? Ada di mana-mana, apalagi di negara kita ini.

Bom atom dengan hasil penembakan unsur radioaktif yang rumusnya ditemukan oleh Albert Einstein berbuah kesengsaraan. Rasa sakit oleh bom atom yang harus diderita manusia begitu mengenaskan. Membuat manusia semakin memperlihatkan naluri kebinatangannya. Muncul saja keinginan untuk menghancurkan kehidupan orang lain dengan cara menembak atau mengebom manusia lain. Daging-daging terlepas dari tulang tempat ia melengket. Atau tulang-tulang hancur mengabu oleh dahsyatnya nuklir. 

Memang manusia akan berproses menjadi mati. Namun kematian ini yang menjadi persoalan dunia terus menerus sampai kini. Mematikan manusia lain seolah menghidupkan si pembunuh. Andai saja Donald Trump memang mengingini Yerusalem sebagai ibukota Israel, apa tidak bisa dilakukan dengan jalan perdamaian. Tidak sebagai kini, ratusan manusia harus mati dengan tembakan, bom dan berbagai penyakit lainnya.

Manusia memang nista jika ia tidak mengasah akal budi dan menuju pada kesucian hati jiwa dan fisiknya. Martin Heideggar dengan kesadaran penuh untuk tidak menjadikan alam sebagai objek semata, berpindah dari kota untuk tinggal di pedalaman hutan Todtnauberg Jerman bersama istrinya.

Di sini ia menemukan arti sesungguhnya kemanusiaannya. Ia mandi di sungai kecil yang airnya mengalir tak henti-henti. Ia makan sayuran yang tidak berpestisida. Makan ikan yang cukup umur. Menyapa hewan-hewan yang hidup berdampingan dengan pondoknya. 

Tampaknya saja memang kita kini bermegah-megah membeli sayuran di supermarket. Padahal sayuran dan buah-buahan yang dijual sudah terkontaminasi berbagai bahaya racun pestisida. Tampaknya saja kita seenaknya bermobil mewah di jalan raya, padahal kalau kita tahu, betapa banyaknya sumbangsih terjadinya polusi oleh kendaraan. Kita makan di rumah makan mewah dengan MSG yang tak ketinggalan.

Heidegger merupakan filosof dan fenomenolog asal Jerman yang sangat terkenal dengan bukunya Being and Time (1927), yang bermakna “mengada dalam waktu”. Termasuk juga manusia tak lepas berada di sebuah ruang dalam waktu tertentu. Jadi sekali lagi saya sebutkan maksud Heidegger ingin mengingatkan bahwa manusia sifatnya hanya penumpang sementara (dwelling) di bumi.

Dalam hal ini, prinsip yang selanjutnya menekankan akan adanya kebahagiaan abadi atau surga seperti yang diamanatkan oleh agama. Surga semua kita tahu dijanjikan Tuhan untuk orang-orang suci dan bersih hatinya. Bukan untuk para pencuri termasuk koruptor, dan pendengki lainnya.

Bahwa manusia tak bisa menolak keberadaannya sebagai hidup dalam waktu dan ruang, dengan segala keterbatasan. Paling banter berusia 100 tahun. Ini pun biasanya sudah banyak menimbulkan kesusahan untuk orang lain, anak atau cucu-cucu yang harus mengurusnya.

Kampanye Dwelling ala Heidegger tidak semarak perlakuan terus-menerus manusia menghancur alam dengan alasan pembangunan. Di kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, tiga desa, yakni Bagan Serdang, Denai Kuala dan Serdang Panjang, habitat ketam (kepiting bakau) di pinggiran pantai desa-desa ini menghilang. Warga sekitar menjerit dengan penghasilan tangkapan kepiting mereka yang menyusut drastis. 

Mengapa hal di atas tejadi? Karena pengusaha meluaskan tanaman sawitnya sampai ke pemukiman kepiting yang sudah hidup di situ ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu. Hutan mangrove menjadi rumah baginya untuk beranak-pinak kini dimusnahkan oleh tanaman monokultural sawit. Tujuannya sudah pasti demi keuntungan materi semata.

Kesadaran untuk mengembalikan habitat kepiting bakau ini harus segera diatasi. Tak ada jalan lain, tanaman sawit harus dimusnahkan. Kita masih ingat dan sulit untuk lupa tentang ikan-ikan yang berenang leluasa di Teluk Jakarta, kini sudah kosong. Bahkan sebelum habitat mereka habis, mereka tercemar oleh merkuri dan hidragirum yang membuat mereka tersiksa.

Saat ini yang bisa kita lakukan untuk dapat hidup senang, tenang dan damai di hati adalah melalui renungan-renungan. Filsafat-filsafat kehidupan dipelototi agar pikiran seterang bintang di langit. Agama dilaksanakan dengan benar. Kita kembali belajar nilai-nilai. Sebabnya, sebuah fakta selalunya akan diturunkan dari sebuah nilai.

Sebuah tindakan tidak begitu saja lahir, pasti ada nilai yang mendasarinya. Demikianlah yang terjadi terhadap alam. Sikap brutal manusia pasti ada yang mendasarinya, demikian ujar Van Peursen, filsuf asal Jerman.

Watak modernisme memang angkuh. Ia selalu membuat jarak dengan alam. Padahal tujuan alam dibentuk sebelum manusia lahir berkegunaan hanya untuk menopang hidupnya yang singkat. Bukannya untuk menunjukkan kedigdayaan manusia atas alam yang ada. Untuk menghancurkan sesama manusia pula digunakan.

Apa artinya sebuah gedung bertingkat seribu untuk manusia. Kecuali sudah merontokkan jutaan ton gunung tanah aspal dan semen. Ribuan hutan pula ditebang. Lihat juga piramid dan bangunan-bangunan yang kini dilestarikan dan dijadikan fakta sejarah.

Semuanya menggambarkan semangat manusia menghancurkan alam untuk melestarikan hidupnya yang usianya sudah dipatok. Seorang Firaun ingin kekal sebagai manusia. Bahkan ia juga pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan dan menantang Nabi Musa. Ia membalsem anak-anaknya untuk tetap hidup.

Apa yang terjadi saat ini sesungguhnya sangat merugikan diri kita sendiri. Yang paling menyakitkan adalah pembangunan memunculkan persoalan kesenjangan yang akut. Hal yang menimbulkan berbagai ketakutan psikologis. Di mana kita bermukim, di situ ada pencuri, penawar narkoba dan lain-lain kejahatan, disamping bencana alam.

Ada sebuah iklan di televisi swasta yang sangat mencekam dan mencemaskan keadaan lingkungan dan psikologis. Seorang gadis kecil sangat ketakutan ketika sedang berada di dalam mobilnya, oleh ancaman anak jalanan yang miskin.

Waktu itu ia sedang berada dalam sebuah mobil yang melewati jalanan yang becek berlumpur di pemukiman kumuh di ibukota Jakarta. Lalu gadis kecil ini mengucapkan, “Aku ingin pindah ke....” mengucapkan nama sebuah perumahan yang menjanjikan keamanan. Iklan ini berujung pada opini publik, bahwa orang-orang diajak pindah menghindari neraka Jakarta.

Ini bukti kesenjangan yang tercipta oleh pembangunan yang merusak. Dan rupanya pula ia tak hanya merusak lingkungan atau alam. Tapi juga merusak jiwa manusia yang sesungguhnya sangat lemah ini.

Mampukah nilai Pancasila kita terapkan dalam kondisi ini. Pikiran kita melayang ke sebuah keadaan yang seharusnya, di mana semua warganegara Indonesia yang sudah dewasa bergelar sarjana sedikitnya. Agar buah pikiran Heidegger dapat dicerna di dalam otak kita. Bukan dicerna di dalam usus, kemudian keluar sebagi tinja.

img
Nevatuhella
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan