Membalik ‘omon-omon’ diversifikasi pangan
Persamuhan itu sudah lama berlalu. Namun, kini ada momentum baik untuk diulas. Sehari setelah Idulfitri, ada undangan dari seorang kolega. “Mas, besok siang jam 13.00 berkenan makan siang bersama Pak Siswono Yudhohusodo? Sekaligus kita bahas ketahanan pangan berbasis sagu. Ditunggu konfirmasinya,” tulis Petrus Gunarso.
Tanpa berpikir panjang, saya mengiyakan. “Dengan siapa saja,” tanya saya. Diinfokan, selain Siswono juga bakal hadir Karen Tambayong dan Adhie Widihartho. Siswono adalah mantan menteri di era Orde Baru yang pemilik usaha Bangun Cipta. Sedangkan Karen pemilik Floribunda Nursery dan Adhie Sekjen Masyarakat Perbenihan dan Perbibitan.
Mereka bertiga adalah para pegiat yang amat konsen pada dunia pertanian-pangan dengan fokus masing-masing. Puluhan tahun malang melintang. Tentu kehormatan bisa gabung dengan mereka. Apalagi, kala saya utarakan kalau belum pernah intens mengkaji sagu, Petrus menulis: “Justru besok kita belajar hal baru.” Aha! Petrus adalah rimbawan yang intens mendalami sawit. Rupanya, Karen dan Adhie tidak bisa gabung. Sebagai ganti mereka berdua hadir Sutarto Alimoeso, mantan Dirut BULOG yang kini jadi Ketua Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (PERPADI).
Benar saja, makan siang plus ngobrol bermutu tentang sagu di resto milik anggota Masyarakat Sagu Indonesia di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu jadi wahana belajar ihwal sagu. Selain papeda, kami disuguhi aneka pangan berbasis sagu: kwetiau, mi, roti, pasta, dan krupuk.
Sagu telah disulap jadi pangan sesuai selera masyarakat modern. Semua enak, lezat, dan menyehatkan. Lebih enak dari mi instan yang selama ini biasa disantap. Jenny Widjaja, pemilik resto itu, mengaku “berdarah-darah” meracik aneka pangan berbasis sagu. Dia bergerilya mengetuk pintu berbagai otoritas kebijakan agar ada keberpihakan pada pangan lokal. Tapi hasilnya masih amat mengecewakan.
Salah satu yang saya sampaikan adalah sagu dan pangan lokal lain berpeluang berkembang dengan adanya program makan bergizi gratis dari capres-cawapres terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Program yang menyasar 82,9 juta siswa (SD hingga SMA), santri, dan ibu hamil itu bisa menciptakan tarikan permintaan yang kuat (demand pull) terhadap pangan lokal, termasuk sagu. Salah satu penyebab mengapa pangan lokal tak berkembang adalah karena tidak adanya kepastian permintaan ajek, terutama dari industri. Pasar yang pasti di hilir, apalagi dengan harga yang menarik dan menguntungkan, akan menggerakkan petani dan pelaku usaha di hulu untuk mengisinya.
Di balik beragam kritik yang menyertai program makan siang gratis, sejatinya ada harapan terkait percepatan diversifikasi pangan. Jika selama puluhan tahun program diversifikasi pangan mandek, bahkan berjalan mundur, terbuka peluang untuk kembali mekar jika program makan siang gratis dieksekusi di seluruh wilayah di Tanah Air. Tidak hanya mekar, bahkan ada potensi diversifikasi pangan terakselerasi. Catatannya, pertama, pogram tak dieksekusi tersentral di pusat. Sebaiknya pemerintah pusat berfungsi sebagai pengarah. Sedangkan pemda dan sekolah sebagai eksekutor. Asumsinya, pemda dan sekolah jauh lebih mengetahui kondisi dan kebutuhan masing-masing sekolah.
Kedua, makan siang gratis diutamakan dari pangan lokal dan produksi setempat. Syarat ini bukan saja membuat pangan lokal tumbuh menggeliat, dari sisi lingkungan juga memperpendek jejak karbon dan menjamin kesegaran. Selama ini konsumen tak pernah peduli berapa ratus, bahkan ribu kilometer, makanan pengisi perut menempuh perjalanan dari daerah asal. Ada istilah food miles: jejak karbon yang timbul akibat perjalanan makanan dari tempat tumbuh hingga disantap. Kian jauh makanan “jalan-jalan” kian tak berkelanjutan dan tak ramah lingkungan makanan yang kita santap. Pola produksi, distribusi, dan konsumsi makanan telah bertransformasi luar biasa. Tetapi jarak tempuh yang jauh membuat makanan tak efisien dari sisi kalori, dan tidak berkelanjutan.
Pangan lokal jadi salah satu solusi. Lokalitas membuat rantai pasok lebih pendek. Perjalanan pangan dari produsen ke konsumen lebih cepat sampai. Aspek kesegaran dan higienitas terjawab sekaligus. Rantai pasok yang lebih pendek juga akan menekan biaya transaksi dan membuat pasar kian efisien. Ujung-ujungnya, balas jasa kepada pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok, termasuk petani, kian baik. Lewat program makan siang gratis, para siswa dan ibu hamil kini berpeluang menyantap pangan produksi lokal, yang berbeda daerah satu dengan lain sesuai potensi. Idealnya tak ada penyeragaman pangan.
Indonesia kaya sumberdaya pangan lokal. Sejarah Indonesia mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas, dan ubi jalar (Papua) telah dan pernah sebagai pangan baku warga selama bertahun-tahun. Kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi, yang dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan plus kebijakan “berasiasi” yang salah kaprah telah membuat pola makan mengkristal pada beras. Sedangkan gaplek, jagung, ubi, cantel dan puluhan pangan lain jadi pakan ternak.
Dalam atlas keanekaragaman hayati, di Indonesia tercatat setidaknya ada 77 jenis karbohidrat, 389 jenis buah-buahan, 75 jenis protein, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, 110 jenis rempah dan bumbu serta 40 jenis bahan minuman. Sayangnya, aneka pangan lokal ini kian tersingkir karena lemahnya keberpihakan dan absennya kebijakan yang bersifat melindungi. Sebaliknya, selain terjadi “berasisasi” pangan berbasis impor, yakni gandum, kini menyodok di posisi kedua setelah beras. Ini diversifikasi yang salah.
Pola pangan yang bertumpu pada secuil spesies ini boleh dibilang bagai tragedi. Sistem ekologis penopang keanekaragaman hayati mengalami erosi luar biasa. Ironisnya, diikuti kerusakan lingkungan pula. Sistem produksi dan budaya pangan seperti ini amat rapuh dan rentan. Jika terjadi gangguan pada sistem produksi dan distribusi, dampaknya akan serius. Terutama di wilayah bukan produsen. Sistem produksi dan budaya pangan seperti ini juga tidak berkelanjutan. Ketika terjadi guncangan dari luar, baik karena pandemi, krisis atau resesi, sistem tak mudah dipulihkan. Dengan kekayaan hayati dan ekologi yang beragam, diversifikasi pangan idealnya mengarah pada pangan lokal.
Seiring tumbuhnya tarikan permintaan dari program makan siang gratis, agar diversifikasi pangan tidak lagi hanya ‘omon-omon’, perlu kebijakan terintegrasi hulu-hilir. Pertama, selain dari program makan siang gratis, tarikan permintaan juga bisa datang dari, misalnya, mewajibkan industri pengguna tepung terigu menyerap tepung lokal. Kewajiban ini disesuaikan kemampuan produksi tepung domestik. Yang harus dipastikan adalah kontinuitas pasokan, kualitas sesuai, dan harga.
Kedua, tidak memilih kebijakan melepas ke pasar (hands-off policy). Sebagai industri bayi (infant industry), tak adil tepung lokal–yang melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani atau usaha kecil dan menengah (UKM), menciptakan dampak berganda maha luas—bersaing dengan industri tepung terigu yang sudah mapan.
Ketiga, perlu dukungan kebijakan fiskal yang memadai, seperti alokasi anggaran di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tarif bea masuk, pajak, kredit berbunga rendah, dan subsidi pertanian. Amat mungkin pada tahap awal, tepung lokal belum kompetitif dengan terigu dan beras, dua pangan dominan warga. Selisih harga antara tepung lokal dengan terigu dan beras bisa saja disubsidi. Dari mana uangnya? Mengapa tak menarik bea masuk impor gandum yang duitnya bisa untuk menyubsidi harga tepung lokal. Tarif bea masuk gandum ke Indonesia terendah di dunia: 5%. Sebaliknya, negara lain mematok bea masuk tinggi: China hingga 71%, Turki 82%, Thailand 40%, Pakistan 25%, Srilanka 25%, Taiwan 22,5%, dan Bangladesh 15%-20%. Dengan cara ini, harga tepung lokal kompetitif dan stabil.
Keempat, perlu dukungan riset intensif di hulu, juga riset olahan pangan berbasis tepung lokal, baik dari sisi rasa, warna,dan tekstur. Termasuk di dalamnya riset yang fokus pada kemudahan penyajian dan komplementari yang luas dengan pangan lain. Harus diakui, terigu dengan glutennya adalah komplementari yang luas dan bisa dimasak untuk aneka penganan: mi, aneka kue, roti, dan yang lain.
Kelima, memproduksi pangan lokal sesuai skala ekonomi di lahan yang belum optimal. Ditambah kemudahan akses, yakni tersedia di mana saja dan kapan saja, dan rekayasa sosial (social engineering) dengan membangun konstruksi sosial lewat edukasi dan kampanye/marketing/iklan intens dan terus-menerus terbuka besar peluang pangan lokal jadi tuan di negeri sendiri. Jika dilakukan simultan, ada peluang menghentikan ‘omon-omon’ diversifikasi pangan.