close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Rabu, 10 Juli 2019 16:20

Membaca tren NPI

Bila mampu membenahi problem ekspor dari akarnya, ditambah dengan pengendalian impor, maka kemungkinan besar defisit terhindari.
swipe

Pada tahun lalu, pada Mei neraca perdagangan Indonesia (NPI) masih menyambung defisit dari April. Di 2019 ini, pada Mei kita berhasil mematahkan peristiwa itu. Defisit yang terjadi pada April 2019 tak berlanjut di Mei. Sepatutnya kita bersyukur atas hal ini. Walau sebenarnya surplus neraca perdagangan Mei 2019 tidaklah terlalu menggembirakan. Mengapa demikian? Lewat membaca tren, ada beberapa poin yang dapat menjadi catatan bagi kita.

Pertama, nilai surplus yang diraih pada Mei 2019 sangat kecil, yakni hanya US$0,21 miliar. Nilai ini bahkan lebih kecil dari nilai surplus yang dicatatkan Februari dan Maret, masing-masing sebesar US$0,33 miliar dan US$0,67 miliar.

Apa maknanya? Tak lain, selisih yang diciptakan ekspor dan impor kita semakin tipis. Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus ini terjadi karena kinerja ekspor yang meningkat dan menurunnya impor. Ekspor mencapai US$14,74 miliar atau naik 12,42% dibanding bulan sebelumnya. Sementara impor turun 5,62% menjadi US$14,53 miliar.

Kedua, nilai defisit yang diderita pada April 2019 begitu dalam. Bahkan nilai US$2,5 miliar yang terjadi pada bulan itu, dicatat sebagai defisit terparah sejak Juli 2013 (US$2,3 miliar). Penyebabnya, seperti biasa, yakni neraca migas yang tekor US$1,49 miliar. Ditambah pula tekor dari neraca nonmigas sebesar US$1,01 miliar. Dari situlah angka US$2,5 miliar tercipta. Persoalannya ialah, surplus neraca perdagangan yang diraih pada Mei 2019 jelas tak menutup defisit ini, bahkan sekalipun ditambahkan dari surplus Februari dan Maret 2019.

Tahap kritis
Ketiga, kita mesti mewaspadai defisit pada Juli 2019. Memang secara tren, hampir dapat dipastikan Juni 2019 neraca perdagangan kita bakal meraih surplus. Sayangnya di balik berita baik itu, terselip berita buruk, yakni hampir pasti pula di Juli kita mendera defisit.

Hal yang masih belum terjawab ialah, berapakah nilai surplus pada Juni? Kemudian, apakah nilai surplus Juni mampu menambal defisit yang tercipta pada bulan Juli? Meski belum terealisasi, saya duga tambalan ini sulit tercapai.

Sebabnya, bila melihat tren defisit pada bulan Juli sangatlah dalam. Juli dapat disebut sebagai “tahap paling kritis” bagi neraca perdagangan. Pada 2017 misalnya, neraca perdagangan terus surplus mulai dari Januari hingga Juni. Namun pada bulan Juli terjungkal, mencatat defisit sebesar US$0,27 miliar. Kecil memang. Namun pada 2018 jauh berbeda dengan 2017. Grafik neraca perdagangan kita pada 2018 memang demikian fluktuatif. Jurang terdalam juga terjadi pada Juli, sebesar US$2,03 miliar.

Lantas, akankah “kutukan” Juli terulang di tahun ini? Kemungkinan besar, iya. Begitupun kita berharap agar defisit yang terjadi pada Juli 2019 tak lebih parah dari defisit April 2019.

Keempat, Agustus dan September yang menanjak. Setelah kesulitan muncul kemudahan. Frasa ini tampaknya berlaku di kedua bulan ini. Setelah menukik tajam di Juli, neraca perdagangan cenderung menanjak di Agustus. Lebih menggembirakannya lagi, tanjakan ini biasanya berlanjut pula hingga September.

Lihat saja Agustus 2017 yang berhasil mencatat surplus US$1,72 miliar, berlanjut pada September dengan nilai US$1,76 miliar. Sementara untuk Agustus 2018, walau surplus belum tercapai, namun setidaknya defisit mulai terobati, dan pada September sudah berhasil surplus.

Pengobatan
Dapat dikatakan Agustus ataupun September adalah bulan “pengobatan”. Untuk tahun ini, kita belum bisa memastikan apakah “pengobatan” akan terjadi pada Agustus atau justru September. Namun kita berharap setidaknya surplus menghampiri di salah satu bulan tersebut. Sebab kalau tidak, dampaknya cukup berbahaya.

Kelima, jika “pengobatan” gagal, maka kita bakal kembali defisit pada Oktober. Tren menunjukkan Oktober sebagai bulan yang baik untuk meluncur, yang tak lain meluncur menuju defisit. Seandainya pun, pada Agustus atau September kita surplus, jika nilainya begitu kecil, maka sulit untuk menambal defisit yang terjadi pada Oktober. Apalagi bila defisit dari Oktober berlanjut hingga November. Hal seperti ini terjadi pada 2017 dan 2018. Bahkan untuk 2017 defisit bersambut hingga tuntas di Desember.

Parahnya lagi, dari Oktober ke Desember 2017 nilai defisit yang dihasilkan semakin tajam. Sementara di 2018, pada Desember neraca perdagangan sudah mulai membaik, walau masih defisit.
Untuk tahun ini, apakah mungkin terulang hal sama seperti itu? Mungkin saja. Namun kita harus membuat agar defisit tak demikian dalam, atau jika bisa tak terjadi sama-sekali.

Perlu diingat Oktober adalah pelantikan presiden dan wakil presiden. Saya kira, sungguh memalukan bila pada bulan itu, bulan pelantikan itu, neraca perdagangan kita mengidap defisit. Oleh karena itulah, sudah semestinya kita memutus tren defisit yang terjadi pada Oktober, sama seperti dengan memangkas tren defisit April pada Mei.

Terakhir tapi penting, bagaimana cara memutus defisit? Jawabnya singkat, yakni dongkrak ekspor dan landaikan impor. Itu saja. Sederhana secara teori, tapi sulit pada kenyataan. Sebab apa? Sebab ekspor kita bermasalah pada struktur dan strateginya. Disamping itu, impor kita cenderung terus naik. Bila mampu membenahi problem ekspor dari akarnya, ditambah dengan pengendalian impor, maka kemungkinan besar defisit terhindari. Ketika masa itu terjadi, surplus demi surplus bakal kita nikmati kembali.
 

img
Muhammad Husein Heikal
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan