Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Terdapat 17.504 pulau dengan luas wilayah 7,81 juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta kilometer persegi daratan, 3,25 juta kilometer persegi lautan, dan 2,55 juta kilometer persegi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Kawasan bentangan katulistiwa dengan kekayaan sumber daya alam terbarukan dan tak terbarukan, hutan tropis dan hasil laut.
Kekayaan sumber daya alam yang sedemikian besar didukung sumber daya manusia yang mencapai di atas 260 juta jiwa, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia setelah RRC, India dan Amerika Serikat.
Kekayaan alam yang melimpah itu membuat para pendiri negara memikirkan upaya agar semuanya dapat dinikmati rakyat Indonesia.
Betapa arifnya para pendiri negara mencantumkan kalimat dalam Pembukaan UUD 45 yang berbunyi:
“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Dengan kata lain, setidaknya ada dua hal yang menjadi perhatian utama para pendiri bangsa, yakni sumber daya alam yang merupakan kekayaan alam dan pemberdayaannya untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Itulah maksud didirikannya sebuah negara yang diberi nama Indonesia. Sebuah nama baru bagi kepulauan nusantara yang merdeka dari semua bentuk penjajahan.
Kemudian hal itu dijabarkan dalam Pasal 33 UUD 45 yang berbunyi :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tetapi apa yang terjadi setelah 74 (tujuh puluh empat) tahun negeri ini merdeka? Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang semula merupakan perusahaan negara dan menjadi bagian tata kelola lembaga negara harus melakukan privatisasi menjadi sebuah perusahaan murni.
Maka satu persatu BUMN melepaskan sebagian sahamnya di pasar modal. Untungnya negara masih menjadi pemegang saham mayoritas dan sebagai konsekuensi logis kepemilikan saham mayoritas, maka ditempatkanlah seorang komisaris sebagai wakil negara dalam BUMN.
Tugas komisaris tidaklah ringan. Komisaris mengemban amanah negara menjadikan BUMN sebagai tiang penyangga perekonomian nasional, menjadikan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelola secara profesional dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, komisaris harus telah teruji. Selain kesetiaannya kepada negara dan kepeduliannya pada rakyat Indonesia, juga harus mempunyai kompetensi mumpuni dalam bidang yang dipercayakan kepadanya.
Tetapi belakangan ternyata telah terjadi perubahan arah. BUMN telah menjadi ladang balas jasa bagi kepentingan politik kekuasaan. Kesetiaan kepada negara sudah tidak diperlukan lagi bagi komisaris.
Terpenting adalah sudah terbukti kesetiaan dan loyalitas kepada politik kekuasaan atau menjadi tim sukses. Kepedulian kepada rakyat Indonesia sudah tidak penting lagi. Bahkan kompetensi terhadap bidang kegiatan BUMN yang dikuasai juga sudah tidak diperlukan lagi.
Kemudian yang dipertanyakan adalah sejauh mana peran BUMN dalam mewujudkan cita-cita didirikannya negara? Lebih miris lagi, sejumlah media memberitakan hutang BUMN telah mencapai Rp5.271 triliun per September 2018.
Situasi ini tentu jauh dari ideal seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa. BUMN selayaknya dapat membantu pemerintah mewujudkan cita-cita pendiri bangsa. Bukan menjadi bagian dari balas budi politik kekuasaan. Apalagi kebanyakan mereka bukan berasal dari bidangnya sehingga cenderung tidak berperan dalam mengembangkan BUMN.
Pemerintah harus segera bangun dan menyadari hal itu. Segera kembalikan BUMN ke orang-orang yang profesional agar keberadaan BUMN bisa dirasakan secara positif. Demi mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.