close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Kamis, 14 Maret 2019 16:16

Kedaulatan pendidikan kita

Perlu desain integral kurikulum nasional yang mengedepankan ciri khas manusia Pancasila
swipe

Menilai keberhasilan pendidikan kita setelah 74 tahun kemerdekaan rasa-rasanya seperti menilai sosok manusia yang telah berumur sangat dewasa. Apakah benar negeri ini sudah dewasa dan menjiwai Pancasila? Rasa-rasanya pendidikan seperti menjauh dari jati diri kenusantaraan, kepancasilaan, dan kebudayaan kita.

Bagaimana tidak? Pendidikan nasional ternyata sudah masuk dalam kubangan mimikri kebudayaan barat tanpa ampun lewat senjata pamungkas substansi dunia pendidikan itu sendiri, yaitu desain kurikulum nasional dan sistem pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga dan terutama pendidikan tinggi.

Pendidikan dasar dan menengah tidak diarahkan pada ketegasan kekuatan kebudayaan dan moralitas yang menekankan pada keberhasilan pendidikan nasional pada terciptanya manusia yang arif, ber-ruh kebudayaan, dan sangat Indonesianis. Kurikulum nasional yang ada selain compang-camping dan hobi berganti-ganti arahnya sesuai kepentingan siapa berkuasa di level puncak kementeriannya, juga ternyata sudah terdesain tanpa sadar menggiring jauh dari kebudayaan kita. 

Padahal bila kita ingin lebih teguh, kurikulum sebagai jiwa pendidikan tidak boleh diinterpretasikan terlalu bebas tanpa kekuatan kedaulatan dan kebudayaan sebagai pusatnya. Artinya, perlu desain integral kurikulum nasional yang mengedepankan ciri khas manusia Pancasila dengan tetap memiliki kemampuan produktivitas sekaligus kreativitas berkekuatan duta internasional. Implementasi taktis dan praksis manusia Pancasila, agamis sekaligus berkebudayaan sangat mungkin diimplementasikan.

Dalam konteks keagamaan, pendidikan yang berada dalam pengelolaan pesantren tidak pernah menjadi fokus diskusi dalam skala pendidikan nasional; baik dikaji nilai-nilai kearifan yang melandasi maupun dikaji arah perkembangannya.

Contoh lain misalnya, kekuatan bahasa Indonesia dan daerah bukan hanya bersanding dengan bahasa asing, karena nilai kebahasaan bisa jadi menggiring mentalitas dan perilaku budaya yang makin terbaratkan. Kemampuan berbahasa sebagai representasi kemampuan berinteraksi secara internasional perlu didesain untuk tetap menjadikan anak didik cinta tanah air dan kebudayaannya.  

Pendidikan yang berbasis Pancasila seyogyanya makin memastikan integrasi religiositas dengan segala aspek kehidupan dengan konsekuensi logis kesantunan. Jika kini kesantunan dan budi pekerti pemuda semakin luntur, maka indikasi menjauhnya pendidikan dari apa yang dicita-citakan pendidikan nasional menjadikan manusia bertakwa semakin jauh panggang dari api.

Banyak yang mengatakan bahwa Pancasila tidak dapat dan bahkan sulit diimplementasikan merupakan racun paling mematikan bagi kecerdasan kedirian bangsa, sekaligus meremehkan mimpi the founding fathers memandang masa depan negeri ini.

Pengalaman sebagai praktisi pendidikan dasar dan menengah yang mengelola sekolah percontohan nasional sepertinya menunjukkan kreativitas dan produktivitas peserta didik yang sangat bangga dengan Keindonesiaan. Pengalaman mengajar dan meneliti di kampus juga menunjukkan hal yang sama bagaimana menurunkan Pancasila dan moralitas khas kebudayaan kita baik dalam pembelajaran maupun riset-riset berakar pada Pancasila, lokalitas dan kearifan kebudayaan nasional. 

Pendidikan tinggi kita lebih jauh dari itu, bahkan telah terkooptasi pada gagasan revolusi industri 4.0. Kita terkadang silau dengan kebaruan tanpa mengetahui lebih mendalam bahwa 4.0 merupakan penerus revolusi industri yang menenggelamkan kearifan kebudayaan negeri, kemandirian kebudayaan dan ruh pendidikan nusantara mengarah pada liberalisasi dan mentalitas kapitalisme yang egoistik bagi penerus bangsa di masa depan. 

Kearifan negeri lewat kurikulum yang terlalu bebas, dengan benteng hanya 2 sks mata kuliah agama dan 2 sks mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi negeri dan swasta non agama yang merupakan mayoritas tergadai oleh industrialisasi masif dan menjadikan anak negeri menjadikan lulusan siap menjalankan pembangunan negeri ini berjiwa kapitalisme alih-alih agamis dan pancasilais.

Sedangkan lulusan pendidikan dasar dan menengah terjebak hanya menjadi mesin industri, menjadi buruh berkerah biru melalui kekuatan kerah putih (manajemen dan pemilik modal). Kerah putih dengan penggelembungan investasi asing melalui pasar saham pro free market economy yang banyak dikuasai oleh keluarga-keluarga turunan Orde Baru termasuk industri besar baik nasional maupun asing, pascareformasi hanya berganti kulit sarat desain korporatokrasi Orde Baru berwajah milenial.

Kalaupun muncul unicorn (yang Indonesia baru memiliki 4 entitas yang bisa jadi yang terkooptasi liberalisasi ekonomi karena ditengarai telah terbeli mayoritas sahamnya oleh asing) dan berorientasi menuju decacorn, dan mimpinya menjadi hectocorn sebagai antitesis free market economy perlu hati-hati dalam membesarkannya. Hal ini penting agar tak masuk dalam jebakan pemilik modal hanya karena hitung-hitungan keuntungan sesaat daripada mendorong kreativitas sekaligus kemandirian teknologi.

Ancaman kapitalisme liberal melalui desain revolusi industri 4.0 tidak hanya masuk di ruang-ruang kreativitas start-up bisnis praksis. Ancaman lebih jauh adalah pada kemandirian pengembangan sains dan teknologi yang bebas moralitas. Lepasnya penilaian etis atas seorang tokoh membuat kita lemah dalam memahami substansi sebuah agenda besar di baliknya.

Masifnya media sosial dan dunia entertainment misalnya melalui film Bohemian Rapsody dengan tokoh sentralnya Freddy Mercury dan lagu Love of My Life. Penggiringan isu berbalut kecanggihan sains dan teknologi diarahkan pada kebutuhan dan kepentingan universalime global menjebak seperti hak asasi manusia yang akhirnya menggiring LGBT sebagai pintu masuk kegagalan kebudayaan. Apa itu? Sila pertama dan kedua Pancasila, penilaian moral berbasis nilai agama dan keberadaban yang diusung sebagai representasi kebudayaan bangsa. 

Diperlukan praksis, interseksional dan multidisiplin keilmuan yang menguatkan kebudayaan nasional berjiwa manusia berketuhanan, keragaman budaya yang sarat harta karun kearifan nusantara serta menjaga persatuan keadaban kemanusiaan nasional.

Dana riset boleh saja digelontor berlimpah, tetapi harus diarahkan pada kemandirian kebudayaan dan kekuatan ekonomi menuju kedaulatan (bukan hanya ketahanan apalagi swasembada yang menguntungkan masyarakat kota) energi, pangan dan laut.

Bagaimana gagasan besarnya? Perlu grand design kokoh riset, misalnya riset diarahkan pada kekuatan teknologi madya berbasis Indonesia sebagai tiga lumbung dunia, yaitu energi, pangan dan maritim. Kata kunci kekuatan nasional adalah industri energi, kedaulatan petani dan nelayan menjadi pusat pembangunan nasional.

Ekonomi Rakyat dan Koperasi sebagai tulang punggung perekonomian nasional perlu menjadi center of knowledge dunia riset nasional dengan tetap memahami adanya perkembangan sains dan teknologi baru.

Salah satu yang penting pula, dari sisi sistem pendidikan, dirjen kebudayaan sebagai sentral pendidikan sebenarnya hanya ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menangani pendidikan dasar dan menengah. Bagaimana dengan pendidikan tinggi? Rasanya perlu dipikirkan ruang kebudayaan yang juga perlu dimasukkan dalam Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. 

Dengan demikian, maka pendidikan tinggi perlu diarahkan sebagai pusat dan penjaga pintu kearifan kebudayaan melalui pembentukan sistem pendidikan nasional yang sebenarnya, bukan hanya diarahkan pada liberalisasi pendidikan tinggi pro BHMN berorientasi internasionalisasi tetapi kering ruh kebudayaan, terutama lemah pada pembelaan terhadap ekonomi rakyat dan kearifan kebudayaan.

Konsekuensi logisnya bisa jadi negara perlu mempertanyakan ulang kebijakan hasil riset dan artikel berkaliber internasional yang lugu "dijual" lewat gurita kapitalisme liberal di dunia scence semacam Scopus (Web of Science) atau Thompson and Reuters misalnya. Mengapa kita tidak menginvestasikan dana yang cukup untuk membangun Pusat Data Digital Nasional yang terus menerus mengembangkan ilmu dan teknologi berkearifan lokal, serta kebudayaan nusantara demi mendorong Indonesia jadi pusat peradaban?

Belum lagi penempatan guru dan dosen menjadi “buruh” industri pendidikan. Tugas administrative yang diberikan kepada guru dan dosen menghabiskan waktu yang sebaiknya digunakan untuk mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran. Ditambah minimnya penghasilan guru dan dosen, apalagi guru-guru honorer, jika dibandingkan dengan profesi lain. Mereka adalah ujung tombak pendidikan yang sewajarnya dihargai secara layak.

Oleh karena itu, yang perlu dijadikan usulan adalah membasiskan pendidikan kembali ke  Pancasila yang konsekuensinya;

1.    Menempatkan agama sebagai perwujudan sila pertama sebagai hal penting. Pada pendidikan tinggi, agama tidak semata dijadikan mata kuliah senilai 2 sks, namun perlu perombakan holistis pada seluruh mata kuliah. Pengembangan pendidikan berbasis pesantren perlu dikaji dan dikembangkan baik di departemen pendidikan dan kebudayaan, riset dikti atau keagamaan.

2.    Merombak mindset pendidik dan peserta didik tentang kedaulatan Indonesia dengan konsekuensi menumbuhkan riset berbasis lokalitas yang akan menumbuhkan kreativitas penciptaan teknologi tepat guna. Perombakan ini akan berdampak pula pada kemerdekaan pendidikan dari jerat kapitalis industri pendidikan seperti publikasi ilmiah pada Scopus dan sejenisnya.

3.    Menghargai tenaga pendidik dengan penghargaan finansial maupun non-finansial sewajarnya, termasuk memperhatikan kesejahteraan guru honorer.

4.    Menempatkan pendidikan untuk bangsa yang berdaulat mengarusutamakan basis budaya berakhlak untuk memperkuat persatuan Indonesia. Artinya, individualism yang kini menjadi nilai mendasar pendidikan harus dikonstruksi menjadi nilai dan semangat kekeluargaan/gotong royong/welas asih.

Sudah saatnya kita menerjemahkan secara praksis bangsa Indonesia sebagai ide melalui revolusi kebudayaan. Revolusi kebudayaan dilakukan melalui kesadaran kebangsaan sebagai rakyat Indonesia.

Negeri yang didiami dan dikreasi oleh rakyat Indonesia secara kontekstual sesuai nilai utama kebangsaan, Pancasila, dan dengan itu kita dapat terkoneksi dengan nilai universal sebagaimana disebutkan sustainable development goals dari United Nations. Bukan sebaliknya. Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, sebagaimana dikatakan Sang Proklamator, Soekarno. Melupakan sejarah sama saja dengan melupakan kebudayaan bangsa.
 

img
Aji Dedi Mulawarman
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan