Jokdri dan revolusi PSSI
Plt Ketum PSSI Joko Driyono (Jokdri) ditetapkan sebagai tersangka oleh Satgas Antimafia Bola Polri. Jokdri diduga sebagai aktor intelektual yang menyuruh dan memerintahkan tiga orang melakukan pencurian dan perusakan police line, masuk rumah tanpa izin, ambil laptop, dokumen-dokumen, dan barbuk untuk mengungkap match fixing.
Sebelumnya enam orang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Paling awal adalah Johar Lin Eng, Dwi Irianto, Priyanto dan Anik Yuni Artikasari. Selanjutnya tiga orang yang diduga sebagai suruhan Jokdri yaitu Musmuliadi, Dani dan Abdul Gofur.
Penetapan tersangka ini menjadi momentum baik bagi pemberantasan mafia sepak bola. PSSI juga perlu melakukan KLB guna merevolusi pengelolaan sepak bola.
Catatan kasus
Sepak bola adalah olah raga terpopuler sejagad. Putaran ekonominya juga terbesar. Manajemennya sudah masuk pada industri. Efek industri semakin meningkatkan profesionalisme dan dampak ekonomi bagi pemain, pelatih, klub, dan lainnya. Namun, muncul dilema yang menjebak. Salah satunya adalah hadirnya hantu mafia sepak bola yang berkuasa mengatur skor pertandingan.
Pembentukan satgas menjadi angin segar bagi pemberantasan mafia sepak bola. Di sisi lain, muncul kekhawatiran timbulnya pusaran baru di balik penegakan hukum dan celah adanya intervensi. Pencegahan tentunya perlu dikedepankan.
Stakeholder persepakbolaan di bawah manajemen PSSI mesti menjadi garda terdepannya. Tanpa itu, kehadiran satgas dan pemberantasan sepak bola akan jauh panggang dari api.
Kasus demi kasus terus menyesaki persepakbolaan negeri ini. Tidak hanya datang silih berganti, tetapi terus menumpuk dan menjadi bom waktu. Salah satunya terkait pengaturan skor.
Pengaturan skor sebenarnya bukanlah isu baru dalam dunia sepak bola, termasuk di Indonesia. Suryo (2018) memaparkan bahwa sepak bola Indonesia rentan terhadap pengaturan skor dikarenakan industri sepak bola Indonesia yang tidak sehat secara finansial. Kondisi ini menjadi sasaran empuk para bandar judi.
Kasus pengaturan skor sudah hadir sejak 1950-an. Judi sepak bola kala itu dilegalkan, bahkan dikelola negara. Adalah Ramang, pemain Timnas dan PSM Makassar yang legendaris pernah terlibat. Pada 1961, tepatnya dalam Kejurnas PSSI 1961 (Perserikatan), Ramang mendapatkan sanksi larangan bertanding sumur hidup. Ia terlibat dalam pengaturan skor.
Selanjutnya jelang Asian Games 1962 badai pengaturan skor menerjang Timnas. Tidak tanggung-tanggung, ada 18 pemain timnas yang terlibat. Empat pertandingan Timnas diduga diatur oleh para penjudi. Antara lain saat timnas bertanding melawan Malmoe, Yugoslavia Selection, Thailand, dan Petrorul Tjeko Combined.
Era berikutnya dalam kurun waktu 1979-1994, judi bola dan pengaturan skor mendapatkan surganya di kompetisi Galatama. Galatama menjadi lahan basah bagi para penjudi. Perjalanan perdana Galatama baru sekitar tiga bulan, Perkesa 78, salah satu peserta Galatama, sudah terlibat kasus suap.
Kasus suap juga menerpa Warna Agung, salah satu klub penggagas Galatama yang berhasil menjadi juara edisi pertama. Bahkan karena suap, Warna Agung beberapa waktu kemudian dibubarkan. Pada tahun 1982, Kaslan Rosidi, bos klub Cahaya Kita, juga pernah menskors 10 pemainnya yang terlibat dalam kasus suap.
PSSI kala itu sebenarnya telah bertindak. Pada 1984 dibentuk Tim Antisuap yang dipimpin langsung Acub Zainal, penggagas Galatama. Namun karena tugas yang sangat terbatas, tim ini tidak mampu bekerja secara maksimal.
Baru-baru ini isu pengaturan skor kembali menghebohkan publik saat acara Mata Najwa. Salah satu narasumber, Bambang Suryo, membocorkan kasus pengaturan skor di Liga Indonesia. Suryo memperlihatkan buku catatan yang berisikan daftar runner dan sub-runner yang aktif berkegiatan pada 2011-2015. Ia bahkan termasuk tercatat dalam buku tersebut, karena memang dia adalah mantan runner pengaturan skor di Liga Indonesia. Empat pelatih klub dituding ikut terlibat sebagai pelaku.
Polri kini tengah menyelidiki dugaan pengaturan skor pertandingan sepak bola Liga Indonesia pada musim 2013-2017. Polisi melakukan penyelidikan untuk mendapatkan bukti-bukti baru kasus pengaturan skor. Saksi-saksi telah dipanggil, seperti Sekjen PSSI Ratu Tisha Destria, Dirut PT Liga Indonesia Baru Berlington Siahaan, Manajer Madura FC Januar Hermanto, Sekjen BOPI Andreas Marbun, dan Ketua BOPI Richard Sambera. Selain itu juga dari pihak Kemenpora dan wasit.
PSSI menolak dianggap membiarkan mafia pertandingan. Beragam upaya yang disarankan FIFA diklaim telah dilakukan untuk mencegah dan mengawasi kecurangan. Misalnya bekerja sama dengan lembaga penyedia data olah raga asal Inggris, Genius Sports. Genius Sports mengumpulkan setiap data pertandingan, dari jumlah pelanggaran, kartu yang dikeluarkan wasit, hingga penalti. Data itu lantas dianalisis untuk mengendus pengaturan skor.
PSSI juga mengklaim telah menggelar pendidikan kilat antisuap bagi para wasit dan hakim garis. Pengurus PSSI dan pemilik klub pun wajib meneken pakta integritas terkait kewajiban menjunjung prinsip fair play. PSSI menanggapi agar dugaan pengaturan skor maupun keterlibatan pengurus PSSI untuk melapor ke Komisi Disiplin atau kepolisian.
Revolusi pemberantasan
Pembentukan dan kinerja satgas antimafia bola patut diapresiasi. Namun harus disadari kehadirannya bukanlah palugada yang bisa menyelesaikan permasalahan apalagi dalam waktu singkat. Alih-alih menghadirkan solusi penegakan, jangan sampai satgas justru membuat permasalahan baru yang menambah kompleksitas, seperti penilaian intervensi oleh FIFA.
Permasalahan sepak bola termasuk pengaturan skor tidak mungkin terselesaikan dengan pendekatan parsial dan reaktif. Peta jalan dan solusi komprehensif mesti ditempuh secara total. Tidak boleh ada kata toleransi bagi mafia.
Kepemimpinan dan manajerial di tubuh PSSI mesti direvolusi agar bisa memberikan keteladanan. PSSI harus membuktikan bersih, tegas dan profesional terlebih dahulu. Langkah-langkah nyata dan ekstrim penting ditunjukkan dan ditempuh sebagai jawaban atas kondisi darurat ini.
Hukum adalah panglima. Kehadiran peran kepolisian menjadi niscaya karena masuk dalam ranah pidana. Namun hal ini jangan membuka celah untuk masuknya intervensi ke dalam manajemen persepakbolaan. Kehadiran kepolisian mesti hanya sebatas penanganan tindak pidana tidak boleh terlalu dalam.
Polri penting berkonsentrasi membidik keterlibatan penjudi hingga mengungkap jaringan internasionalnya. Hal ini mengingat tidak mungkin dijangkau oleh PSSI.
Sebaliknya, Komdis PSSI penting menunjukkan taringnya. Paralel dengan penanganan kepolisian, maka Komdis mesti bertindak cepat dan taktis. Sanksi internal mesti ditegakkan guna memberikan efek jera. Tanpa pandang bulu. Pemenuhan aspek keadilan mesti menjadi pegangan.
Mencuatnya kembali isu pengaturan skor bukan tidak mungkin menjadi jalan menuntut pertanggungjawaban kepemimpinan eksisting PSSI. Langkah ksatria mundur yang ditunjukkan Edy mesti diikuti Jokdri. Jangan sampai kembali terjadi perseteruan manajemen di tubuh PSSI. Apalagi hingga mengundang kembali sanksi dari FIFA.
Sepak bola adalah olah raga rakyat. Ratusan juta rakyat menyorot setiap detik perjalanan sepakbola Indonesia. Rakyat sudah rindu prestasi dan frustasi melihat sengkarut permasalahan yang muncul. Isu pengaturan skor justru dapat menjadi pelecut bangkitnya sepak bola.
Semua tergantung niatan dan sikap bijak PSSI dan pemangku kepentingan sepak bola lainnya. Jika tidak bangkit, maka sepak bola kita rawan mengarah bangkrut. Haruskah butuh revolusi?!