Islam kultural dan politik kebangsaan: Refleksi harlah NU ke-94
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di dunia dengan anggota lebih dari 80 juta jiwa adalah aset penting bagi Indonesia. Bagaimana tidak? Sejak awal berdiri pada 31 Januari 1926 hingga tahun ini memasuki usia ke-94, NU tetap setia NKRI dan Pancasila dari segenap ancaman. Sebagai organisasi yang memayungi berbagai macam kepentingan, NU tentu tidak lepas dari dinamika. Pasang-surut disertai gelombang ombak adalah hal yang lumrah bagi organisasi sebesar NU.
Dalam perjalanannya, NU pernah menjadi partai politik, tepatnya dimulai pada 1952. Namun, kiprah NU menjadi partai politik itu ditentang banyak ulama dan kiai. Pada akhirnya, dorongan untuk kembali menjadi organisasi kemasyarakatan (jam’iyan diniyah ijtimaiyah) membuat NU hengkang dari panggung politik praktis. Pada Muktamar ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo pada1983, NU memutuskan untuk kembali ke khitah1926, yakni sebagai organisasi yang berorientasi pada keagamaan dan kemasyarakatan.
Meski tidak lagi menjadi parpol, NU sebenarnya tidak pernah benar-benar lepas dari hiruk-pikuk politik praktis. Sebagai organisasi dengan pengikut puluhan juta jiwa, NU selalu menjadi ceruk yang diperebutkan parpol maupun elite politisi. Menjadi wajar jika hubungan NU dan pemerintah acapkali mengalami pasang-surut. Di satu waktu, NU tampak menjaga jarak dengan kekuasaan, namun di saat yang lain, NU juga bisa mesra dengan kekuasaan.
Meski demikian, komitmen NU terhadap bangsa dan negara Indonesia tidak perlu diragukan. Sepanjang 92 tahun keberadaannya, NU tetap setia menjadi pelindung NKRI dan Pancasila. Setidaknya ada dua sumbangan penting NU bagi Indonesia, yakni di bidang keagamaan dan kebangsaan.
Islam inklusif dan ramah tradisi lokal
Dalam konteks keagamaan, NU selama ini menjadi pilar penyokong utama langgengnya Islam kultural, yakni Islam yang adaptif pada nilai-nilai tradisi, budaya dan kearifan lokal Indonesia. Seperti diketahui, sebelum kedatangan Islam Nusantara merupakan kawasan yang dikenal dengan kekayaan budaya dan tradisinya.
Dakwah Islam generasi awal di Indonesia yang dilakukan oleh para ulama dan pedagang asal Gujarat India pun dalam banyak hal tidak berupaya menghapus kekayaan budaya dan tradisi Nusantara tersebut. Bahkan, pertemuan antara Islam dan tradisi lokal Nusantara telah melahirkan akulturasi budaya yang memperkaya khazanah keislaman di Nusantara. Maka tidak mengherankan apabila corak Islam yang berkembang di Indonesia memiliki kekhasan yang berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah.
Akulturasi Islam dan budaya asli Nusantara itu bisa kita lihat dalam ritual-ritual keagamaan Islam yang nyaris tidak dikenal dalam tradisi fiqih Islam. Misalnya saja, tradisi “Sekaten” di Keraton Yogyakarta. "Sekaten" sendiri sebenarnya berasal dari kata “Syahadatain” yang bermakna dua kalimat syahadat. Praktik Islam kultural itu juga pada berbagai tradisi selametan di kalangan masyarakat Jawa yang merupakan perpaduan antara budaya lelulur Jawa dengan ajaran Islam.Corak Islam kultural ini tumbuh subur dan langgeng di kalangan Nahdliyin atau warga NU.
Di tengah berbagai tarikan gerakan Islam trans-nasional yang berkecenderungan intoleran dan radikal, Islam kultural merupakan benteng terakhir dari corak keberagamaan yang toleran, inklusif dan adaptif pada dinamika perbedaan pandangan agama. Ketimbang Islam trans-nasional yang cenderung ideologis-politis, Islam kultural lebih berorientasi pada nilai-nilai spiritualitas-humanistis. Yakni bagaimana nilai-nilai keagamaan berpengaruh pada terwujudnya nilai kemanusiaan.
Tanpa keberadaan NU, mustahil Islam model kultural ini akan langgeng sampai saat ini. Dan jika Islam kultural itu punah, bisa dipastikan dinamika Islam Indonesia akan tidak berbeda jauh dengan Timur Tengah yang sarat dengan konflik dan kekerasan. Maka, persenyawaan NU dan Islam kultural sebenarnya adalah anugerah bagi umat muslim di Indonesia. Tanpa banyak berakobrat secara politik, serta tanpa banyan mengumbar retorika, kalangan Nahdliyin selama ini tanpa pamrih merawat Islam kultural.
Namun demikian, NU tidak pula terjebak pada konsep tradisionalisme semata dan abai pada modernisme. Semangat dan karakter NU adalah terbuka dan adaptif pada segala hal baru. Salah satu adagium terkenal di lingkungan kiai, santri dan warga NU ialah “al muhafadhotu ila qodimis sholihwal akhdzu bil jadidil ashlah” yang artinya memelihara warisan tradisi yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Konsep mempertahankan tradisi sembari mengadaptasi hal yang baru ini, menjadikan NU mampu bertahan di tengah arus modernisasi yang melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia pada awal abad ke-19. Maka, meski kerap diidentikkan sebagai ormas tradisional, pengikutnya kerap disebut kaum sarungan, pada dasarnya NU sangat adaptif pada agenda-agenda modernisasi.
Seperti dapat dilihat, hari ini NU banyak melahirkan generasi yang menyebar di berbagai bidang keilmuan dan profesi. Tidak hanya itu, isu dan wacana keilmuan yang berkembang di NU pun tidak hanya berkutat di wailayah fikih, tasawuf, kalam dan filsafat, namun merambah ke isu-isu civic values seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, demokrasi, pluralisme agama, civil society dan sejenisnya.
Politik tingkat tinggi
Selain menjadi penyokong Islam kultural, sumbangan penting lainnya dari NU ialah komitmennya mempraktikkan politik kebangsaan. Sejak memutuskan ke luar dari gelanggang politik praktis dan sepenuhnya menjadi ormas sebagaimana termaktub dalam komitmen “kembali ke khittah 1926”, NU sampai hari ini masih setia menjadi penjaga gawang NKRI dari perpecahan akibat politik praktis.
NU memang tidak sepenuhnya lepas dari percaturan politik, lantaran sejumlah elite berusaha menarik NU ke dalam kontestasi elektoral. Namun demikian, NU selalu teguh memegang prinsip politik kebangsaan. Politik kebangsaan ialah bagian dari high politics alias politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah sam’iyah), yakni corak politik yang tidak lagi berorientasi pada pencapaian kekuasaan semata, namun lebih pada bagaimana politik mampu berkontribusi pada agenda kebangsaan.
Politik kebangsaan berusaha melampaui kecenderungan politik rendahan (low politics/siyasah safilah) yakni politik partisan yang potensial melahirkan polarisasi sosial. Oleh karena itu, NU dalam setiap perhelatan politik tidak pernah mendikte warganya untuk memilih partai atau elite tertentu. Jika pun itu dilakukan oleh NU struktural (pengurus formal NU), kalangan NU kultural (pengikut NU non-pengurus) acapkali memiliki pandangan dan sikap yang berbeda. Dinamika demokrasi yang demikian itu sudah menjadi bagian dari perjalanan NU hingga usia ke-94 tahun ini.
Idealisme politik kebangsaan ini penting terutama dalam konteks politik nasional mutakhir yang dipenuhi oleh fenomena ujaran kebencian, hoaks, dan fitnah yang dibalut sentimen politik identitas. Seperti dapat dilihat selama lima tahun belakangan ini, politik kita melahirkan segregasi sosial yang begitu tajam. Masyarakat terpecah menjadi dua kelompok besar yang saling berseberangan hanya karena perbedaan pilihan dan afiliasi politik.Di level akar rumput, warga NU dengan kerja-kerja kebudayannya selama ini berupaya sekuat tenaga mencairkan polarisasi tersebut serta mengajak masyarakat untuk mempraktikkan politik kebangsaan, corak politik yang aktif, namun kritis.
Arkian, di usia ke-94 tahun ini NU terus menerus berkembang, mengalami dinamika dan menghadapi tantangan zaman yang kompleks. Apalagi dengan adanya gelombang revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang berpengaruh pada aspek keagamaan. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telahmelatari terjadinya pergeseran otoritas keagamaan. Lembaga keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan lain sebagainya mulai kehilangan otoritasnya digantikan oleh kemunculan sosok baru yang populer. Menghadapi realitas ini, NU tentu harus beradaptasi agar tetap relevan dengan semangat zaman (zeitgeist) dan berkontribusi nyata pada wacana keagamaan dan kebangsaan.