Indonesia sebagai ‘pemecah masalah’ di Myanmar
Kudeta militer di Myanmar menjadi batu ujian bagi sentralitas ASEAN, khususnya menyangkut komitmen organisasi itu membentuk komunitas keamanan yang melandaskan pada prinsip demokrasi dan HAM.
Kenyataannya, ASEAN tidak menunjukkan soliditas layaknya sebuah komunitas. Alih-alih, opini negara anggota justru terpecah menyikapi peristiwa kudeta itu. Ada yang abstain seperti Brunei, Vietnam, dan Laos. Ada yang memilih tidak mau ikut campur seperti Thailand, Filipina, dan Kamboja. Namun ada pula yang menunjukkan keprihatinan seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia.
Di antara anggota ASEAN lainnya, sikap Indonesia tampak lebih menonjol. Buktinya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melakukan ‘diplomasi ulang-alik’ (shuttle diplomacy) untuk membantu memecahkan masalah di Myanmar. Menlu Retno telah berkunjung ke Brunei, Singapura, dan Thailand dalam rangka mencari kesatuan pandangan terkait masalah kudeta itu.
Di Thailand, Retno bertemu Menlu Myanmar U Wunna Maung Lwin dan menekankan pentingnya menjamin ‘keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar’. Menlu juga membahas masalah ini dengan pihak-pihak di luar ASEAN seperti AS dan PBB.
Identitas peran Indonesia
Berusaha menjadi pemecah masalah sepertinya sudah merupakan DNA politik luar negeri Indonesia. Hal itu tak lepas dari prinsip bebas-aktif yang diadopsi Indonesia. Prinsip ‘aktif’ mengisyaratkan bahwa Indonesia berkewajiban mendukung terwujudnya perdamaian dunia.
Mohammad Hatta, tokoh di balik prinsip ini, menyatakan bahwa prinsip ‘aktif’ berarti usaha sungguh-sungguh untuk menjaga perdamaian (Hatta, 1953: 444). Komitmen terhadap perdamaian ini juga termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea-4 bahwa Indonesia ‘ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial’.
Komitmen ini mencerminkan identitas Indonesia sebagai ‘pencipta perdamaian’ (peacemaker) sekaligus ‘pemecah masalah’ (problem-solver). KJ Holsti, ilmuwan hubungan internasional mencetuskan istilah ‘konsepsi peran nasional’ (national role conception), yaitu konsepsi pembuat kebijakan mengenai orientasi dan tugas [suatu negara] di lingkungan internasional (Holsti, 1970: 245).
Politik luar negeri negara-negara di dunia kerapkali dimotivasi oleh bagaimana negara bersangkutan memahami siapa dirinya. Oleh sebab itu, begitu Indonesia menyadari jati dirinya sebagai ‘pemecah masalah’ maka secara otomatis identitas itu akan menuntun perilaku Indonesia di kancah internasional.
Kesadaran tentang jati diri Indonesia ini kerap muncul ke muka publik melalui pernyataan resmi pemerintah. Sebagai contoh, pada pidato tahunan 2019, Menlu Retno mengatakan ‘Indonesia always wants to be part of solution’ yang mengisyaratkan identitas peran Indonesia sebagai ‘pemecah masalah’. Presiden Jokowi juga menyinggung soal peran ini dalam pidatonya di Sidang Umum PBB ke-75 tahun 2020 bahwa ‘Indonesia akan terus memainkan peran sebagai Bridge Builder sebagai bagian dari solusi’. Meskipun berbeda istilah, peran sebagai ‘peacemaker’, ‘problem solver’, dan ‘bridge builder’ sama-sama berimplikasi pada komitmen untuk mendorong perdamaian di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Karena sudah menjadi DNA politik luar negeri Indonesia, aksi cepat tanggap menyikapi isu-isu regional bukan fenomena baru. Sejak dibentuk ASEAN pada 8 Agustus 1967, politik luar negeri Indonesia di kawasan mengusung misi ‘menjaga stabilitas keamanan regional’ (Suryadinata, 1998).
Di era Suharto, Indonesia terlibat dalam pemecahan masalah di kawasan seperti menengahi konflik antara Vietnam dan Kamboja melalui forum Jakarta Informal Meeting (JIM) tahun 1988-1989. Menurut Suharto seperti dikutip dalam otobiografinya, Indonesia turut bertanggung jawab atas terpeliharanya perdamaian, stabilitas dan keamanan di kawasan (Dwipayana dan Hadimadja, 1989: 521).
Di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) khususnya di periode kedua (2009-2014), peran aktif Indonesia di kawasan semakin menonjol. Di antaranya adalah menengahi konflik antara Thailand dan Kamboja dalam sengketa kuil Preah Vihear pada 2008, diplomasi ulang-alik Menlu Marty Natalegawa menyatukan pandangan ASEAN mengenai Code of Conduct (COC) Laut China Selatan 2011, dan pemberian bantuan kemanusiaan kepada etnis Rohingya pada 2013. Menurut pendapat pakar, di era SBY Indonesia telah menjalankan perannya di ASEAN sebagai ‘manajer krisis’ dan ‘mediator konflik’ (Roberts dan Widyaningsih, 2015: 277).
Prinsip nonintervensi
Peran aktif Indonesia di Myanmar lantas menyisakan pertanyaan, apakah usaha Indonesia memecahkan masalah kudeta di Myanmar melanggar norma nonintervensi yang diadopsi ASEAN? Secara sekilas, apa yang dilakukan Menlu Retno dengan memengaruhi pembuat kebijakan Myanmar adalah bentuk dari campur tangan urusan domestik negara lain.
Namun, langkah Indonesia mendorong pemerintah Myanmar untuk menghormati demokrasi dan HAM harus dibaca dalam bingkai regionalisme dan bukan isu domestik belaka. Artinya, kudeta militer di Myanmar adalah isu kolektif ASEAN karena negara anggotanya sudah berkomitmen untuk menjadikan demokrasi dan HAM sebagai salah satu norma dasar pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN.
Dengan demikian, langkah proaktif Indonesia bertujuan untuk menjaga harmonisasi kawasan dengan meminta negara anggota untuk ‘kembali ke jalan yang benar’. Ini tentu berbeda dengan kebijakan negara-negara Barat yang cenderung memakai pendekatan koersif seperti sanksi ekonomi atau minimal kecaman atas langkah inkonstitusional pihak militer (Tatmadaw). Sikap Barat jelas dalam hal ini yaitu mendukung hasil pemilu dan kelompok prodemokrasi Myanmar.
Kontras dengan itu, Indonesia memilih bersikap hati-hati dengan tetap menjaga netralitas dan tidak menunjukkan tendensi mendukung salah satu pihak. Itulah sebabnya Kementerian Luar Negeri menyangkal tuduhan bahwa Indonesia mendukung pihak militer dengan meminta diadakan pemilu ulang. Kepentingan Indonesia lebih pada menjaga ekosistem kawasan yang damai karena kudeta itu mengganggu stabilitas keamanan. Di samping itu, Indonesia khawatir jika tidak segera diselesaikan masalah tersebut akan mengundang campur tangan lebih jauh dari negara-negara di luar ASEAN.
Prinsip nonintervensi merupakan batu sandungan terbesar hubungan internasional di ASEAN. Kasus di Myanmar itu menciptakan dilema bagi Indonesia sebagai primus inter pares yang memikul tanggung jawab besar di kawasan. Diplomasi yang hati-hati (prudence) sangat diperlukan agar tidak mengorbankan prinsip ‘kebijakan bertetangga yang baik’ (good neighborhood policy). Untuk itu, Indonesia harus tetap konsisten menjalankan ‘diplomasi lunak’ (soft diplomacy) serta tidak tergoda mendukung salah satu pihak.