Cara pengelolaan stress belum banyak dibicarakan
Beberapa waktu terakhir, dunia baru saja dihebohkan oleh wafatnya dua selebrita dunia, Anthony Bourdain dan Kate Spade. Keduanya mengakhiri hidupnya sendiri dengan bunuh diri. Kedua peristiwa ini terjadi dalam waktu yang berdekatan. Tahun-tahun sebelumnya, ada artis dan tokoh-tokoh lain yang juga melakukan hal yang sama.
Terlepas dari sifat tragis kejadian bunuh diri ini, ternyata, dampak sosial yang dipicu kematian keduanya bisa dibilang merupakan berkah terselubung (blessing in disguise). Kita bisa menyaksikan munculnya gelombang kesadaran tentang kesehatan mental di berbagai belahan bumi.
Kita, warga dunia, seperti terhenyak berjamaah melihat mereka yang memiliki hidup impian banyak orang, ternyata memendam masalah psikologis yang berat dan memutuskan menyudahi kehidupan mereka sendiri.
Kesadaran Kesehatan Mental Marak di Media Sosial
Di Indonesia sendiri, marak bermunculan sejumlah infografis tentang depresi dan bunuh diri. Infografis-infografis ini disebarkan di media online maupun media sosial dan mendapat tanggapan positif dari warga net. Di dalamnya ada informasi tentang bagaimana tindakan bila mendapati orang yang menunjukkan tanda-tanda depresi, keinginan bunuh diri dan terlihat menarik diri dari orang lain. Selain itu, dipaparkan juga di dalamnya tentang apa yang harus Anda lakukan bila Anda sendiri yang mengalaminya.
Penyebaran informasi tentang depresi dan bunuh diri ini ternyata cukup berhasil menarik minat banyak orang dan viral di berbagai media sosial. Saya tidak secara khusus membuat perhitungan statistik tentang engagement konten tersebut. Saya hanya mengamati bagaimana warganet sigap membagikan infografis atau artikel yang berisi tentang hal tersebut di atas.
Ini tentu menggembirakan buat saya sebagai pegiat psikoedukasi. Semakin banyak kanal edukasi publik tentang depresi dan bunuh diri, semakin mudah upaya-upaya pencegahan fenomena ini.
Perhatikan Stress!
Perkembangan kesadaran tentang depresi dan bunuh diri ini adalah hal posisif. Namun, sayangnya trend ini baru terfokus pada spektrum kesehatan mental yang terbatas pada dua isu tersebut. Belum banyak yang menyasar isu yang lebih umum dan dirasakan oleh semua orang, yaitu stress.
Siapa pun pernah mengalami stress. Ada yang berhasil mengatasinya dan banyak juga yang tidak efektif menghadapinya. Sayangnya, pengelolaan stress tidak banyak menjadi pembicaraan khusus di tengah-tengah masyarakat.
Padahal, stress dapat menjadi awal dari masalah kesehatan mental yang lebih serius. Bahkan, bukan hanya itu, stress pun seringkali berperan di balik berbagai keluhan kesehatan fisik. Ada sebuah studi di Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa 75%-90% pasien yang datang ke dokter, mengeluhkan gejala medis yang ternyata terkait dengan stress.
Stress sendiri biasanya didefinisikan sebagai respons fisik dan psikologis terhadap tekanan atau perubahan yang mengusik/menggugah, dalam situasi atau peristiwa yang dihadapi seseorang. Sumber tekanan dan perubahan disebut sebagai stressor. Stressor dapat berupa perubahan di lingkungan fisik, di dalam tubuh, di lingkungan sosial, dan di aspek psikologis seseorang.
Sementara itu, hal-hal yang menjadi stressor bagi seseorang, belum tentu menjadi stressor bagi orang lain. Setiap jalan hidup memiliki pola-pola stressor-nya sendiri. Itulah mengapa kita tidak bisa begitu saja membandingkan apa yang kita anggap sebagai sumber stress dan apa yang orang seperti Kate dan Anthony hayati sebagai tekanan kehidupan.
Meski sumbernya berbeda, bila stress sudah terbentuk, maka dampaknya bisa sama. Karena stress begitu umum terjadi, seringkali terjadi banalitas atau pengabaian. Akibatnya, pengelolaan stress menjadi tidak efektif. Banyak orang baru tersentak ketika menemui kenyataan bahwa stress yang dialaminya sudah menumpuk, tanpa disadari.
Dipengaruhi juga oleh faktor-faktor bawaan biologis, stress bisa memicu berbagai tipe gangguan jiwa. Sebagian orang mungkin akan menjadi depresi atau mengidap gangguan kecemasan. Sebagian lagi mengembangkan gejala-gejala kelompok gangguan psikotis (yaitu ketika seseorang tidak bisa membedakan kenyataan dan khayalan). Ada juga yang mengalami gangguan kecemasan atau “sekedar” penurunan kemampuan berpikir yang drastis.
Dampak Stress
Sebagaimana telah disebutkan di atas, stress menjadi faktor yang berkontribusi langsung maupun tidak langsung pada penyakit fisik. Pada umumnya, kebutuhan energi seseorang untuk merespons tekanan kehidupan yang besar sangat tinggi. Serapan energi yang tinggi ini dapat mengganggu kebutuhan energi di sistem kekebalan tubuh dan sistem biologis lainnya.
Akibatnya, kita jadi lebih mudah terserang penyakit yang disebabkan agen dari luar (virus, bakteri, jamur, dan lain-lain). Selain itu, stress yang berulang kali juga menyebabkan peradangan pada sel. Peradangan ini meningkatkan risiko berbagai penyakit dari mulai penuaan dini, penyakit jantung, diabetes sampai infeksi saluran kencing.
Bukan hanya itu, perubahan perilaku yang dipengaruhi oleh besarnya tekanan kehidupan membuat stress berkontribusi tidak langsung pada kesehatan. Sebagai contoh, perubahan pola makan. Stress membuat tubuh seseorang “menuntut” asupan gula dan lemak yang bila dikonsumsi berlebihan bisa menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan.
Di samping itu, kualitas kehidupan dan kinerja seeorang di tempat kerja atau di sekolah pun bisa terpengaruh. Stress memicu penurunan ingatan dan kendali emosi serta komunikasi. Hal ini bisa memperburuk urusan sehari-hari yang sering harus melibatkan orang lain dan tugas-tugas membutuhkan performa kognitif/pikiran prima.
Oleh karena berbagai dampak buruk yang ditimbulkan, setiap orang perlu membangun ketangguhan atau resiliensi dalam menghadapi stress. Penanganan terhadap stress yang dilakukan baik dengan bantuan profesional (psikolog dan atau psikiater) maupun dilakukan secara mandiri terbukti dapat mencegah gangguan jiwa dan gangguan medis yang lebih sulit pemulihannya.