close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Jumat, 08 Maret 2019 22:11

Bonus demografi dan kesempatan kerja

Publik tentu menunggu apa dan bagaimaan visi, misi dan solusi kemelut ketenagakerjaan di tanah air untuk lima tahun mendatang
swipe

Isu ketenagakerjaan menjadi tema yang akan dibahas disamping pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya, dalam rangkaian debat ketiga pada 17 Maret yang rencananya disampaikan cawapres urutan 01 dan 02.

Publik tentu menunggu apa dan bagaimana visi, misi, dan solusi kemelut ketenagakerjaan di tanah air untuk lima tahun mendatang, di tengah hangatnya polemik Tenaga Kerja Asing (TKA). Menarik untuk dikaji mengingat Indonesia tengah mengalami booming bonus demografi. 

Indikasinya terekam semakin meningkatnya jumlah penduduk usia produktif (17-60 tahun) dan menurunnya tingkat penuaan penduduk (aging society). Pengertian bonus demografi secara ekonomis dimaknai sebagai penduduk produktif yang menjadi inti penggerak kehidupan ekonomi suatu negara.

Jumlah penduduk usia produktif Indonesia mencapai 62% dari populasi 265 juta di 2018. Jumlah tersebut mengalami tren kenaikan 10% setiap tahunnya hingga mencapai puncaknya pada 2035. 

Keuntungan ekonomis bonus demografi merujuk pada semakin besarnya jumlah tabungan dari penduduk produktif sehingga dapat memacu investasi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak anggota rumah tangga yang bekerja dan semakin sedikit anggota rumah tangga yang ditanggung dan akan menciptakan kelebihan pendapatan yang dapat disimpan sebagai tabungan. 

Kondisi ini jadi kesempatan masyarakat bisa lebih banyak menabung, sehingga agregat tabungan di atas tingkat konsumsinya. Dengan demikian, rumah tangga memiliki potensi membuka suatu usaha yang akan memberi lapangan kerja untuk banyak orang, sehingga perlahan angka kesempatan kerja akan meningkat.

Bonus demografi diukur dengan statistik rasio ketergantungan (dependency rasio). Dengan membandingkan antara jumlah penduduk usia sekolah (15 tahun ke bawah) dan penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas) terhadap jumlah penduduk yang berusia produktif. Rasio ketergantungan di bawah 50% menunjukkan telah dimulainya babak bonus demografi.

Rasio angka ketergantungan Indonesia 2018  (47,9%), lebih rendah dari tahun sebelumnya (48,1%) dan turun dari 2010 (50,5%). Artinya, semakin rendah angka ketergantungan, maka bonus demografi mengalami peningkatan.

Sementara itu, laporan PBB (UNFPA, 2013), memprediksi angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus menurun sampai 2020. Jumlah angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 mencapai 70%. Dan sisanya 30% penduduk nonproduktif (di bawah 15 dan di atas 65 tahun). 

Fenomena transisi demografi diyakini erat kaitannya dengan produktivitas tenaga kerja. Lembaga Demografi FEB UI, memproyeksikan angkatan kerja Indonesia 2005 sekitar 106,8 juta, meningkat menjadi 148,5 juta pada 2025. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki bonus demografi yang bertolok ukur pada skema dasar tatanan ketenagakerjaan yang kini menjadi permasalahan serius negara berkembang.

Bonus demografi bisa bermakna pedang bermata dua. Satu sisi berpeluang menguntungkan bagi pembangunan (windows of opportunity), bila penduduknya berkualitas dan terserap pasar dengan baik. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat meningkat secara keseluruhan. Namun, apabila negara gagal melakukan investasi sumber daya melalui sistem pendidikan yang bermutu, penyediaan lapangan kerja, keahlian, kesehatan memburuk dan produktivias rendah maka bisa berbalik menjadi bumerang (windows of disaster). Hal tersebut menyebabkan tingkat pengangguran akan naik.

Tantangan ketenagakerjaan ke depan tidaklah ringan. World Economic Forum menyebutkan era industri 4.0 akan ada beberapa jenis pekerjaan yang tergantikan. Disrupsi yang diakibatkan oleh digitalisasi membuat beberapa posisi pekerjaan terancam hilang. Ada 75 juta pekerjaan sekarang dapat digantikan oleh pergeseran dan pembagian kerja antara manusia, mesin, dan algoritma. Sementara saat bersamaan ada 133 juta pekerjaan baru akan muncul.

Angka ketenagakerjaan    

Angka statistik mencatat jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta, naik 2,39 juta orang dibanding Februari 2017. Penduduk yang bekerja 127,07 juta orang, bertambah 2,53 juta dibanding Februari 2017. Tingkat kemiskinan 9,82% (25,95 juta) pada Maret 2018. 

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2018 berjumlah 6,87 juta (5,13%). Menurut tingkat pendidikan, pengangguran tamatan SMK tertinggi (8,92%). Pendidikan SD ke bawah (2,67%), SMP (5,18%), Universitas (6,31%), SMA (7,19%), dan Diploma (7,92%).

Kualitas sumber daya manusia Indonesia juga masih rendah. Hal ini terindikasi dari data Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (IPM/HDI). PBB mencatat April 2017, posisi Indonesia di peringkat 113, turun dari posisi 110 tahun 2014 dari 188 Negara. Di Asean IPM Indonesia masih terseok-seok di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

Gambaran peringkat IPM ini menunjukkan kurang kompetitifnya tenaga kerja Indonesia dalam ataupun luar negeri. Tidak heran kalau angka pekerja tidak terlatih (unskilled labor) masih tinggi. Tergambar dari banyaknya TKW/TKI yang bekerja di luar sebagai pembantu rumah tangga.

Upaya ‘memetik’ bonus demografi, selain menggenjot pertumbuhan ekonomi, harus memperhatikan aspek pemerataan pendapatan dan kesejahteraan. Angka ketimpangan (rasio gini) Indonesia di 0,384 September 2018. Sementara konsentrasi 70% penduduk masih sekitar Pulau Jawa. 

Perbaikan simultan

Prasyarat yang harus dipenuhi suatu negara apabila ingin memanen bonus demografi. Pertama, SDM harus berkualitas. Masyarakat berkualitas dapat meningkatkan pendapatan per kapita. Kedua, terserapnya tenaga kerja. Dengan banyak dibutuhkannya tenaga kerja, maka pengangguran berkurang dan kesejahteraan akan meningkat. Ketiga, meningkatnya tabungan rumah tangga. 

Guna mencapai taraf tersebut, diperlukan intervensi konkret pemerintah sebagai agen pembangunan untuk menyiapkan sektor usaha yang sesuai dengan penambahan jumlah pekerja usia produktif. Pemerintah juga perlu investasi dana cukup untuk  pengembangan SDM melalui pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan penguasaan iptek.

Apalagi ada kesan pemerintah belum sepenuhnya mengeksplorasi fenomena bonus demografi secara komprehensif melalui produk kebijakan afirmatif. Terkesan mengabaikan kemunculan bonus demografi yang hanya terjadi setiap 100 tahun ini. 

Selanjutnya, reorientasi kurikulum pendidikan. Sekolah/universitas sebagai ‘pencetak’ SDM perlu menyesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi dan dunia usaha. Kurikulum pendidikan kita hanya mempersiapkan pelajar/mahasiswa untuk kelak menjadi karyawan, bukan pengusaha yang bisa membuka peluang usaha baru.  Padahal untuk menuju negara maju, butuh 14% penduduk usia produktif yang menjadi pengusaha. Indonesia baru 3,1% dari populasi yang berwirausaha, sehingga perlu peningkatan.

Kemudian semua stakeholder termasuk pemerintah, harus serius memanfaatkan momen emas ini dengan meningkatkan kualitas SDM melalui program pendidikan terampil yang siap pakai (terutama bidang teknologi informasi), program pelatihan pekerja, dan perluasan jangkauan pendidikan. Semua ini memerlukan iklim investasi dan birokrasi yang kondusif untuk membuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat. 

Perlu memfokuskan pembangunan agro industri dan industri dasar sebagai penopang aktivitas perekonomian. Melakukan pengalihan dana investasi dari sektor konsumtif ke sektor produktif terutama industri padat karya. Memperkecil jurang pendapatan kaya dan miskin dengan pemerataan kue pembangunan.

img
Joojo
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan