close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi demografi. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi demografi. Foto Freepik.
Bisnis
Selasa, 02 Juli 2024 18:03

Bisakah RI lepas dari jerat negara berpenghasilan menengah?

Puncak bonus demografi yang menjadi peluang bangsa menuju negara maju sudah terlewati.
swipe

Perjalanan Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) menjadi negara maju (high income country) tak mudah. Puncak bonus demografi yang menjadi peluang bangsa menuju negara maju sudah terlewati.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengatakan puncak era bonus demografi sudah terjadi pada 2020 atau lebih dini dari prediksi semula di 2035. Penurunan rata-rata angka kelahiran atau TFR yang terjadi lebih cepat menjadi salah satu penyebabnya. 

"Dugaan kita sebelumnya, target TFR sebesar 2,1 (rata-rata kelahiran 2,1 anak per perempuan) yang baru akan terjadi pada 2024 ternyata sudah terjadi pada 2020. Akibatnya, jumlah penduduk usia kurang dari 14 tahun turun drastis, sedangkan jumlah orang lansia meningkat," kata Hasto, dikutip Kompas.id, Jumat (28/6).

Akibatnya, jumlah angkatan kerja menjadi terbatas. Usia pekerja atau working age setelah tahun 2020 semakin berkurang.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah mengatakan periode bonus demografi harus dibarengi dengan tersedianya lapangan pekerjaan agar tidak terjadi bencana. Pasalnya, angkatan kerja yang banyak menganggur akan menaikkan angka kriminalitas. 

Apalagi, posisi Indonesia saat ini berada sedikit di atas batas negara berpendapatan menengah-atas atau upper middle income countries. Per tahun 2022, pendapatan nasional bruto alias Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia mencapai US$4.580, sedangkan batas bawah upper middle US$4.466 dan batas bawah high income countries US$13.846.

Untuk itu, menurutnya, perlu kerja keras tiga kal lipat guna meningkatkan GNI per kapita agar keluar dari jebakan kelas menengah.

“Sekarang sekitar US$4.000 per kapita, sementara negara maju US$12.000 per kapita artinya perlu tiga kali lipat, output kita itu harus tiga kali lipat untuk mengejarnya,” katanya kepada Alinea.id, Sabtu (29/6).

Kendati demikian, lapangan pekerjaan bukan perkara mudah lantaran bisa diciptakan ketika pertumbuhan ekonomi dalam negeri tinggi. Di sisi lain, untuk mencapai ekonomi tinggi dibutuhkan tenaga pekerja dan lapangannya.

“Makanya kata kuncinya di investasi. Dengan begitu bisa membuka lapangan kerja yang cukup kepada anak-anak, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan nantinya menciptakan lapangan kerja yang lebih tinggi lagi," ujarnya.

Harus ngebut

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian mengatakan Indonesia tidak punya banyak waktu untuk mengejar agar keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah. Idealnya, Indonesia sudah berada di level negara maju dalam waktu kurang dari 14 tahun. 

Studi Felipe (2012) menunjukkan rata-rata suatu negara keluar dari middle income trap dalam waktu 42 tahun.

“Indonesia sudah masuk middle income sejak 1996,” katanya kepada Alinea.id, Minggu (30/6).

Namun, saat ini masih banyak tantangan seperti turunnya penciptaan lapangan kerja sektor formal. Angkatan kerja lebih banyak bergerak di sektor informal dengan upah relatif lebih rendah ketimbang sektor formal. 

Kondisi ini menunjukkan industri yang dibangun, ketenagakerjaan, dan kurikulum pendidikan tidak sejalan. Arah pengembangan industri kurang terarah akibat kebijakan dan konflik kepentingan.

Menurutnya, butuh kebijakan ketenagakerjaan yang komprehensif. Perlunya revitalisasi dan pembenahan sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap perekonomian dan menyerap banyak tenaga kerja seperti sektor manufaktur, pertanian, dan perdagangan.

Berkaca dari China dan Korea Selatan, kedua negara itu bisa naik kelas dengan cara membangun industri manufaktur yang diawali dengan revitalisasi perdesaan. Manufaktur menjadi mesin penggerak utama ekonomi kedua negara tersebut. 

“Perlunya kebijakan ketenagakerjaan yang komprehensif. Arah pembangunan negara ini harus jelas dan terarah. Setiap pemimpin melanjutkan program-program yang sudah baik, jangan ada ego untuk berlomba dalam legacy,” ujarnya.  

Di Indonesia, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) justru turun. Pada tahun 2005 angkanya berada di kisaran 27,4% sedangkan pada 2023 hanya 18,6%. Dengan digitalisasi yang masih berada pada tahap awal, semakin membuat manufaktur kalah saing.

Adapun sektor pertanian juga kurang kontribusi karena lahan sempit. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya bertambah 2,8 juta orang pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2013.

"Pada sektor-sektor hulu kondisinya kurang optimal menggenjot perekonomian. Maka tidak heran jika pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di angka 5% per tahun," tuturnya. 

Menurutnya, pemerintah perlu menggenjot investasi terutama di sektor manufaktur yang menjalin kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta memberikan dampak dalam bentuk transfer teknologi.

"Membangun linkage usaha besar dengan menengah, kecil dan membuat domestic supply chain yang akan menggerakkan perekonomian daerah,” lanjutnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan