Artis pecandu narkoba bukanlah penjahat murni
Narkotika adalah 'obat' bermanfaat untuk menghilangkan rasa sakit sekaligus dapat menimbulkan penyakit adiksi atau ketergantungan apabila pemakaiannya tidak atas petunjuk dokter. Efek ganda narkotika ini yang menyebabkan penyalahgunaan narkotika dilarang bahkan diancam pidana dengan tujuan agar masyarakat takut dan tidak menyalahgunakan narkotika.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dalam menangani perkara narkotika menggunakan kontruksi ancaman pidana melalui sistem peradilan pidana. Namun, ketika penyalahguna bermasalah dengan hukum, maka penegak hukum wajib menerapkan sistem peradilan rehabilitasi sejak disidik, dituntut sampai diadili. Mengapa demikian? Karena UU Narkotika menganut double track system pemidanaan. Dimana penyalahgunanya diproses melalui sistem peradilan pidana rehabilitasi, berakhir di lembaga rehabilitasi, sedangkan pengedarnya diproses dengan sistem peradilan pidana dan berakhir hukuman penjara.
Pada poin ini, masyarakat hukum kita tidak mempelajari maksud dan tujuan undang-undang secara detail dan menganggap peraturannya yang salah.
Mengurai fenomena narkoba para artis
Fenomena manfaat dan mudarat narkotika, tidak dipahami oleh para artis atau pesohor secara tidak lengkap. Mereka tahunya hanya manfaat dari narkotika yaitu menghilangkan rasa sakit dan dapat menstimulan aktivitas keartisannya.
Banyak artis terkenal yang sudah mencicipi permasalahan narkotika. Sebut saja Whitney Houston atau Michael Jackson, mereka adalah penyalahguna narkotika yang momentum berita kematiannya menghebohkan dunia. Demikian pula artis narkotika yang banyak tertangkap di Indonesia, umumnya sebagai penyalahguna. Mereka adalah artis sakit dengan kondisi fisik yang relatif bugar, dapat beraktifitas secara wajar. Namun dibalik itu, jiwanya sakit. Adiksi narkotika yaitu sakit ketergantungan narkotika dimana fisik dan psikisnya menagih narkotika setiap saat, terapinya masuk pada wilayah kesehatan jiwa. Artis sakit ini tidak memiliki kamus efek jera karena jiwanya agak terganggu .
Artis sakit ini menurut undang-undang yang berlaku dikatagorikan sebagai artis yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum, oleh UU disebut penyalahguna. Mereka diancam hukuman penjara kurang dari lima tahun, sehingga tidak memenuhi syarat untuk ditahan. Mereka dijamin UU Narkotika untuk direhabilitasi.
Artis atau pesohor yang membeli, membawa, dan memiliki narkotika dalam jumlah tertentu (sedikit) untuk dikonsumsi sendiri dan teman-temannya dalam pesta narkotika bukanlah penjahat murni. Dalam kajian Victimologi, mereka adalah korban kejahatan para pengedar narkotika, yang oleh UU dibedakan proses pertanggungan jawab pidananya maupun penjatuhan sanksinya. Apalagi, mereka tidak memiliki niat jahat. Mereka membeli dan memiliki narkotika hanya karena tuntutan penyakit kecanduannya, tidak untuk dijual guna mendapatkan keuntungan. Jadi, yang dirugikan artis itu sendiri, mereka hanya menzalimi diri sendiri, namun secara yuridis mereka pelanggar hukum.
Fachri Albar ditangkap karena narkoba/AntaraFoto
Artis sakit adiksi narkotika itu umumnya disebabkan karena salah pergaulan, mereka diajak teman dekat untuk menjadi penyalahguna narkotika. Mereka untuk pertama kali menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, dirayu, ditipu dengan segala macam iming-iming dengan segala 'kenikmatan' narkotika. Bahkan ada yang dipaksa.
Sesungguhnya mereka adalah korban penyalahgunaan narkotika yang secara teknis yuridis harus digali oleh penegak hukum karena korban penyalahguna narkotika itu wajib direhabilitasi. Itu sebabnya, kalau penyidik penuntut umum yang menahan penyalahguna dan hakim menghukum penjara dalam proses pertanggungan jawab hukum, masuk dikatagori melanggar hak asasi manusia (HAM) karena menahan tersangka penyalahguna tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Salah kaprah penanganan dan pemberitaan artis atau pesohor yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum, dengan diberikan penahanan dan hukuman penjara seperti selama ini lumrah terjadi. Namun, hal tersebut menyebabkan runyamnya penyelesaian narkotika di Indonesia. Hal ini disebabkan penanganan dan pemberitaannya seakan-akan benar menurut hukum dan bisa menyelesaikan masalah narkotika di Indonesia.
Berbeda terhadap artis atau pesohor yang membeli narkotika dalam jumlah tertentu (banyak) untuk dijual agar mendapatkan keuntungan, yang demikian digolongkan sebagai pengedar. Mereka yang harus dihukum berat.
Jalan keluar persoalan narkoba
Pada akhirnya kita berharap Indonesia dapat menyelesaikan masalah narkotika dengan baik sesuai UU Nomor 35 tahun 2009. Dimana undang undang narkotika ini sangat up to date (meskipun ada kekurangannya) karena mengakomodasi tiga pilar utama cara penyelesaian masalah narkotika yang harus dilakukan secara seimbang, yaitu;
Pertama, terhadap penyalahguna narkotika harus didorong, dipaksa dan ditangkapi untuk dijebloskan ke tempat rehabilitasi agar tidak jadi pecandu/demand. Kedua, terhadap pengedarnya tidak hanya diberikan hukuman berat seperti hukuman penjara seumur hidup atau pidana mati tapi juga harus dikenakan tindak pidana pencucian uang serta diputus jaringan komunikasi bisnisnya selama menjalani hukuman di lapas agar tidak jadi pengedar lagi.
Ketiga, terhadap masyarakat khususnya remaja yang belum terlibat narkotika dibentengi dengan langkah pencegahan agar tidak jadi embrionya penyalahguna yang punya sifat kecanduan.
Masih berdasarkan UU Narkotika, bahwa rehabilitasi itu hukuman, dimana hukuman rehabilitasi itu secara yuridis sama dengan hukuman penjara. Menurut penelitian singkat saya, bagi penyalahguna narkotika hukuman rehabilitasi jauh lebih berat rasanya dibanding hukuman penjara. Pada point ini, banyak masyarakat yang tidak memahami.
Menurut literatur dan hasil penelitian para ahli bahwa hukuman rehabilitasi jauh lebih baik dari pada hukuman penjara karena pertama, hukuman rehabilitasi terasa lebih berat dan bersifat menyembuhkan. Sedangkan dipenjara hanya dapat nestapa dan melanggengkan sakit ketergantunganya karena lapas tidak memiliki tupoksi rehabilitasi.
Kedua, menghukum penyalahguna dengan hukuman penjara menyebabkan jumlah penyalahguna makin lama makin bertambah banyak karena penyalahguna lama tidak dipulihkan, sementara timbul penyalahguna baru. Ketiga, bandar narkoba dunia melirik indonesia karena pangsa pasarnya sangat besar.
Keempat, tidak ada gunanya menghukum penjara orang kecanduan, bahkan dapat dikatakan menghambur-hamburkan sumber daya penegakan hukum.
Pada titik ini, masyarakat hukum dan penegak hukumnya harus memilah dan mengawasi mana pelaku yang dikatagorikan sebagai pengedar yang harus penjara, mana pelaku yang dikatagorikan penyalahguna. Penyalahguna harus ditempatkan di lembaga rehabilitasi sebagai bentuk hukuman sejak proses penyidikan, penuntutan, peradilan dan penjatuhan hukuman. Artis pecandu ini yang merupakan metamorfosa dari penyalahguna yang wajib direhabilitasi dan menjadi tanggung jawab negara. Itu sebabnya dibentuk BNN dan ada nomenklatur Deputi Rehabilitasi.
Upaya rehabilitasi dapat dilakukan secara mandiri atas biaya keluarganya. Lalu ada rehabilitasi yang dipaksa undang-undang melalui Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang dilaksanakan oleh Kemenkes, Kemensos dan BNN, dibiayai oleh APBN. Rehabilitasi dipaksa penegak hukum melalui penempatan di lembaga rehabilitasi sejak penyidikan, penuntutan sampai putusan hakim dibiayai oleh APBN.
Kalau tidak, jangan mengharapkan penyalahgunaan dan peredaran narkotikanya menurun apalagi berharap Indonesia bebas dari penyalahgunaan narkotika.