close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Senin, 19 November 2018 17:32

Anak dan benih-benih kebencian

Perkembangan anak dipengaruhi oleh hereditas (penurunan sifat genetik dari orangtua) dan lingkungan di mana ia berada.
swipe

Mei lalu, bom meledak di Surabaya dan Sidoarjo. Para pelaku tewas, korban-korban berjatuhan. Tak hanya sampai di situ, bom kembali meledak di Polrestabes, Surabaya. Teroris-teroris pun diburu. Terakhir, di Universitas Riau, Detasemen Khusus atau Densus
88 Antiteror menangkap tiga terduga teroris yang tercatat sebagai alumni kampus tersebut.

Beberapa pihak pun menyatakan—dengan penuh semangat, dan berusaha meyakinkan—bahwa terorisme tak ada hubungannya dengan agama. Pernyataan itu, kalau ditujukan untuk menjaga perdamaian dan mendinginkan suasana, memang mengandung
kebenaran; selain perlu juga ditengok siapa yang mengucapkannya, apa kepentingannya, dan siapa yang mendengarkannya serta diajaknya bicara.

Namun di bangsa ini—bahkan dalam taraf yang lebih luas, yaitu di sejarah dunia—benarkah terorisme atau beberapa tragedi kemanusiaan benar-benar terlepas dari agama? Jawabannya justru sebaliknya, agama sering dijadikan alat untuk membunuh. Dari
Perang Salib yang menewaskan begitu banyak orang, hingga ISIS yang melancarkan aksi-aksi teror dengan berbagai cara yang brutal, agama—atau katakanlah penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama—memainkan peran utama.

Lalu, mengapa bangsa Indonesia menjadi sasaran terorisme? Di balik (berbagai kemungkinan) keberadaan konspirasi global yang menjadi kajian para intelijen, secara sosial di masyarakat kita telah tercipta berbagai interaksi dan konflik yang menyuburkan
terorisme. Mau tidak mau kita pun harus mengakui bahwa benih-benih permusuhan dan intoleransi yang membawa-bawa agama tumbuh subur di Tanah Air. Mari menengok berbagai peristiwa yang terjadi belakangan, bahkan realitas yang beberapa di antaranya
(masih) terbentang di depan mata kita pada masa kini.

Orang-orang tertentu suka menyebut “kafir” mereka yang berbeda agama atau aliran. Persekusi terhadap orang yang dianggap menista agama atau pemimpin agama juga sempat marak diberitakan beberapa tahun belakangan. Tiap akhir tahun, menjelang Natal, media sosial dipenuhi keriuhan tentang boleh atau tidaknya memberikan ucapan selamat. Di bangku-bangku sekolah, radikalisme-intoleransi tumbuh subur, siswa ada yang mulai disusupi pemahaman tentang penggantian ideologi Pancasila dengan agama tertentu.

Masih ada kasus-kasus lain yang mengindikasikan bahwa agama dijadikan alat untuk memperlebar jurang permusuhan di Tanah Air. Apalagi di tahun politik, saat isu dan sentimen yang mengangkat perbedaan suku dan agama digoreng demi meraih dukungan instan. Kasus-kasus itu adalah benih-benih intoleransi, manifestasinya nyata, membuat kita mesti waspada.

Kewaspadaan itu dapat kita realisasikan dengan berbagai tindakan preventif mulai dari sekarang, bahkan mestinya sejak dulu; bukan hanya bertindak reaktif dengan menggembar-gemborkan bahwa terorisme itu bukan ajaran agama dan harus dilawan bersama, namun setelah bom meledak di mana-mana.

Anak dan pluralitas

Tindakan preventif utama dan pertama yang dapat dilakukan agar anak-anak tak terjangkit benih-benih intoleransi adalah menanamkan pemahaman bahwa kebinekaan bukanlah ancaman. Orangtua dan guru yang menanamkan pemahaman yang keliru pada anak tentang orang berbeda suku, agama, dan latar belakang dengannya berarti sudah membatasi pilihan anak untuk mengenal orang lain dengan pikirannya, juga imajinasinya. Kebencian terhadap orang lain yang berbeda latar belakang dapat menjadi problem anak-anak yang serius di masa mendatang bila di saat ini tidak diwaspadai.

Pikiran dan imajinasi anak-anak adalah kegembiraan, permainan, dan daya hidup yang penuh suka cita, dengan siapa pun mereka bergaul. PBB menetapkan 20 November sebagai Hari Anak Sedunia dengan tujuan agar tiap anak dihargai hak-hak dan kesejahteraan atau kebahagiaannya.

Hak anak adalah dilindungi, dan kebahagiaan mereka dapat terbentuk lewat dunia yang penuh sukacita dan imajinasi. Sayang sekali bila orangtua dan guru menggantikannya dengan jarak, diskriminasi, dan prasangka. Dilibatkannya anak-anak dalam beberapa kasus pengeboman di Surabaya pun mengobrak-abrik nalar kemanusiaan kita.

Stanislaus Riyanta, pengamat dan peneliti dunia intelijen di Indonesia, pernah menulis di akun Facebook-nya (27 Juli 2018) bahwa salah satu anak yang turut mengebom di Surabaya adalah anak yang ceria dan cerdas. Pada malam sebelum pengeboman (Sabtu) ia berencana untuk membuat film pendek bersama teman-temannya di acara Car Free Day (CFD). Pukul dua dinihari, hari Minggu, ia tiba-tiba mengirimkan pesan pendek kepada teman-temannya bahwa ia tidak jadi berangkat ke CFD, tapi tak memberitahukan apa alasannya.

Di Minggu pagi, ia turut meledakkan bom bersama kedua orangtuanya. Kita mungkin akan kehabisan akal merenungi, apa saja yang telah disusupkan oleh orangtua anak-anak yang mengebom itu ke dalam benak anak-anak mereka, sehingga mereka rela tewas demi sebuah “perjuangan”? Dan, apakah orangtuanya sudah tidak memiliki belas kasih dan harapan, bahwa anak-anak mereka mesti berjuang meraih penghidupan di masa depan? Betapa mengerikan sebuah pencucian otak, dan begitu mudah anak-anak taat
melakukan apa saja yang orangtua mereka maui.

William Stern dalam Soetopo (1982) menyatakan bahwa perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh hereditas (penurunan sifat genetik dari orangtua) dan lingkungan di mana ia berada. Hal ini mestinya mengundang respons dari pihak guru dan orangtua agar
mengajarkan hal-hal yang mulia, luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,dan semangat menghargai pluralisme pada diri tiap anak.

Pluralisme adalah realitas; namun permusuhan, politik identitas, dan sektarianisme dapat membuat realitas itu menjadi kabur, menghidupkan ilusi. Kebinekaan pun terancam. Guru dan orangtua mesti menyadarkan anak-anak bahwa kebinekaan adalah jati diri bangsa.

Lewat pengajaran dan pemahaman tentang kebinekaan, seorang anak diharapkan mampu lebih bersikap toleran dan melihat hal-hal yang baik dalam diri tiap orang yang berbeda latar belakang dengannya.

Seorang anak buta, Mohammed, dalam film The Color of Paradise (Majid Majidi, 1999) dikisahkan menggambarkan tangan neneknya “putih dan lembut”, padahal tangan itu hitam dan berkeriput. Mohammed “melihat” apa yang tak terlihat. Ia sayang kepada neneknya,
menggunakan kata “putih dan lembut” untuk menunjukkan kasihnya kepada si nenek, walaupun pada kenyataannya tidak demikian.

Adegan dalam film itu pun menyisakan tanya bagi yang tak buta: apakah mata batinnya kesulitan “melihat” hal-hal yang baik dan indah pada diri orang lain yang terlihat berbeda dengannya, karena terhalang oleh sekat kebencian? Kita pun akan rabun secara sosial, ketika prasangka dan diskriminasi menguasai pikiran. Di titik inilah tampaknya kita justru perlu kembali (lagi) belajar dari anak-anak, yang di dalam hatinya sebenarnya ada “surga”.

“Surga” yang bisa dicapai dengan penanaman ajaran kasih sayang, perdamaian, dan toleransi. Bukan “surga” yang lain, yang dicapai dengan membenci, menyakiti, bahkan membunuh.

Semoga anak-anak Indonesia, seperti lagu karya A.T. Mahmud “Aku Anak Indonesia” terus bangga dengan Tanah Airnya yang bineka, menyanyi dengan lantang dan gembira:

Ribu pulaunya

Ragam sukunya

Satu jiwa raganya

img
Sidik Nugroho
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan