Usia harapan hidup semakin menyusut
Sebaiknya kini kita lupakan anggapan tentang semakin banyak orang yang mungkin hidup mencapai usia 100 tahun. Sebab, peningkatan harapan hidup manusia tengah melambat. Hal itu ditemukan dalam riset empat peneliti Amerika Serikat dari University of Illinois, University of Hawaii and Kuakini Medical Center, Harvard University, dan University of California yang terbit di jurnal Nature Aging (Oktober, 2024).
Harapan hidup adalah rata-rata perkiraan jumlah tahun seseorang diperkirakan dapat hidup berdasarkan kondisi tertentu, seperti usia, jenis kelamin, status kesehatan, dan lingkungan tempat tinggal. Harapan hidup sering digunakan sebagai indikator kesehatan dan kesejahteraan populasi. Angka ini bervariasi antarnegara dan kelompok populasi, dipengaruhi faktor-faktor, seperti akses terhadap layanan kesehatan, gaya hidup, dan kondisi sosial-ekonomi.
Dikutip dari Live Science, para peneliti menyelidiki tren harapan hidup antara tahun 1990 dan 2019. Mereka menganalisis data statistik nasional dari sembilan negara dengan populasi yang paling lama hidup dan berpendapatan tinggi, antara lain Australia, Prancis, Italia, Jepang, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Hong Kong.
Mereka juga melihat angka-angka dari Amerika Serikat karena beberapa ilmuwan membuat prediksi khusus tentang perpanjangan hidup yang radikal di negara itu. Para peneliti kemudian menggunakan analisis retroaktif ini untuk memprediksi tren harapan hidup di masa mendatang, yang mungkin terjadi pada abad ini.
Mereka menemukan, peningkatan harapan hidup secara keseluruhan melambat di 10 negara yang dianalisis, terutama setelah 2010. Orang-orang yang lahir setelah tahun 2010, punya kemungkinan kecil mencapai usia 100 tahun, dengan perempuan punya peluang 5,1% dan laki-laki 1,8%. Anak-anak yang lahir pada 2019 di Hong Kong, paling mungkin mencapai usia 100 tahun—dengan perempuan berpeluang 12,8% dan laki-laki 4,4%.
Dikutip dari Nature, penurunan di Amerika Serikat misalnya, didorong oleh meningkatnya jumlah kematian karena kondisi kesehatan, seperti diabetes dan penyakit jantung pada orang berusia sekitar 40 hingga 60 tahun.
Padahal, beberapa dekade sebelumnya, harapan hidup rata-rata saat lahir di beberapa populasi dengan umur terpanjang di dunia pada negara-negara berpenghasilan tinggi tersebut, meningkat sekitar tiga tahun. Peningkatan harapan hidup ini, tulis Live Science, awalnya didorong penurunan angka kematian anak-anak, diikuti penurunan angka kematian orang setengah baya dan lebih tua. Misalnya di Amerika Serikat pada 1900 harapan hidup rata-rata saat lahir adalah 47,3, lalu pada 2000 telah meningkat menjadi 76,8.
Nature menyebut, kemajuan dalam bidang kesehatan masyarakat dan kedokteran selama abad ke-20 telah meningkatkan harapan hidup manusia hingga sekitar tiga tahun per dekade. Mengutip the Guardian, dalam 2.000 tahun sebelumnya, harapan hidup merangkak naik. Rata-rata satu tahun setiap satu atau dua abad.
Namun, epidemiolog di University of Illinois Chicago sekaligus peneliti studi ini, Jay Olshansky dan koleganya telah lama berpendapat peningkatan harapan hidup ini tidak berkelanjutan. Para peneliti menemukan, tingkat harapan hidup pada dekade 2010-2019 telah turun dibandingkan tahun 1990 dan 2000.
Di setiap populasi, peningkatan harapan hidup selama satu dekade melambat hingga di bawah dua tahun. Dikutip dari the Guardian, Olshansky dan rekan-rekannya berpendapat, manusia mencapai batas biologis sekitar usia 85 tahun. Mereka pun berkesimpulan, orang hanya dapat bertambah usia 2,5 tahun selama tiga dekade mendatang.
Penjelasan yang paling mungkin untuk menjawab perlambatan ini, menurut para peneliti, manusia kini mendekati batas atas harapan hidupnya. Artinya, semakin banyaknya orang yang bertahan hidup hingga usia lanjut, faktor risiko utama kematian terkait dengan penuaan biologis—akumulasi kerusakan sel dan jaringan secara bertahap—pasti terjadi seiring berjalannya waktu.
“Kita tahu cara mencegah anak-anak meninggal karena campak, tetapi kita belum dapat menghentikan jam biologis yang terus berdetak setelah anak tersebut mencapai usia 60 atau 70 tahun, dan seterusnya,” ujar Olshansky kepada Live Science.
Dikutip dari the Guardian, Olshansky menyebut, diperlukan pengobatan baru yang radikal untuk memperlambat proses penuaan, alih-alih perawatan yang lebih baik untuk penyakit-penyakit pembunuh, seperti kanker, demensia, dan penyakit jantung.
Pakar masalah penuaan di University of Birmingham, Steven Austad mengatakan kepada the Guardian, supaya harapan hidup kembali meningkat, diperlukan pendekatan baru yang berfokus pada pencegahan penyakit.
“Geroscience berfokus pada peningkatan kesehatan dengan menangani proses biologis yang mendasari penuaan, yang menyebabkan munculnya hampir semua penyakit dan menurunkan kualitas hidup atau membunuh kita,” ujar Austad.
“Kemajuan ini mulai terlihat di klinik. Jadi, meskipun saya percaya analisis tentang perlambatan peningkatan harapan hidup ini, proyeksi penulis tentang perlambatan bertahap yang berkelanjutan selama sisa abad ini menurut saya terlalu dini.”
Sementara itu, pakar demografi di Max Planck Institute for Demograhic Research di Rostock, Dmitri Jdanov menyebut, Olshansky terlalu pesimis tentang kemungkinan kemajuan. “Perkembangan teknologi baru yang cepat dapat menyebabkan revolusi kesehatan yang tak terduga,” kata Jdanov kepada Nature.
“Seabad yang lalu, hanya sedikit peneliti yang mengira angka kematian anak dapat dikurangi secara signifikan. Namun, kemajuan dalam bidang vaksin, pendidikan, dan kesehatan masyarakat telah memangkas angka tersebut lebih dari 20% pada 1950 menjadi kurang dari 4% saat ini.”