Nelangsa guru honorer yang mendadak “dibersihkan”
Andi, 27 tahun, kalang kabut sebelum tahun ajaran baru dimulai. Perkaranya, ia diberi tahu pihak sekolah tempatnya mengajar, kalau akan diberhentikan karena ada pemberlakukan kebijakan cleansing atau “pembersihan” guru honorer dari Pemprov DKI Jakarta. Guru honorer yang mengajar sosiologi di sebuah SMA di Jakarta Pusat itu bingung karena belum ada surat edaran atau kebijakan resmi terkait alasan pembersihan guru honorer.
“Saya cuma diberi tahu kalau SMA Negeri sudah tidak bisa menerima guru honor lagi. Akhirnya dipecat sepihak,” ucap Andi kepada Alinea.id, Senin (15/7).
Andi mengaku, sudah dua tahun menjadi guru honorer dan ingin sekali mendaftar sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Namun, impiannya itu kandas. Padahal, ia sudah tidak betah menjadi guru honorer yang upah mengajarnya selalu dipotong pihak sekolah setiap bulan.
“Gaji saya Rp4,6 juta, tapi dipotong. Saya cuma nerima Rp3 juta. Setelah ‘ditendang’, kita tidak dijelaskan untuk ditempatkan di mana. Hanya dikeluarkan begitu saja,” tutur Andi.
Pembersihan guru honorer secara serampangan, dinilai Andi sangat tidak manusiawi. “Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan mengenai kelayakan seorang pendidik guru dan dosen, yang statusnya honorer dijamin kesejahteraannya,” kata Andi.
Nasib serupa pun dialami Rosdan—bukan nama sebenarnya. Ia sudah “didepak” dari tempatnya mengajar di salah satu SMP di Jakarta Selatan pada 8 Juli lalu. Guru honorer bahasa Indonesia itu sudah mengajar selama delapan tahun dan punya harapan ingin menjadi guru PPPK.
“Saya bingung sekali dengan kebijakan ini. Saya masih ingin mengajar,” ucap Rosdan.
Hingga kini, Rosdan belum mendapat peluang mengajar di sekolah lain. Padahal, ia punya bayi berusia enam bulan. Ia mengatakan, selama ini tidak pernah melakukan perbuatan indisipliner. Bahkan, terbilang sering mencari pelatihan untuk menopang jenjang karier.
“Saya punya nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK) dan ikut PPG (pendidikan profesi guru). Tapi, saya didepak begitu saja,” ujar Rosdan.
Rosdan digaji sebesar Rp4,6 juta per bulan. Akan tetapi, hanya menerima Rp3 juta per bulan karena ada potongan pihak sekolah.
“Tapi lucunya, begitu ada pemeriksaan dari dinas (pendidikan), saya disuruh ngaku nerima (gaji) lebih,” kata dia.
Menurut Rosdan, kebijakan pembersihan guru honorer di Jakarta sangat tidak adil. Di sisi lain, ia mendapat informasi, masih ada guru honorer yang dipertahankan karena memiliki relasi kekerabatan dengan kepala sekolah atau guru di sekolah.
“Jadi, nanti ketika ada bukaan PPPK, mereka yang kemungkinan bisa masuk,” kata Rosdan.
Rosdan dan Andi sendiri sudah membuat aduan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta untuk selanjutnya membuat posko aduan bagi guru honorer yang terdampak kebijakan itu.
Cleansing tak sesuai amanat undang-undang
Dalam siaran pers yang diterbitkan Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Kominfotik) Pemprov DKI Jakarta, Rabu (17/7), Plt. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Budi Awaluddin menjelaskan, perekrutan guru honorer harus lewat mekanisme sesuai dengan syarat dan peraturan, antara lain berstatus bukan ASN dan tercatat pada data pokok pendidikan (dapodik), memiliki NUPTK, dan belum mendapat tunjangan profesi guru. Setelah dilakukan penelusuran, kata dia, terdapat perekrutan guru honorer yang dilakukan kepala sekolah, yang bisa terjadi bias standar dan subjektivitas dalam perekrutannya.
“Terkait dengan pemberitaan tentang pemberhentian guru-guru honorer yang sumber pembayarannya melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), hal tersebut terjadi karena mereka tidak memenuhi persyaratan pada Permendikbudristek Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS,” ujar Budi dalam keterangan pers di Balai Kota Jakarta, Rabu (17/7).
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menduga, kebijakan itu akan menjalar ke provinsi atau kota/kabupaten lainnya.
Iman mengatakan, di berbagai daerah sudah ada fenomena “pengusiran halus” terhadap guru honorer. Namun, metode cleansing baru ditemui di Jakarta. Jika melihat rekapan cleansing, di daerah Jakarta Utara saja ada 173 guru honorer yang mengalami cleansing. Artinya, jumlah guru honorer yang terdampak cleansing bisa mencapai ratusan orang.
“Sampai hari ini, mereka masih bertanya-tanya, ini kebijakan apa dan kenapa mereka diperlakukan seperti itu?” ujar Iman dalam keterangan yang diterima Alinea.id, Senin (15/7). “Tanpa pemberitahuan dan tanpa persiapan.”
Selain itu, kata Iman, penggunaan diksi cleansing—dalam edaran Dinas Pendidikan DKI Jakarta—bermasalah dari segi kebijakan karena memposisikan guru seperti benda yang mengganggu kebersihan.
Iman mengungkapkan, berdasarkan laporan yang diterima P2G, praktik kebijakan cleansing guru honorer tidak sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Menurutnya, dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang tersebut, pemberdayaan guru harus dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Jika kebijakan cleansing merupakan dampak dari upaya menata ASN sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, maka bertentangan dengan asas dalam undang-undang tersebut. Dalam pasal 2 beleid itu disebutkan, penyelenggaraan kebijakan ASN berdasarkan pada asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, pendelegasian, netralitas, akuntabilitas, efektavitas, efisiensi, dan keterbukaan.
Iman khawatir, pembersihan guru honorer ada kaitannya dengan motif menggeser guru honorer dengan guru PPPK. Namun, ia mengaku, sudah melakukan audiensi dengan Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan sudah memastikan, guru honorer P3—guru honorer negeri dengan masa pengabdian minimal tiga tahun—tidak akan tergeser dengan kedatangan guru PPPK atau P1 yang tertuang dalam Kepmendikbudristek Nomor 349/P/2022.
“Nah, ini malah guru P1 didorong untuk menggeser guru honorer (P3). Padahal, keduanya sama-sama memiliki hak. Mereka seperti diadu domba,” kata Iman.
Dalam keterangan yang sama, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan P2G Feriansyah memberikan rekomendasi. Pertama, para guru honorer harus tetap mendapatkan jam ajar sesuai dengan bidang pelajarannya. Kedua, memberikan kepastian dan kesempatan bagi guru honorer untuk tetap mengikuti seleksi PPPK yang berkeadilan.
“Ketiga, meminta komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk tidak memberhentikan para guru honorer,” ujar Feriansyah.