Di era digital, orang-orang menjadi cepat bosan
Selama dua dekade terakhir, teknologi komunikasi berkembang dengan pesat. Penyebaran telepon pintar sangat masif. Apple iPhone pertama diperkenalkan pada 2007. Penjualan telepon pintar secara global melonjak dari 122 juta pada 2007 menjadi lebih dari 1,35 miliar pada 2020.
Sementara itu, platform media sosial populer muncul satu per satu. Facebook muncul pada 2004, YouTube pada 2005, X (sebelumnya Twitter) pada 2006, WhatsApp pada 2009, Instagram pada 2010, dan TikTok pada 2016. Lebih dari 5 miliar orang di seluruh dunia menggunakan media sosial pada 2024. Menghabiskan waktu rata-rata 151 menit per hari. Tontonan pun secara bertahap bergeser dari siaran televisi ke layanan streaming, seperti YouTube, Netflix, dan Prime Video.
Namun, menurut peneliti dari University of Toronto, yakni Katy Y.Y. Tam dan Michael Inzlicht dalam jurnal Communications Psychology (2024), penggunaan media digital justru berkontribusi terhadap tingginya tingkat kebosanan, yang berpotensi berdampak buruk pada kesehatan mental dan gangguan perilaku.
Peneliti di University of Leicester, Eva Krockow dalam Psychology Today, mengungkapkan, orang-orang di seluruh dunia mengalami kebosanan daripada 10 tahun lalu. Semisal, survei tahunan remaka di Amerika Serikat yang dilakukan antara 2008 dan 2017 menunjukkan kebosanan mulai meningkat pada 2011, dengan remaja perempuan mengalami peningkatan lebih besar dibandingkan laki-laki. Demikian juga penelitian tentang kebosanan yang dilakukan antara 2009 dan 2020 di China, menunjukkan kebosanan meningkat secara signifikan pada mahasiswa selama waktu tersebut.
Tam dan Inzlicht berpendapat, struktur dan sifat media digital dapat meningkatkan perasaan bosan. Dikutip dari PsyPost, dengan mengacu pada penelitian empiris yang ada, mereka mengeksplorasi bagaimana media digital mungkin membentuk ekspektasi orang untuk terlibat, mengalihkan perhatian, dan mengurangi makna dalam aktivitas sehari-hari.
“Setiap mekanisme ini dapat menciptakan siklus di mana orang semakin beralih ke perangkat digital untuk mengatasi kebosanan, tetapi akhirnya merasa kurang puas dan lebih rentan terhadap kebosanan seiring waktu,” tulis PsyPost.
Tam dan Inzlicht berpendapat, media digital menetapkan standar tinggi untuk keterlibatan karena menyediakan rangkaian rangsangan yang terus menerus memuaskan. Pola ini mendorong penguna untuk mencari rangsangan yang lebih besar, meningkatkan harapan mereka terhadap apa yang dianggap menarik. Misalnya, evolusi konten media sosial dari teks menjadi gambar hingga video berdurasi pendek, mencerminkan kebutuhan yang meningkat pada keterlibatan yang lebih cepat dan intens untuk menarik perhatian pengguna.
“Akibatnya, aktivitas yang tidak sesuai dengan tingkat rangsangan ini, seperti membaca buku atau kuliah, mungkin terasa membosankan,” tulis PsyPost.
Media digital bisa mengalihkan perhatian, sehingga sulit untuk fokus pada satu aktivitas. Perangkat seperti ponsel pintar menawarkan berbagai gangguan, seperti notifikasi, aplikasi, dan kemampuan untuk dengan cepat beralih antaraktivitas. Hal ini mengganggu fokus secara berkelanjutan. Gangguan yang sering dapat menurunkan kemampuan pengguna untuk sepenuhnya terlibat dalam satu tugas, yang mengarah pada kemungkinan kebosanan yang lebih besar.
Krockow menambahkan, konten yang mencakup gambar, video, atau reel menarik perhatian. Banyak pengguna memanfaatkan beberapa perangkat sekaligus atau beralih dengan cepat di antara aplikasi yang berbeda. Mereka melewatkan konten atau mempercepat video, selalu mencari potongan informasi yang paling menarik. Aplikasi mendorong perilaku ini melalui notifikasi yang memberi tahu pengguna dan menarik perhatian mereka, bahkan jika mereka sedang melakukan aktivitas lain.
“Ini menciptakan lingkungan yang sangat mengganggu, yang berarti pengguna jarang mendapatkan pengalaman penuh yang mendalam,” kata Krockow.
Kemudian, multitasking digital, seperti berselancar di ponsel sambil menonton televisi juga merusak kemampuan orang untuk tetap hadir dan terlibat—yang semakin berkontribusi pada perasaan ketidakpuasan dan kegelisahan.
Selain itu, tulis Krockow, media digital bisa meningkatkan ekspektasi terkait keseruan. Sifat hiburan digital yang cepat, memenuhi kecenderungan alami manusia untuk mencari sensasi. Hal ini menyebabkan hobi offline kita semakin ditinggalkan. Misalnya, menonton video ekstrem tentang aksi akrobatik di tepi gedung pencakar langit mungkin mengurangi kesenangan pergi ke taman untuk bermain skateboard.
Media digital juga menyajikan informasi yang tidak bermakna, yang sulit dipahami. Kurangnya gambaran yang lebih besar atau makna yang lebih luas, kata Krockow, bisa memicu perasaan tak punya tujuan.
“Pengguna bisa saja merasa tersesat, kewalahan, kosong, atau bosan,” tulis Krockow.
Terakhir, media digital menawarkan terlalu banyak pilihan. Misalnya, dengan memilih satu pilihan tertentu, seperti menghadiri temu virtual, pengguna kemungkinan merasa mereka berkorban karena melewatkan alternatif lain yang tersedia.
“Perasaan mengganggu ini kemungkinan akan membuat pilihan yang dipilih menjadi kurang menyenangkan, yang dapat membuat kebosanan muncul,” kata Krockow.
Bagaimanapun, media digital tampak sebagai cara yang baik untuk melawan kebosanan. Namun, ternyata, justru bisa memiliki efek sebaliknya. Maka, salah satu strategi mengurangi kebosanan adalah mengurangi penggunaan media digital. Krockow menyarankan beberapa hal untuk mengurangi ketergantungan pada gawai.
“Matikan notifikasi media yang tidak penting, gunakan fitur bawaan ponsel untuk mengatur batas waktu di aplikasi tertentu, jelajahi aplikasi untuk memblokir situs web yang mengganggu, dan tetapkan hari atau waktu khusus untuk hobi offline,” ujar dia.