Apa yang bisa dilakukan dengan industri film kita?
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan, jumlah layar bioskop di Indonesia termasuk sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Apalagi, lokasinya masih terkonsentrasi di daerah perkotaan, terutama di Pulau Jawa.
“Ini perlu ada suatu solusi supaya di dalam menyiarkan film-film Indonesia, ada tempatnya dan bisa diakses dengan mudah oleh publik,” ujar Fadli setelah pertemuan dengan insan perfilman di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Senin (4/11).
Selain itu, Fadli juga mengemukakan, perlu untuk menghadirkan beragam genre film agar bisa menambah segmen dan memperluas pasar film nasional. Menurutnya, dikutip dari Antara, film Indonesia sekarang masih didominasi film horor.
Dia mengakui, genre film lain, seperti laga, komedi, drama, animasi, musikal, sejarah, dan petualangan memang diproduksi. Namun, jumlahnya tidak sebanyak film horor. Kehadiran lebih banyak tema dan genre film, kata dia, bakal menarik lebih banyak penonton film ke bioskop.
Bagaimana situasi perfilman dan bioskop kita?
Jumlah bioskop di Hindia Belanda pada 1936, menurut majalah Film Reveu, Nomor 22, Maret 1936, seperti dikutip dari buku Sejarah Film Indonesia 1900-1950: Bikin Film (2009) di Jawa karya Misbach Yusa Biran sebanyak 227. Jumlah tersebut terus naik dari tahun ke tahun.
Tahun 1951, ada 60 bioskop di Jakarta, menurut catatan Abadi edisi 11 April 1951. Jumlah tersebut menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota di Indonesia dengan jumlah bioskop yang cukup banyak. Dalam buku Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia (1992) tercatat, hingga 1953 ada 513 bioskop di Indonesia.
Saat ini, dilansir dari Antara, berdasarkan data Badan Perfilman Indonesia (BPI) pada Februari 2024 ada 517 lokasi bioskop dengan total 2.145 di 115 kabupaten dan kota di Indonesia—yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) punya 349 kabupaten dan 91 kota. Sedangkan Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Noorca M. Massardi pada 3 Oktober 2024 mengemukakan, sudah ada sekitar 800 gedung bioskop, dengan kurang lebih 3.000 layar di Indonesia.
Sementara itu, produksi film Indonesia di awal-awal kemerdekaan, tepatnya pada 1950 berjumlah 23 judul, dikutip dari buku Katalog Film Indonesia, 1926-2007 (2007). Lalu, pada 1955 terdapat 65 judul.
Seiring waktu, jumlah penonton dan produksi film pun ikut bertambah. Catatan BPI, tahun 2018 jumlah produksi film nasional sebanyak 132 judul, dengan 51,2 juta penonton. Lalu, tahun 2019 jumlahnya berkurang menjadi 129 judul, dengan penonton relatif tetap seperti tahun sebelumnya.
Di tengah pandemi Covid-19, tahun 2020 jumlah produksi film Indonesia justru melonjak mencapai 289 judul, namun dengan penonton yang berkurang. Hanya 19 juta orang. Di tahun 2021, jumlah produksi film hanya 36 judul, dengan 4,5 juta penonton. Lantas tahun 2022, jumlah produksi film kembali tumbuh menjadi 47 dengan lebih dari 24 juta penonton.
Sementara itu, masih menurut Noorca dalam Antara, jumlah penonton film Indonesia hingga awal Oktober 2024 sudah mencapai lebih dari 60 juta orang. Menurut Noorca, pencapaian ini pertama dalam sejarah penonton film Indonesia.
Noorca mengatakan, meski mayoritas film Indonesia didominasi film horor, tetapi genre itu yang membangkitkan perfilman dalam negeri. Pencapaian tersebut, kata Noorca, berkat terbitnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yang mewajibkan bagi bioskop untuk menayangkan 60% film nasional.
Apa saja potensi industri film kita?
Korea Selatan dan Jepang, menurut laporan PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia serta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) berjudul The Economic Impact of the Screen Industry in Indonesia – an opportunity, memiliki rekam jejak yang kuat dalam produksi beranggaran tinggi, dengan konten yang menggabungkan budaya lokal dan kampanye pemasaran yang bertarget. Di Jerman dan Spanyol, terkenal dengan manajemen produksi fillmnya yang baik. Lalu, Thailand berkembang pesat dengan dukungan akses terhadap lokasi yang indah dan cerita rakyat setempat yang relevan dengan penontonnya. Sementara India, terkenal dengan produksi soundtrack, sedangkan Australia dan Selandia Baru dikenal karena efek visual, animasi, serta musik pasca-produksi.
Bagaimana dengan kita? Laporan itu mengungkapkan, industri sinema Indonesia diproyeksikan akan tumbuh sebesar 6,13% compound annual growth rate (CAGR) atau tingkat pertumbuhan tahunan gabungan dari tahun 2023 hingga 2027. Tingkat pendapatan gabungan—tidak termasuk pendapatan dari produksi iklan—untuk bioskop, online curated content (OCC) atau layanan streaming, dan televisi mencapai 1,3 miliar dolar AS (setara Rp20,7 triliun) pada 2022 dan diproyeksikan tumbuh menjadi 1,8 miliar dolar AS (setara Rp28 triliun) pada 2027.
Industri layar sendiri menyumbang 7,8 miliar dolar AS (setara Rp125 triliun) gross value added (GVA) atau nilai tambah bruto ke perekonomian Indonesia pada 2020, setara dengan 11% dari total ekonomi kreatif dan 0,82% pendapatan domestik bruto (PDB).
Dari sisi cerita, Budhi S. Wibowo, Farizka Rubiana, dan Budi Hartono dalam Jurnal Manajemen Indonesia (2022) membeberkan bagaimana konten dan tema tertentu bisa mendorong kesuksesan industri film. Menurut mereka, cerita yang mengeksplorasi dinamika keluarga dan isu-isu sosial kontemporor membuat merek dagang yang kuat. Sedangkan menurut peneliti film dan televisi dari University of Nottingham Malaysia Thomas Barker dalam “Market transnationalisation of the Indonesian screen industries” (2021) warisan budaya, termasuk makanan lokal, tari, musik, pemandangan, dan aktor terkenal adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kesuksesan sebuah film meraih penonton.
Laporan The Economic Impact of the Screen Industry in Indonesia – an opportunity pun menyebut, industri sinema juga merangsang perekonomian di sektor lain. Salah satunya pariwisata. Dengan ditampilkannya lokasi pariwisata di film, merangsang pula wisatawan berkunjung. Misalnya film Laskar Pelangi (2008), yang secara tak langsung memberi dampak positif terhadap kunjungan ke Pulau Belitung.
Apa saja kelemahan industri film kita?
Sebut hasil riset PwC Indonesia dan LPEM FEB UI, Indonesia memiliki sekitar 2.300 layar bioskop (data tahun 2023) untuk melayani 277 juta populasi. Rasionya sekitar satu layar per 120.000 orang. Jumlah ini jauh tertinggal dibandingkan Malaysia, yang punya rasio satu layar per 28.000 orang. Bahkan jauh tertinggal dari Korea Selatan, dengan satu layar per 16.000 orang. Bioskop XXI adalah jaringan terbesar di Indonesia, yang mengoperasikan 1.235 layar bioskop di 71 kota.
Di samping itu, ada hambatan lain dalam industri sinema di Indonesia. PwC Indonesia dan LPEM FEB UI menyebut, pertama terbatasnya jumlah tenaga kerja dan keterampilan yang kurang, sehingga membatasi jumlah dan kualitas konten. Kedua, keterbatasan infrastruktur yang meningkatkan biaya produksi dan mengurangi peluang distribusi karya.
Ketiga, tantangan regulasi, termasuk lemahnya penegakan hukum terhadap hak cipta. Keempat, terbatasnya dana untuk proyek film independen.
Dian Alanudin dalam risetnya yang terbit di Journal Syntax Idea (2024) menambahkan, saluran distribusi, terutama jumlah biosop, masih didominasi pemain utama, yakni Cinema 21 Group. Akibatnya, bioskop tidak tersebar merata serta tak bisa diakses warga dari semua status sosial dan ekonomi.
Selain itu, beberapa film yang diproduksi dengan menghabiskan anggaran besar, tidak punya kesempatan untuk didistribusikan dengan baik. Lalu, film impor juga masih mendominasi saluran distribusi film di Indonesia.
Apa yang harus dilakukan?
Dian dalam Journal Syntax Idea menawarkan beberapa solusi untuk memecahkan problem industri film nasional. Pertama, membuka dan membangun layar bioskop untuk semua segmen pasar di Indonesia. Kedua, menciptakan pasar baru dan memisahkan segmen antara film Indonesia komersial dengan film pendidikan, seni, dan budaya.
Ketiga, membuat investasi asing. Keempat, menciptakan dan mengembangkan konsep inovasi eksibitor atau layar bioskop. Kelima, meningkatkan kapasitas layar bioskop. Keenam, membangun layar bioskop di dalam atau di luar tempat layar bioskop reguler untuk memutar film sesuai permintaan khusus.
Ketujuh, meningkatkan pemutaran film komunitas. Kedelapan, menciptakan kolaborasi dengan eksibitor utama dan membuat bioskop baru untuk memutar film pendek atau film lama. Kesembilan, memutar ulang film untuk anak-anak seminggu atau dua minggu sekali dengan harga rendah.
Kesepuluh, membuat dan mengelola strategi saluran distribusi online dan offline. Kesebelas, mendukung promosi dari komunitas, promosi gabungan, atau promosi silang dari mitra media, komunitas, asosiasi, perusahaan, dan pemerintah. Keduabelas, mengembangkan sistem terintegrasi berbasis web untuk meningkatkan industri film.
“Ada enam akar penyebab yang memengaruhi saluran distribusi film di Indonesia, yaitu sumber daya, kebijakan pemerintah, eksibisi, produksi, distribusi, dan penonton,” tulis Dian.