Akar sensitivitas musisi
Di atas panggung, sejumlah musisi memajang latar garuda berwarna biru gelap, dengan tulisan peringatan darurat. Hal itu dilakukan sebagai bentuk solidaritas dalam mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pilkada.
Penyanyi Kunto Aji misalnya, menampilkan simbol garuda berlatar warna biru gelap di visual panggungnya saat mentas di Ballroom Kuningan City, Jakarta, Kamis (22/8). Lalu, grup musik Juicy Luicy yang menggunakan visual peringatan darurat saat tambil membawakan lagu “Sialan”.
Penyanyi Danilla Riyadi ketika tampil di Lalala Festival di Jakarta International Expo (JIExpo), Kemayoran, Jakarta Pusat pada Jumat (23/8) pun memasang visual serupa. Begitu pula Hindia mononim Baskara Putra dan Baale mononim Iqbaal Ramadhan yang tampil di Latihan Pestapora, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (23/8).
Band kawakan GIGI juga memasang layar bergambar garuda biru kala tampil di konser GIGINFINITY di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (24/8). Tak ketinggalan penyanyi Nadin Amizah di Lalala Festival, Jakarta, Minggu (25/8).
Keputusan musisi menyuarakan dukungan terhadap gerakan mengawal putusan MK itu menandakan mereka sensitif terhadap isu politik.
Peneliti, pendiri situs web Highly Sensitive Refuge, dan penulis buku Sensitive: The Hidden Power of the Highly Sensitive Person in a Loud, Fast, Too-Much World, Andre Sólo, dalam tulisannya di TIME mengatakan, sensitivitas sebagian besar bersifat genetik. Ini merupakan sifat yang terkait dengan bakat.
Sebagai sebuah ciri kepribadian, menjadi sensitif berarti menerima lebih banyak informasi dari lingkungan. Orang yang sensitif, punya sistem otak yang mampu memproses informasi lebih dalam. Hal ini mencakup masukan sensorik, emosional, dan ide.
“Jika Anda sensitif, pemrosesan mendalam ini mengubah cara Anda memandang dunia,” tulis Sólo.
Sólo mengungkapkan, sekitar 30% dari semua orang, apa pun jenis kelaminnya, ternyata memiliki skor sensitivitas yang tinggi. Mereka ini disebut sebagai orang-orang yang sangat sensitif.
Menurut Sólo, sensitivitas membuat orang mampu mengambil keputusan, lebih banyak dorongan dari segala hal yang sama, serta menghasilkan kreativitas. Kreativitas itu bisa diterjemahkan seseorang menjadi inovasi. Banyak pemikir dan ilmuwan besar yang termasuk orang-orang sensitif, seperti Charles Darwin.
“Sebagian besar artis, aktor, dan musisi juga merupakan orang yang sensitif,” ujar Sólo.
Dalam riset yang diterbitkan jurnal Nature Neuroscience (2002), para peneliti dari University of Heidelberg, Jerman, menemukan musisi memiliki otak yang lebih besar dan lebih sensitif ketimbang orang yang tidak memainkan alat musik. Korteks pendengaran, yang merupakan bagian otak yang berkaitan dengan pendengaran, mengandung 130% lebih banyak “materi abu-abu” pada musisi profesinal dibandingkan non-musisi.
Korteks pendengaran sebagian besar terdiri dari “materi abu-abu” atau sel saraf yang disebut neuron, yang saling terhubung oleh akson panjang seperti filamen atau “materi putih”. Para ilmuwan menemukan, mereka yang memiliki pengalaman musikal, punya jumlah materi abu-abu yang lebih besar di wilayah yang disebut Heschl gyrus.
“Hasil penelitian kami menunjukkan, morfologi dan neurofisiologi HG (Heschl gyrus) memiliki dampak penting pada bakat musikal,” ujar salah seorang peneliti, Peter Schneider, dikutip dari the Independent.
Dilansir dari the Huffington Post, psikolog Mihaly Csikszentmihalyi mengidentifikasi keterbukaan dan sensitivitas sebagai elemen kepribadian yang saling bertentangan, yang tidak hanya hidup berdampingan dalam orang kreatif, tetapi juga membentuk inti kepribadian mereka. Paradoks tersebut menjelaskan bagaimana musisi bisa berani dan karismatik di satu sisi dan rapuh secara emosional di sisi lain.
Musisi rock metal, yang tampak ekstrover, ternyata juga merupakan orang-orang yang sangat sensitif. Psikolog Jennifer O. Grimes pernah datang ke tiga tur rock metal besar, salah satunya Ozzfest. Dia melakukan wawancara terhadap 21 musisi dari berbagai band rock metal di sebuah ruangan belakang panggung. Menurut the Huffington Post, setelah wawancara, Grimes menemukan, sebagian besar musisi menunjukkan kontradiksi antara keterbukaan dan kepekaan.
Di atas panggung, musisi rock tampak berani, berisik, dan liar. Namun, di belakang panggung, mereka membutuhkan waktu sendiri untuk mengisi ulang tenaga dan melakukan aktivitas soliter, seperti membaca, memainkan alat musik, dan menulis.
Para musikus yang diwawancara melaporkan, saat mereka di atas panggung, mereka berada dalam zona dan mampu mengabaikan rangsangan eksternal yang tidak terkait dengan penampilan mereka. Banyak dari mereka melaporkan kepekaan yang meningkat terhadap lingkungan sekitar dan pengalaman yang lebih intens dari masukan sensorik, seperti suara, pencahayaan, dan aroma. Mereka sering cenderung melamun dan menghargai fantasi. Mereka pun mengatakan, mendengarkan atau menciptakan musik memungkinkan untuk mengisi ulang tenaga saat mereka merasa terlalu terstimulasi.
“Semua musisi juga mengatakan, mereka mengalami persepsi yang tidak biasa, atau pengalaman yang kaya secara persepsi yang mencerminkan tingkat kepekaan sensorik yang tinggi, seperti mendengar pertemuan banyak suara dan kualitas nada yang membentu satu bunyi lonceng,” tulis the Huffington Post.
Grimes mengatakan, seorang narasumbernya melaporkan hipersensitivitasnya terhadap lingkungannya begitu kuat, sehingga dia merasa perlu berusaha untuk “bergaul” dengan lingkungannya. Semua narasumbernya menggambarkan musik sebagai cara untuk mengekspresikan diri, terhubung dengan orang lain, dan menemukan kepuasan pribadi. Mereka juga cenderung sepakat, menciptakan seni adalah cara penting untuk menjembatani diri mereka dan dunia luar.
“Temuan Grimes menunjukkan, di balik penampilan luar setiap orang yang sangat kreatif, terdapat lapisan kedalaman, kompleksitas, dan kontradiksi. Bukan hanya para pelaku musik, tetapi orang-orang kreatif dari semua jenis cenderung sangat sensitif, dan sebaliknya, orang-orang sensitif sering kali cukup kreatif,” tulis the Huffington Post.
Lebih lanjut, the Huffington Post menulis, bagi orang yang sangat kreatif dan sangat sensitif, ada lebih banyak hal yang diamati, diserap, dirasakan, dan diproses dari lingkungan mereka. Orang yang sensitif sering kali menangkap hal-hal kecil di lingkungan yang terlewatkan orang lain, melihat pola di mana orang lain melihat keacakan, dan menemukan makna serta metafora dalam hal-hal kecil di kehidupan sehari-hari.
“Tidak mengherankan jika tipe kepribadian ini akan terdorong untuk berekspresi kreatif. Jika kita menganggap kreativitas sebagai penghubung titik-titik dalam beberapa hal, maka orang yang sensitif mengalami dunia di mana terdapat lebih banyak titik dan lebih banyak peluang untuk terhubung,” tulis the Huffington Post.