close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.
Bisnis
Sabtu, 19 Februari 2022 16:58

Sandungan industri kimia menuju pemain dunia 2030

Cita-cita Indonesia menjadi pemain dunia dalam industri kimia 2030 mendatang terganjal sejumlah persoalan.
swipe

Bahan kimia atau barang-barang dari bahan kimia tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sabun, sampo, produk kosmetik, obat-obatan, detergen, bahan bakar kendaraan, hingga makanan dan pakaian, menjadi kebutuhan sehari-hari. 

Karenanya, tak heran jika bahan kimia yang dibuat oleh industri kimia sering kali menjadi salah satu katalis bagi sektor industri di sebuah negara. Bahkan, menurut Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (IKFT Kemenperin) Muhammad Khayam, produksi dan konsumsi produk kimia sering digunakan sebagai tolok ukur tingkat kemajuan dan kesejahteraan suatu negara.
 
Pun demikian di Indonesia. Bersama enam sektor lainnya, yakni makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, otomotif, elektronik, farmasi, dan alat kesehatan, pemerintah menggolongkan kimia dan barang-barang dari bahan kimia ke dalam industri prioritas. Pemerintah menjadikan sektor-sektor ini sebagai tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional dan katalis agar tujuan untuk menjadi salah satu pemain dunia di 2030 dapat terwujud.

"Itu karena rantai nilai industri kimia erat kaitannya dengan sektor ekonomi produktif lainnya, seperti pangan, sandang dan papan, serta penyediaan bahan baku berbagai industri lainnya. Elektronik dan otomotif, contohnya," katanya, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Di Indonesia, beberapa subsektor kimia yang telah berkembang antara lain, industri petrokimia, oleokimia, hingga agrokimia. Selain itu, industri turunan dari sektor kimia, seperti kosmetik dan farmasi pun tak kalah pesat perkembangannya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Jika dilihat secara keseluruhan, perkembangan industri kimia mulai terlihat sejak 2004. Namun setelah tejadinya krisis keuangan global 2008 silam, industri ini mulai melambat di tahun 2014. Di tahun-tahun berikutnya, kinerja industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia terus mengalami penurunan. 

Hal itu terlihat dari kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, yang pada 2015 menyumbang pertumbuhan sebesar 21,82% dan menjadi 10,54% di 2019. Pada tahun 2020, saat pandemi Covid-19 merambat ke Indonesia, kinerja industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia kian melempem. 

Kontribusinya terhadap PDB saat itu hanya sebesar 10,75% dengan pertumbuhan di kisaran 5%. Pada tahun 2021, Kementerian Perindustrian memperkirakan pertumbuhan sektor ini akan semakin melambat, yaitu di sekitar 3,68%.

Kendati terus menurun, industri kimia selalu masuk dalam tiga besar sektor yang berperan penting dalam sektor industri pengolahan non-migas. Bahkan, sejak 2014, industri kimia nasional mulai mendapatkan posisi penting di ASEAN. Dengan tingkat utilisasi alias kapasitas produksi yang terpasang mencapai lebih dari 80% kala itu. 

“Dengan itu, industri kimia juga menjadi sektor yang berperan penting pada pertumbuhan industri manufaktur nasional,” imbuh Khayam.

Sama halnya dengan pertumbuhan tahunannya, ekspor industri kimia juga terus mencatatkan kinerja buruk sejak 2018. Di mana pada saat itu ekspor industri ini hanya senilai US$13,98 miliar, kemudian menyusut jadi US$12,49 miliar di sepanjang 2020. Pada semester-I 2021, ekspor industri ini tercatat hanya sebesar US$9,01 miliar.

Tekan impor

Di sisi lain, pemerintah nampaknya cukup berhasil dalam menjalankan kebijakan substitusi impor, yang telah diterapkan sejak 2018 lalu. Hal ini berbarengan dengan peluncuran program Making Indonesia 4.0 di sektor industri kimia. 

Keberhasilan tersebut terlihat dari nilai impor industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia yang terus mengalami penurunan. Pada 2018, impor industri ini masih sebesar US$24,26 miliar dan turun signifikan di tahun 2020, yang senilai US$18,25 miliar. Sementara hingga semester-I 2021, impor industri kimia tercatat sebesar US$12,86 miliar.

Meski telah berhasil menurunkan impor industri kimia, Khayam mengaku bakal terus berupaya untuk melaksanakan substitusi impor. Hal ini dilakukan agar impor sektor ini dapat berkurang hingga 35% di tahun ini. Dengan demikian, neraca perdagangan nasional bisa semakin membaik. Khususnya untuk bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan non-migas. 

“Substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik, peningkatan investasi dan akselerasi program hilirisasi untuk memperkuat tatanan sektor manufaktur nasional,” ujar dia.

Namun demikian, kesuksesan substitusi impor tidak bisa hanya dilakukan dengan menurunkan nilai dan volume impor saja. Oleh karenanya, selain dengan langkah ini, Kementerian Perindustrian juga mendorong perluasan industri. Hal ini dilakukan untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong sebagai input industri turunan. 

“Pendekatan ini lebih ditujukan kepada produsen bahan baku existing, ditujukan untuk memperluas volume produksi dan kemampuan suplai dalam negeri,” lanjut Khayam.

Langkah selanjutnya adalah dengan mendorong investasi baru, baik yang berasal dari dalam negeri (Penanaman Modal Dalam Negeri/PMDN) maupun dari luar negeri (Penanaman Modal Asing/PMA). Selain juga dengan meningkatkan utilisasi industri. 

Ilustrasi Pixabay.com.

Ketua Dewan Pengarah Lembaga Sertifikasi (LSP) Kimia Industri Mas Ayu Elita Hafidzah mengungkapkan, sejak pagebluk datang ke Indonesia pada awal Maret 2020 lalu hingga pemerintah mulai menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, utilisasi industri kimia hanya di kisaran 50% - 60%.

Namun, setelah PPKM Level 3 dan 4 diberlakukan, serta pabrik-pabrik diperbolehkan beroperasi sepenuhnya, utilisasi industri kimia mulai merangkak naik dan mampu berada di kisaran 70% di sepanjang tahun lalu.

Jika kondisi ini terus berlangsung dan perbaikan ekonomi nasional terus berlanjut, Anggota Komite Pengembangan Bisnis Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) ini yakin, kapasitas produksi terpasang industri kimia bisa lebih tinggi lagi. Bahkan, dapat kembali seperti sebelum pandemi.

“Saat awal pandemi, tidak hanya lambat proses produksinya karena terkendala dengan kebijakan WFH (work form home-red). Sehingga banyak isu terkait pengiriman terhambat,” ungkapnya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (18/2).

Kendala bahan baku

Ayu menilai, pertumbuhan industri kimia selama pagebluk tidak hanya terjadi karena pelonggaran PPKM oleh pemerintah. Melainkan juga lantaran sudah banyak pabrik-pabrik bahan kimia atau barang dari bahan kimia yang menerapkan teknologi 4.0. Bahkan, beberapa di antaranya telah mengimplementasikan digitalisasi berupa penggunaan internet of things (IoT), kecerdasan buatan (Artficial Intelligence/AI), cloud technology, nano technology, blockchain technology, serta telemedicine.

Transformasi digital ini tercermin pula dari semakin banyaknya industri kimia yang berpartisipasi dalam assessment program Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0). Ini adalah program turunan Making Indonesia 4.0 yang dilakukan untuk mengukur kesiapan perusahaan manufaktur nasional dalam menerapkan teknologi industri 4.0. 

Dalam pelaksanaannya, penilaian diberikan dengan skor 1-4. Pada penilaian INDI 4.0, skor 1-2 menunjukkan kesiapan awal implementasi industri 4.0. Kemudian rentang skor 2-3 menunjukkan kesiapan sedang, dan skor 4 adalah mereka yang sudah menerapkan industri 4.0. Pada tahun 2020, skor INDI industri kimia secara keseluruhan ada di angka 2,31. 

“Tergantung fasilitas yang ada di perusahaannya. Jika sudah menerapkan sistem IT, maka proses produksinya dapat dilakukan secara komputasi. Industri kimia umumnya bisa tetap jalan dengan keadaan seperti itu,” kata Ayu.

Namun, terlepas dari modernisasi teknologi di sektor ini, industri kimia nyatanya masih mengalami tantangan menahun yang belum bisa diselesaikan sampai saat ini. Beberapa di antaranya adalah pemenuhan bahan baku lokal, regulasi nasional yang belum sepenuhnya mendukung pertumbuhan industri kimia, hingga perbedaan kebijakan antarnegara yang masih menjadi ganjalan ekspor industri kimia nasional.

“Tiga hal ini masih menjadi issue dan tantangan untuk menjadikan industri kimia Indonesia menjadi salah satu pemain terbesar di dunia pada 2030,” beber Ahli Kimia Polimer ini.

Menurut Ayu, selama ini kebutuhan bahan baku industri kimia atau barang-barang dari bahan kimia, mayoritas dipenuhi dari impor. Padahal, saat harga harga bahan baku mengalami lonjakan, seperti pada Desember lalu yang mengalami kenaikan 30%-100%, biaya produksi ikut terkerek naik. 

Bahkan, menurut Asosiasi Dasar Kimia Anorganik (Akida), biaya produksi industri kimia naik 30% - 50%. Hal ini, dirasakan oleh seluruh sektor industri kimia, baik hilir, hulu, maupun sektor industri turunannya.

Sebab, 50%-80% bahan baku impor tersebut digunakan dalam produksi industri. Untuk mengatasi hal ini, Ketua Umum Akida, Michael Susanto meminta agar pemerintah dapat mempermudah proses pemberian Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib kepada industri kimia, khususnya yang berada di sektor hilir. 

Karena dengan cara itulah, industri kimia nasional dapat membendung gempuran impor bahan baku dari luar negeri. “Sampai sekarang baru ada tujuh industri kimia yang mendapatkan SNI Wajib,” kata Michael, kepada Alinea.id, Kamis (17/2).

Sementara itu, ihwal kebijakan, selain masih banyak regulasi yang tumpang tindih antara satu kementerian/lembaga (k/l) dengan k/l lainnya, industri kimia juga belum memiliki regulasi tersendiri terkait bahan kimia, yang mengacu atau selaras dengan peraturan internasional. Padahal, beleid ini diperlukan dalam rangka pengembangan industri kimia berkelanjutan. 

“Apalagi industri kimia adalah salah satu industri yang bisa jadi tumpuan Indonesia di masa depan,” imbuhnya.

Di sisi lain, pemerintah juga harus mengembangkan industri kimia hilir untuk dapat memperkuat ekspor nasional secara keseluruhan. Sebab, selain memproduksi bahan baku kimia, industri kimia hilir juga menjadi tumpuan bagi sektor-sektor industri lainnya untuk memasok bahan baku mereka.

Selain itu, industri ini juga harus dipercepat untuk menuju substitusi impor. Namun demikian, hal-hal tersebut tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Karena untuk membangun industri kimia yang berkelanjutan dan mampu menjadi salah satu pemain besar di dunia pada 2030 nanti, kolaborasi intensif pemangku jabatan, yaitu pemerintah, swasta atau pelaku usaha dan akademisi juga sangat diperlukan. 

“Pelaksanaannya harus efisien, regulasi harus kondusif, dan inovasi harus jalan sehingga tidak tercipta kegagalan pasar,” tegas Direktur PT Zeus Kimiatama Indonesia Istiyarso, kepada Alinea.id, belum lama ini.

Ilustrasi Alinea.id/Enrico P.W.
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan