Rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia terus berjalan di tempat. Target tinggi yang dipasang Presiden Prabowo Subianto dinilai sulit tercapai.
Angka tax ratio Indonesia terhitung rendah ketimbang negara lain. Idealnya, rasio perpajakan negara berkembang adalah 15%. Sementara, selama sembilan tahun pemerintahan Joko Widodo, rasio perpajakan tidak pernah mencapai level 11% meski ekonomi tumbuh stabil di kisaran 5%.
Pada tahun 2023, rasio perpajakan Indonesia adalah 10,21%, turun dari tahun 2022 yang sebesar 10,39%. Selama tiga tahun berturut-turut, dari tahun 2019 sampai 2021, rasio perpajakan bahkan merosot ke satu digit atau terendah sepanjang sejarah, yakni 9,77% di tahun 2019; sebesar 8,33% di 2020; dan 9,12% pada 2021.
Rasio perpajakan adalah persentase penerimaan perpajakan, termasuk bea dan cukai terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Semakin tinggi nilainya, semakin mampu suatu negara melakukan pembangunan dengan sumber daya sendiri tanpa bergantung pada utang.
Sederet tantangan
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai perlu penguatan khusus untuk mendongkrak penerimaan negara. Apalagi dari sektor perpajakan.
Ekonom Senior Indef Fadhil Hasan meragukan performa Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk meningkatkan rasio pajak. Pasalnya, sudah menjabat 10 tahun, Sri Mulyani tak kunjung mampu mendongkrak rasio pajak menjadi minimal 12%.
Menurutnya, dengan tujuan peningkatan hingga 10% melalui Badan Penerimaan Negara juga akan dianggap sulit. Terlebih dengan komposisi kabinet yang super gemuk.
"Itu tidak akan terlaksana, karena belum ada track-record Sri Mulyani dalam peningkatan tax ratio menjadi 12%,” katanya dalam Diskusi Publik Indef, dikutip Alinea.id, Kamis (31/10).
Ia pun melihat, wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara akan menjawab kebutuhan anggaran yang besar dalam kabinet ini. Sayangnya, dengan penunjukan Sri Mulyani kembali sebagai Menteri Keuangan, pembentukan Badan Penerimaan Negara tidak akan terealisasi.
"Anggaran tersebut datang dari Badan Penerimaan Negara yang meningkatkan tax ratio. Persoalannya adalah program pembentukan ini is dead now dengan dipilihnya Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan," katanya.
Ekonom Senior Indef Nawir Messi menyampaikan, potret perpajakan saat ini dipengaruhi oleh turunnya kelas menengah yang menjadi tulang punggung perekonomian. Berkurangnya kelas menengah mengancam rasio pajak.
Menurutnya, diperlukan Badan Penerimaan Negara untuk dapat menaikkan rasio pajak. Namun, penerimaan negara akan ditangani oleh wakil menteri keuangan (wamenkeu).
Dia bilang dibutuhkan sosok yang tegas untuk mengatasi persoalan perpajakan dan mampu mengubah rasio pajak menjadi lebih baik. Ia meragukan sosok wamenkeu yang saat ini menjabat dapat menuntaskan urusan penerimaan negara. Pasalnya, ia tidak melihat sosok tersebut sebagai seorang yang memiliki watak ‘garang’ untuk menagih pajak.
“Apakah figur wamen ini cukup mampu menangani isu penerimaan negara ini, cukup memadai merespons persoalan terkait perpajakan dan bisa diselesaikan atau tidak," ujarnya.
“Jadi saya menunggu gebrakan positif apa saja yang akan dikeluarkan selama enam hingga dua belas bulan ke depan," lanjutnya.