Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin menarik keluarga super kaya agar bisa menanamkan uang di Indonesia. Nantinya akan dibentuk Wealth Management Center atau Family Office, yaitu perusahaan swasta yang mengelola harta keluarga-keluarga kaya.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Indonesia berpeluang mewujudkan kebijakan ini, sebab memiliki kondisi ekonomi dan politik yang stabil serta geopolitik yang netral.
Kendati demikian, dia bilang, masih ada pekerjaan rumah yang perlu dibereskan. Misalnya, sistem perpajakan dan regulasi dalam menjaga aset asing; politik serta pemerintahan yang stabil dan kondusif; penyediaan jasa manajemen aset, serta lingkungan bisnis yang mendukung.
“Sebagai tindak lanjut dalam mewujudkan family office di tanah air, kami sepakat membentuk satuan tugas untuk merancang dan menyiapkan implementasi program,” katanya dalam akun media sosial Instagram @luhut.pandjaitan, dikutip Kamis (4/7).
Obral pajak
Family office akan ditetapkan di Bali dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Orang super kaya diyakini bisa menaruh uangnya di Indonesia US$10 juta hingga US$100 juta. Pemerintah juga menebar obral pajak. Harta yang ditempatkan di family office di Indonesia tak dipajaki, namun harus diinvestasikan di Indonesia. Nah, hasil investasi itulah yang nantinya akan dipajaki.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan rencana ini akan menggerus potensi penerimaan negara. Penerimaan pajak dari kelompok super kaya selama ini sanggup memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP). Di sisi lain, PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri sedang lesu.
"Dalam struktur penerimaan pajak di negara maju, PPh OP menjadi jenis pajak yang berkontribusi paling besar. Maka, penerimaan PPh OP menjadi sangat penting. Menurut saya tidak bijak membebaskan pajak bagi kelompok kaya,” katanya kepada Alinea.id, Kamis(4/7).
Alih-alih menguntungkan, fasilitas bebas pajak bagi orang super kaya justru dikhawatirkan menjadi penghambat pemenuhan janji politik pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto. Diketahui, Prabowo memiliki sejumlah program, termasuk makan bergizi gratis dengan anggaran mencapai Rp71 triliun di 2025.
Apalagi, lanjutnya, jika fasilitas family office tersebut kemudian dapat digunakan sebagai skema aggressive tax planning alias tindakan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mendapatkan keuntungan pajak atau mengurangi maupun mengelak dari kewajiban perpajakannya. Tujuannya untuk menjaga likuiditas perusahaan atau memanipulasi penghasilan di bawah batas yang disyaratkan untuk membayar pajak.
Bali atau IKN?
Selain itu, iming-iming pemerintah menerapkan family office di dua lokasi, yakni Bali dan IKN juga perlu menjadi pertimbangan. Menurutnya, orang super kaya akan menghitung faktor risiko sebelum memarkir dananya di sebuah daerah.
Asumsi itu memperhitungkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Fajry terkait aset orang super kaya di tax haven atau sebelum adanya amnesti pajak. Hasil penelitian menunjukkan salah satu alasan orang kaya menaruh uangnya di tax haven adalah faktor keamanan dan bukan keringanan pajak maupun return. Jadi, tidak heran bila lebih banyak deklarasi luar negeri dibandingkan repatriasi.
“Apakah Bali atau IKN dapat memberikan risiko investasi sebanding dengan Singapura, Swiss, atau Hongkong?” tuturnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut keluarga super kaya akan lebih memilih Bali dibandingkan IKN. Sebab, IKN masih banyak memiliki ketidakpastian di dalamnya.
“Jadi kalaupun orang super kaya didorong ke Indonesia mereka akan lebih memilih Bali,” ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (4/7).
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sebelumnya mengatakan, keluarga super kaya lebih menginginkan Bali sebagai lahan tanam untuk investasi ketimbang IKN.
Sementara terkait rencana bebas pajak bagi keluarga super kaya, menurut Bhima perlu dipertimbangkan secara matang. Indonesia terancam dijadikan sebagai suaka pajak dan tempat pencucian uang. Belum lagi, keinginan itu bertolak belakang dengan hasil survei Earth4All yang menunjukkan 86% masyarakat di Indonesia mendukung pemberlakuan pajak kekayaan.
Bahkan di antara negara G20 lain dukungan responden soal pajak kekayaan Indonesia tertinggi. Jika justru mendorong family office yang bebas pajak, maka bisa menyulitkan pemerintah dalam mengungkap, menyidik dan memajaki orang kaya.
“Kemudian yang jadi kekhawatiran investasi family office tidak masuk ke sektor riil seperti pembangunan pabrik, melainkan hanya diputar di instrumen keuangan seperti pembelian saham dan surat utang. Jadi dampak ke perputaran ekonomi juga relatif terbatas,” tuturnya.