Mengapa kelas menengah penting bagai ekonomi RI
Fenomena kelas menengah turun kelas menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Dalam lima tahun, masyarakat kelas menengah mengalami penurunan sebesar 9,48 juta orang atau turun sebanyak 16,5% sejak tahun 2019. Penurunan jumlah kelas menengah yang diimbangi dengan meningkatnya jumlah penduduk kelas rentan dan calon kelas menengah, mengindikasikan kelas menengah mengalami “turun kelas”.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan kelas menengah di Indonesia memiliki kontribusi yang signifikan terhadap ekonomi dan perkembangannya. Berdasarkan data komposisi produk domestik bruto (PDB), konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari setengah dari PDB. Kelas menengah sebagai kelompok penduduk dengan jumlah yang besar dan umumnya membayar pajak, menjadi populasi dengan jumlah pajak terbanyak dibandingkan penduduk dengan status ekonomi atas dan bawah.
Berdasarkan definisi yang dibuat oleh Bank Dunia menggunakan batas kemiskinan dan pendapatan relatif terhadap batas kemiskinan, kelas menengah di Indonesia merupakan masyarakat dengan pendapatan Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan atau Rp14,4 juta hingga Rp72 juta per tahun. Adapun kelas menengah bawah merupakan masyarakat berpendapatan Rp532.000 hingga Rp1,2 juta per bulan atau Rp6,38 juta hingga Rp14,4 juta per tahun.
Laporan Bank Dunia tersebut menyebutkan jumlah kelas menengah bawah di Indonesia masih berjumlah 115 juta penduduk.
"Artinya, masih banyak masyarakat yang rentan untuk turun kelas dari kelas ini," katanya, belum lama ini.
Ekonom Senior Indef Bustanul Arifin mengatakan berkurangnya jumlah kelas menengah memiliki dampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Kelas menengah memiliki peran penting dalam kinerja pembangunan ekonomi. Mereka memainkan fungsi sosial-politik yang penting, menentukan tata kelola, kualitas kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi.
“Dukungan kelas menengah terhadap kebijakan ekonomi dan politik hanya dapat terwujud jika kebijakan sejalan dengan kepentingan mereka”, ujar Bustanul, belum lama ini.
Dia melanjutkan, kelas menengah yang aktif secara politik mendukung demokrasi, meskipun banyak tuntutan tentang kualitas pelaksanaan demokrasi itu.
Beban pungutan
Meskipun kontribusinya sangat besar bagi perekonomian, Eko bilang, kelas menengah di Indonesia kurang mendapatkan perhatian. Banyaknya beban pungutan baru, kenaikan harga-harga, dan tidak masuknya mereka ke dalam kriteria untuk mendapatkan subsidi, membuat kelas menengah semakin tertekan daya belinya.
Beberapa kebijakan baru seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, rencana pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM), rencana pajak karbon, rencana kewajiban asuransi kendaraan, dan implementasi iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) membuat kelas menengah sangat tertekan.
Selain ditekan dengan pungutan-pungutan baru, kelas menengah tidak berhak mendapatkan banyak tipe subsidi yang umumnya ditargetkan untuk kelas bawah. Pola seperti ini berdampak terhadap kelas menengah, baik yang menjalankan usaha maupun bekerja sebagai karyawan di suatu usaha.
Tidak hanya daya beli relatif terhadap produk di dalam negeri yang turun karena naiknya beban pengeluaran, seluruh lapisan kelas ekonomi termasuk kelas menengah juga lesu secara internasional karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Depresiasi rupiah menyebabkan daya beli masyarakat untuk membeli barang yang berasal dari luar negeri atau impor melorot. Dengan fakta banyaknya produk yang bisa diproduksi di dalam negeri dan besarnya impor beberapa kebutuhan seperti minyak dan gas (migas), turunnya nilai rupiah berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat.
Berdasarkan data terkini Mandiri Spending Index (MSI), terdapat tren peningkatan pengeluaran barang-barang konsumsi sehari-hari rumah tangga (groceries). Sejak Januari 2023 sampai Juli 2024, terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari 13,9% menjadi 27,4% proporsi pengeluaran untuk barang-barang konsumsi dari pengeluaran total.
"Peningkatan pengeluaran kategori ini secara tidak langsung menunjukkan penurunan terhadap pengeluaran kategori lainnya. Selain itu, semakin tingginya pengeluaran konsumsi rumah tangga menunjukkan antara satu dari dua hal, semakin turunnya daya beli masyarakat secara umum atau meningkatnya harga-harga kebutuhan rumah tangga," kata Eko.
Sementara Bustanul mengatakan, penurunan kelas menengah berhubungan dengan transformasi struktural perekonomian Indonesia. Yakni, berupa pergeseran atau perpindahan dari ekonomi berbasis pertanian menjadi ekonomi berbasis industri manufaktur.
Analisisnya, penurunan kelas menengah sudah terjadi sejak tahun 1995 dan diperparah pada tahun 2020. "Cikal bakal deindustrialisasi sudah mulai terlihat sejak tahun 1995, yang mana pangsa terhadap PDB (produk domestik bruto) sebesar 41,8% menurun menjadi 38,5% di tahun 2005. Kemudian, angka tersebut terus menurun," katanya. Selain itu ditopang juga oleh volatile food yang masih tinggi meskipun secara keseluruhan tingkat inflasi terkendali.
Untuk mengatasi terjadinya penurunan kelas menengah, menurutnya, pemerintah perlu memberikan insentif dan perbaikan kebijakan. Juga, perlu dilakukan perbaikan hulu dalam transformasi sistem pangan dan pertanian untuk memperkuat industrialisasi.
“Industrilisasi terjadi, nilai tambah lebih kuat, lapangan kerja baru terbentuk, fondasi ekonomi kuat, sehingga kelas menengah lebih agile dan tangguh,” katanya.
Tak hanya itu, strategi digitalisasi dengan pemanfaatan big data dan kecerdasan buatan alias AI hingga penguatan ekonomi daerah dengan dukungan penelitian dan pengembangan, serta reforma sistem pendidikan dan pengembangan sumber daya masyarakat alias SDM juga bakal mengatasi terjadinya penurunan kelas menengah.