Konflik yang memanas antara Iran dan Israel menjadi sorotan global. Pasalnya, dampaknya juga dapat dirasakan jauh di Indonesia. Ini karena, perang antara kedua negara tersebut diprediksi dapat menyebabkan kenaikan
harga minyak dunia, yang pada gilirannya memengaruhi harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia.
Apalagi pada kenyataannya, Indonesia masih mengimpor sebagian besar kebutuhan minyak mentah dan BBM-nya, sehingga berpotensi terkena dampak langsung dari lonjakan harga minyak. Tidak heran jika, sejumlah pengamat menyebut kalau ada kemungkinan pemerintah bakal terpaksa menyesuaikan harga BBM dengan mengurangi subsidi atau menaikkan harga jual.
Namun, langkah tersebut tidak hanya berpotensi meningkatkan beban finansial bagi masyarakat, tetapi juga dapat memicu lonjakan inflasi. Kenaikan harga BBM dapat menjadi katalis untuk meningkatkan tingkat inflasi karena biaya produksi barang-barang berbasis bahan bakar akan naik, mengakibatkan kenaikan harga jual barang yang pada akhirnya akan membebani konsumen.
Tidak hanya itu, kenaikan harga minyak dunia juga berpotensi memperburuk nilai tukar rupiah. Dengan ekspektasi terhadap perekonomian domestik yang menurun, sementara nilai dolar menguat, rupiah semakin tertekan. Biaya impor bahan baku dan bahan penolong yang semakin mahal akan meningkatkan biaya produksi barang, dan pada akhirnya akan tercermin dalam harga jual lebih tinggi.
Sebagai respons terhadap meningkatnya inflasi, bank sentral cenderung menaikkan suku bunga untuk menekan peredaran uang dan mengembalikan stabilitas harga. Namun, langkah ini juga dapat menekan pertumbuhan ekonomi yang sudah terbatas.
“Serangan Iran ke Israel mempunyai lima dampak yang serius ke ekonomi Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, saat dihubungi Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Pertama, harga minyak mentah naik drastis hingga mencapai US$85,6 per barel atau naik 4,4% dibanding tahun sebelumnya. Di sisi lain, berdasarkan data worldometers.info, Iran merupakan produsen terbesar ke-4 minyak dunia. Maka, jika perang Iran dan Israel meluas, pastinya bakal mengganggu produksi dan distribusi minyak ke seluruh dunia. Termasuk ke Indonesia.
Harga minyak yang melonjak, bakal berimbas kepada pelebaran subsidi energi. Sehingga hal itu bisa berdampak pada bakal lebih dalamnya pelemahan kurs rupiah.
Kedua, jika perang ini berlarut-larut, bakal menyebabkan keluarnya aliran investasi asing dari negara berkembang karena meningkatnya risiko geopolitik. Kondisi itu juga akan membuat investor mencari aset yang lebih aman, baik emas dan dolar AS. Sehingga rupiah bisa saja melemah hingga Rp17.000/US$.
Dampak ketiga adalah, perang tersebut bakal mengganggu kinerja ekspor Indonesia ke Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan melambat di kisaran 4,6%-4,8% pada tahun ini.
Keempat, hal itu menimbulkan dorongan inflasi karena naiknya harga energi sehingga tekanan daya beli masyarakat bisa semakin besar. Di sisi lain, rantai pasok global yang terganggu perang membuat produsen harus mencari bahan baku dari tempat lain. Tentunya biaya produksi yang naik bakal diteruskan ke konsumen.
Kelima, dengan tingkat inflasi yang tinggi, berpotensi menjadi alasan bagi bank sentral menaikkan tingkat suku bunga. Dampaknya bagi masyarakat adalah, bakal mendapatkan bunga tinggi. Baik untuk membeli kendaraan bermotor hingga membeli rumah lewat skema kredit.
Namun, Direktur Ekonomi Digital·Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, mengaku optimistis kalau peluang terjadinya perang terbuka antara kedua negara cukup kecil. Hal ini dikarenakan jarak geografis yang cukup jauh di antara mereka dan serangan melalui udara tidak akan mencapai eskalasi seperti dalam perang Iran-Irak atau Rusia-Ukraina yang terjadi di daratan.
Kekhawatiran terhadap kenaikan harga minyak yang drastis juga terbatas dan bersifat sementara. Jika pun terjadi kenaikan harga minyak, sebagian kalangan berpendapat bahwa kenaikan tersebut akan terbatas dan tidak melebihi asumsi Indeks Harga Minyak (ICP) sebesar US$82 per barel.
Nailul juga menyampaikan dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan ulang anggaran subsidi. Mengingat Indonesia merupakan negara pengimpor neto. Sehingga, harga minyak global memiliki pengaruh besar terhadap harga BBM subsidi di dalam negeri.
“Defisit anggaran akan semakin melebar jika subsidi untuk BBM ditambah. Tetapi jika tidak ditambah maka, kenaikan harga BBM akan mengerek inflasi. Selain itu, potensi perang juga memicu potensi inflasi barang-barang impor,” kata Nailul Huda.