Wacana menggulirkan Mahkamah Rakyat menyeruak di tengah bergulirnya sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Pembentukan Mahkamah Rakyat diharapkan jadi solusi alternatif ketika institusi formal yang semestinya menghadirkan keadilan pemilu diragukan kredibilitasnya.
Guru besar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Muhammad Fauzan mengatakan Mahkamah Rakyat serupa dengan rapat umum lazim digelar kalangan kaum pergerakan pada era kolonial dan masa awal terbentuknya Republik Indonesia. Mahkamah Rakyat tidak dikenal dalam hukum tata negara Indonesia.
"Mahkamah Rakyat cenderung ungkapan kemungkinan kegagalan rakyat memperoleh keadilan sehingga menggunakan istilah mahkamah. Esensinya paling tidak nanti semacam rapat umum atau demostrasi damai," ucap Fauzan kepada Alinea.id, Jumat (18/4).
Meskipun bukan jalur resmi untuk memperoleh keadilan, menurut Fauzan, gelaran Mahkamah Rakyat bisa menjadi sarana menyadarkan publik agar turut peduli dalam menyikapi putusan pengadilan atau putusan hukum terkait Pemilu 2024. Dalam aksi massa bersama, publik bisa menyuarakan kekecewaan terhadap jalannya proses demokrasi sepanjang pemilu.
"Bentuknya bisa dilaksanakan secara damai, tidak rusuh dan tidak anarkis barangkali bisa dianggap hanya memiliki efek psikologis bahwa mahkamah formal putusannya tidak adil menurut rakyat yang terlibat dalam kegiatan tersebut," ujar Fauzan.
Pembentukan Mahkamah Rakyat merupakan salah satu pembahasan utama dalam diskusi daring bertajuk "Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?" yang digelar, Senin (15/4) lalu.
Hadir sebagai pemateri dalam diskusi itu, sejarawan Asvi Warman Adam, aktivis perempuan Fatia Nadia, Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid, dosen UPN Veteran Sri Lestari Wahyuningroem, dan anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini.
Para pakar utamanya mempersoalkan masifnya indikasi dugaan kecurangan selama Pemilu 2024, mulai dari putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo, gelontoran bansos jelang Pilpres 2024, hingga pelanggaran etik yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat menerima pencalonan Gibran.
Dalam diskusi itu, Titi mengatakan Mahkamah Rakyat untuk menangangi dugaan kecurangan pemilu bukan hal yang baru. Ia mencontohkan pembentukan Mahkamah Rakyat oleh puluhan organisasi masyarakat sipil untuk menangani kecurangan pemilu di Malaysia pada 2013. Guru besar Universitas Airlangga Ramlan Surbakti jadi anggota mahkamah tersebut.
Berangkat dari gerakan masyarakat sipil, hasil putusan Mahkamah Rakyat tidak serta-merta bisa menggantikan hasil resmi pemilu. Namun, menurut Titi, kehadiran Mahkamah Rakyat bisa membangun memori kolektif terkait tahapan pemilu yang berjalan tak semestinya dan pelajaran berharga untuk pemilu ke depan.
"Bagaimana memelihara memori kolektif supaya kesewang-wenangan tidak terus berlanjut. Institusi formal pun tidak terus sewenang-wenang karena masyarakat selalu hadir mengawasi," kata pengajar di Universitas Indonesia (UI) itu.
Dihubungi terpisah, dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro menilai Mahkamah Rakyat diperlukan sebagai bentuk kritik terhadap buntunya saluran formal menghadirkan pemilu yang adil. Walau tidak memiliki legitimasi secara hukum, Mahkamah Rakyat bisa memberi dampak politik yang besar bagi publik.
"Jadi, mahkamah semacam ini alat untuk menghimpun keresahan publik secara kolektif. Ini bagus sebagai sarana pendidikan politik rakyat secara terbuka. Gizi politik yang bagus bagi publik luas," ucap Herdiansyah kepada Alinea.id, Jumat (18/4).
Herdiansyah mengatakan protes dalam Mahkamah Rakyat perlu didampingi oleh kaum intelektual. Dengan begitu, esensi protes sebagai bentuk edukasi politik kepada publik tidak melenceng jadi demonstrasi bernuansa kekerasan.
"Intinya, keresahan publik itu perlu dipimpin biar protes terorganisir. Salah satunya melalui Mahkamah Rakyat itu," kata Herdiansyah.